| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 30, 2006,10:38 AM

Respons Psikososial Darurat Bencana

KRISTI POERWANDARI

Tak terbayangkan, apa yang kita rasakan jika berada di tempat bencana. Menyaksikan dari jauh pun kita terkejut, lumpuh, tak berdaya seolah hilang akal. Dari dekat dan jauh, kita yang selamat menyemangati, terus berusaha menanggulangi bencana.

Ada beberapa petunjuk respons psikososial darurat bencana yang dapat dicatat dari bahan-bahan yang dikumpulkan Consortium of Humanitarian Agencies, Sri Lanka, pascatsunami lalu.

Kekagetan, tangis histeris, sikap total membisu, mimpi buruk, kebingungan, dan reaksi-reaksi hilang akal merupakan reaksi segera yang normal dari situasi menyakitkan, berbahaya, dan mengancam nyawa. Pekerja dan pendamping perlu menyadari, ini sama sekali tidak menjadi tanda bahwa mereka yang mengalami langsung kejadian itu dalam jangka menengah dan panjang akan atau telah terganggu mental. Menormalisasi reaksi segera, dalam arti semua melihat dan menerima sebagai reaksi wajar, menjadi butir penting pertama.

Respons-respons psikososial darurat bencana harus fokus pada berbagai aktivitas interaksi sosial bersama, bukan pada model- model konseling atau terapi individual. Reaksi-reaksi histeris dan seolah hilang akal menjadi bagian mekanisme pertahanan diri yang alamiah dan memiliki fungsi positif untuk jangka pendek. Konseling dan terapi yang terlalu cepat analoginya seperti "menguak luka yang sedikit tertutup menjadi amat terbuka dan rentan infeksi". Bukannya membantu, malah dapat menghancurkan daya tahan dan mekanisme adaptasi normal dari individu.

Akan normal

Umumnya, sebagian besar akan kembali "normal" bila kebutuhan dasar dipenuhi, situasi aman diperoleh lagi, kebutuhan psikologis dalam arti keluarga dan komunitas—dapat berdekatan dengan mereka yang dipercayai dan dikasihi—terpenuhi.

Intinya, yang diperlukan adalah aktivitas yang menormalkan, mengembangkan koneksi dan interaksi sosial, menstruktur kembali yang rusak akibat bencana, dan menguatkan kehidupan sehari-hari. Karena itu, perlu segara dibangun kembali rutinitas di masyarakat, menyediakan sekolah darurat dan memotivasi (bukan memaksa) anak untuk kembali sekolah. Memastikan ibu-ibu dan bapak-bapak dapat menjalankan aktivitas hariannya.

Sebagian besar korban tsunami yang selamat di Aceh kini tangguh menjalani hidupnya. Mereka menjelaskan, setelah kejadian, mereka saling menguatkan dan saling memotivasi untuk kembali beraktivitas. Saya amat kagum pada seorang ibu tengah baya yang tampil ceria, penjahit yang kehilangan suami dan anak, hingga kini masih tinggal di tenda yang amat rendah atapnya. Ia bercerita, tiga hari setelah kejadian ia sudah duduk menjahit untuk mengisi kekalutan jiwa.

Empati pada anak

Meski sulit, orangtua seyogianya berempati pada situasi yang dihadapi anak. Apabila anak cemas, rewel karena gelisah, dan banyak bertanya, orangtua tidak membentak, tetapi memberi tanggapan yang jujur sekaligus menenangkan. Baik bila para remaja di lingkungan atau relawan dapat mengembangkan aneka aktivitas bersama bagi anak, bernyanyi, berolahraga, bercerita, atau bersekolah nonformal.

Selain menghibur, kegiatan demikian secara tak langsung dapat menjadi kesempatan bagi anak untuk menyalurkan kegelisahan, kecemasan, atau perasaan lain secara konstruktif. Orangtua yang amat terkejut, gamang, dan terguncang akibat luka dan kehilangan dapat terangkat bebannya dalam mendampingi anak.

Apa yang terjadi setelah bencana dan respons-respons yang dikembangkan di masyarakat dapat berkonsekuensi lebih menghancurkan daripada kejadian traumatiknya sendiri. Maksudnya, orangtua tentu bagai kehilangan masa depannya bila kehilangan anak. Atau anak pasti amat kehilangan keseimbangan bila orangtuanya meninggal. Namun, apa yang terjadi setelah itu dan bagaimana masyarakat mencoba membantu (atau tidak membantu) sering lebih berperan terhadap penyesuaian ke depan. Dengan siapa anak kemudian hidup? Diperlakukan bagaimana? Apakah putus sekolah begitu saja atau dapat melanjutkan pendidikan dan tinggal dalam lingkungan keluarga yang menumbuhkan kembali rasa aman?

Tentu baik bila dapat mengekspresikan kehilangan dan duka. Sebenarnya reaksi histeris, diam, atau seolah hilang akal adalah reaksi kehilangan dan berduka dalam bentuk berbeda-beda. Bagaimanapun, bencana dan kehilangan membuat hidup tidak lagi sama. Mungkin banyak yang masih sulit mengelola emosi pada fase pascabencana. Rutinitas, aktivitas sosial, dan konseling individual akan membantu pada jangka menengah dan panjang.

Waspada

Kita perlu waspada karena pasti ada orang-orang dan kelompok yang mencari keuntungan dalam berbagai bentuk di tengah musibah. Tidak menyalurkan dana bantuan secara semestinya, menjarah, mengobyekkan, atau mengeksploitasi korban dalam berbagai bentuk. Karena itu, mekanisme pengawasan terintegrasi diperlukan, juga perhatian pada kelompok rentan, seperti lanjut usia, perempuan, anak, penyandang cacat dan terluka, serta kelompok miskin.

Memprihatinkan, di masa-masa sebelumnya, banyak dana dikucurkan untuk lembaga-lembaga berbeda, yang kerjanya tak saling terintegrasi. Semua pihak perlu bekerja sama, tidak saling menyalahkan atau meng-"klaim" area-area tertentu sebagai "milik" atau "wewenang"-nya sehingga menghalangi terlaksananya pekerjaan kemanusiaan.

Akhirnya, kita bertanya-tanya sampai kapan Indonesia akan terus mengalami bencana seperti ini. Begitu banyak pekerjaan mendesak dan menjadi prioritas, tetapi elite politik cuma dapat menambah keresahan akibat sibuk mementingkan kelompok primordialnya. Semoga kita diampuni dan masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan.

Kristi Poerwandari Pendiri dan Pengurus Yayasan PULIH, Menekuni Intervensi Psikososial untuk Penanggulangan Trauma

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home