| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 30, 2006,10:45 AM

Bencana dan Pesan Kemanusiaan

Aloys Budi Purnomo

Kita semua sedih, prihatin, dan berduka! Sebagai bangsa, kita kembali tertimpa bencana. Dampak bencana yang satu belum tuntas terpulihkan, disusul bencana baru yang mendatangkan kehancuran tidak kalah hebat. Ribuan rakyat meninggal, terluka, tercekam trauma! Gempa di Yogyakarta dan sekitarnya menambah luka dan duka Indonesia.

Ratusan ribu penduduk yang menjadi korban gempa kehilangan tempat tinggal layak huni. Diperkirakan dalam setahun ini mereka akan tinggal di barak atau tenda karena pembangunan infrastruktur dan rumah permanen untuk warga belum bisa dilakukan saat ini. Jumlah rumah yang harus dibangun bagi warga diprediksi lebih dari 40.000 unit (Kompas, 29/5).

Pesan kemanusiaan

Bencana selalu memuat pesan kemanusiaan! Pertama, sebagai manusia, kita diajak menyadari betapa kita lemah, ringkih, rapuh, dan mudah hancur. Dalam hitungan menit, bahkan detik, kehidupan yang dibangun bertahun-tahun bisa hancur seketika! Canda tawa sekejap berubah menjadi duka lara! Bencana menyadarkan kesementaraan hidup kita yang menantang untuk tidak hanya berpikir sesaat, tetapi merajut pengharapan demi masa depan yang lebih panjang di akhirat!

Pengharapan berbeda dengan sekadar optimisme. Meminjam penuturan Henri JM Nouwen (1998:201), optimisme memampukan kita untuk mengatakan, sesuatu dapat menjadi lebih baik. Optimisme dilawankan dengan pesimisme, kecenderungan memandang realitas yang sama membuat sesuatu menjadi lebih buruk. Pada saat hujan turun si optimis akan berseru, "Bagus sekali! Semua tanaman akan tumbuh dan subur!" Oleh yang pesimis, hujan yang sama mendatangkan reaksi, "Ugh! Segalanya akan hanyut dan mati tenggelam!"

Pengharapan merupakan kekuatan batin yang luar biasa, bersumber dari iman akan Sang Pencipta. Maka, meski tertimpa bencana, bahkan kematian, orang yang berpengharapan tidak akan pernah menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, ia melihat, apa pun yang terjadi, bahkan seburuk apa pun peristiwa itu, Sang Kehidupan akan tinggal bersama kita sepanjang masa.

Kehadiran Sang Kehidupan nyata dialami dalam diri sesama yang tergerak hati oleh kasih dan mengembangkan kesetiakawanan secara tulus tanpa pamrih!

"Social compassion"

Dalam diri relawan militan tanpa pamrih, kita menangkap pesan kemanusiaan kedua, yakni belarasa sosial (social compassion). Belarasa sosial tidak menunggu perintah dari atasan sebagaimana tercermin dalam kasus bencana di Yogyakarta. Laporan di harian ini bahwa situasi di lapangan memberi gambaran tentang belum terkoordinasinya penanganan korban gempa, menegaskan betapa sulit menumbuhkan belarasa sosial spontan di kalangan elite politik dan pemerintah kita.

Bahkan, untuk bergerak darurat cepat demi belarasa sosial, Dewan Perwakilan Daerah mengingatkan agar pemerintah menunjuk secara definitif penanggung jawab penanganan bencana gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya (Kompas, 29/5). Untuk pemulihan jangka panjang, harus segera dirancang. Namun, untuk situasi yang amat darurat, saat korban butuh makan, minum, tenda, kamar mandi, dan wc darurat, yang praktis-praktis itu memerlukan tindakan cepat, tidak usah banyak rapat!

Kita melihat, betapa sulit menemukan belarasa sosial dalam praksis tanpa pamrih dari elite saat menghadapi musibah! Sementara korban terus bertambah, mereka yang masih hidup membutuhkan pertolongan, makanan, minuman, sekadar tenda untuk berteduh setelah rumah runtuh; toh bantuan tak kunjung diberikan!

Kenyataan ini persis berlawanan dengan yang dibuat sesama korban, mereka dengan cepat saling memberi pertolongan. Yang meninggal segera dikubur meski dengan cara sederhana. Inilah belarasa sosial spontan tanpa menunggu perintah atasan! Belarasa sosial tampak dalam diri mereka yang langsung mengirim nasi bungkus, tempe kering, lauk-pauk yang tidak gampang busuk agar segera bisa dinikmati sejumlah korban. Para petugas medik di sejumlah rumah sakit telah dengan amat baik mempraktikkan belarasa sosial terhadap korban bencana.

Pertobatan sosial

Terakhir, pesan yang dapat ditangkap dari bencana demi bencana yang kian marak di Indonesia adalah perlunya kita sebagai bangsa membangun pertobatan sosial! Kian gamblang, belakangan bangsa ini dicekam berbagai masalah. Ketidakadilan sosial-politik kian hebat. Kekerasan dengan mudah terjadi antarwarga masyarakat. Kita mudah jatuh memperjuangkan aneka kepentingan kelompok sempit daripada kepentingan bangsa!

Memang, bencana bukan hukuman dari Tuhan. Namun, sebagai bangsa, kita harus melakukan pertobatan sosial karena masalah-masalah ketidakadilan yang merambah berbagai sektor kehidupan sosial-politik negeri, yang ujung-ujungnya menjadikan rakyat sebagai korban!

Di tengah keterpurukan yang kian hebat, tak ada jalan lain, kecuali bertobat secara sosial! Artinya, segera wujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat! Jangan hanya pikir kekuasaan dan keselamatan kelompok sendiri, tetapi pikirkan rakyat! Inilah amanat founding fathers yang telah dikhianati para elite politik dan penguasa republik! Mari bertobat bersama, menyejahterakan rakyat!

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan; Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, Semarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home