| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, June 17, 2006,11:50 AM

Pasar Modal Marak, Perekonomian Melemah

Oleh : Umar Juoro

Minat investor demikian tinggi terhadap pasar modal sehingga mendorong indeks menembus angka 1.400. Peningkatan ini lebih didorong oleh sentimen ketimbang fundamental ekonomi baik mikro maupun makro.

Sejauh ini sebenarnya kinerja perusahaan publik (emiten) pada umumnya tidaklah begitu baik, sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa perusahaan yang telah mengumumkan laporan keuangannya dalam triwulan pertama. Pada umumnya kinerja perusahaan mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan pertama tahun lalu. Bahkan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, seperti pertambanganpun, beberapa mengalami penurunan kinerja.

Besarnya aliran dana dari luar negeri ke pasar modal juga terjadi pada pembelian SBI dan SUN (Surat Utang Negara). Dengan perbedaan suku bunga yang masih cukup tinggi dibandingkan dengan di AS, maka produk keuangan ini masih dianggap menarik bagi investor asing jangka pendek. Masuknya dana jangka pendek ke pasar modal, SBI, dan SUN memperkuat nilai rupiah menembus di bawah Rp 9.000 per dolar AS.

Fenomena maraknya pasar modal dan pasar utang tersebut dengan tanpa dukungan fundamental menjadi fenomena yang perlu dicermati. Tak saja fundamental mikro perusahaan sebenarnya tidak terlalu baik, fundamental ekonomi makro sebagaimana ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan penurunan. Bahkan banyak analis dan lembaga multilateral memperkirakan pertumbuhan ekonomi di triwulan I hanya akan berkisar pada tingkatan 4,5 persen. Apalagi upaya pemerintah untuk menstimulasi perekonomian dengan pengeluaran pemerintah mengalami hambatan berupa rendahnya pencairan dana terutama di tingkat daerah.

Fenomena ini, di satu sisi, menggembirakan karena memperbaiki stabilitas ekonomi, terutama dalam penguatan nilai rupiah yang membantu menurunkan inflasi, namun di lain pihak menimbulkan kekhawatiran mengenai sustainabilitasnya. Modal jangka pendek tersebut dapat setiap saat datang dan pergi yang mempunyai pengaruh besar terhadap perekonomian.

Tampaknya perekonomian Indonesia baru menarik bagi investor jangka pendek, dan investor strategis yang membeli saham perusahaan yang sudah berjalan bagus. Namun minat untuk menanamkan modal langsung, untuk proyek baru (green fields) masih relatif rendah. Padahal investasi langsung ini yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja.

Sejauh ini harapan pelaku ekonomi adalah pada paruh kedua 2006, perekonomian akan mengalami perbaikan yang signifikan seiring dengan terkendalinya inflasi dan menurunnya suku bunga. Namun BI sendiri tampaknya masih harus mempertimbangkan kelakuan investor jangka pendek tersebut dan perkembangan eksternal, terutama suku bunga Bank Sentral AS, sebelum menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga terlalu cepat dikhawatirkan akan mendorong aliran keluar modal jangka pendek tersebut karena menurunnya perbedaan suku bunga. Namun penurunan suku bunga yang lambat berarti akan menunda pemulihan ekonomi, karena pengaruhnya terhadap kegiatan riil ekonomi membutuhkan waktu yang cukup.

BI tidak akan menurunkan suku bunga dengan cepat, tetapi kemungkinan akan secara bertahap, mulai Juni atau Juli. Kalaupun BI menurunkan 0,25 persen setiap bulannya, katakan mulai Juli, maka SBI pada bulan Oktober, pada saat inflasi diperkirakan turun drastis, masih cukup tinggi 11,75 yang berarti penurunan suku bunga bank juga hanya akan berkisar satu persen. Penurunan ini kurang begitu signifikan untuk mendorong perekonomian, apalagi jika dipertimangkan perlunya waktu agar pengaruhnya nyata.

Jika demikian maka bukan saja perkiraan pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 6,2 persen, bahkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen yang banyak diperkirakan oleh banyak analis kemungkinan juga tidak tercapai. Karena itu beberapa analis dan lembaga internasional mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonominya menjadi lima persen atau bahkan lebih rendah.

Pandangan optimistis adalah bahwa pertumbuhan tinggi hanya tertunda dari pertengahan 2006 menjadi 2007. Namun pandangan yang realistis memperlihatkan bahwa perkembangan di sektor keuangan, terutama pasar modal dan utang, tidak banyak terkait dengan perkembangan ekonomi riil. Pelaku ekonomi yang terlibat pun relatif kecil, dengan sebagian besar pelaku ekonomi di sector riil semakin tertinggal dengan beratnya beban kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya beli masyarakat.

Pengalaman pada masa Pemerintahan Megawati ada kemiripannya, pada saat itu pasar modal juga marak, stabilitas makro terjaga, namun pertumbuhan ekonomi rendah dan pengangguran cenderung meningkat. Tampaknya keadaan ini berpengaruh cukup besar terhadap kegagalan Megawati untuk mempertahankan kepresidenannya.

Masyarakat luas tidak merasakan langsung maraknya perkembangan pasar modal dan pasar utang, karena tidak menciptakan kegiatan ekonomi secara meluas. Penjualan SUN oleh pemerintah semestinya menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk mendorong proyek-proyek pembangunan. Namuan selama kemampuan menyerap dana dan mempergunakannya secara efektif tidak mengalami peningkatan berarti, maka yang terjadi adalah kemubaziran.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home