| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, June 17, 2006,11:56 AM

Kosmologi Tradisional Usai Gempa

Andreas Yumarma

Fenomena Gunung Merapi, bencana gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah mengundang keprihatinan, solidaritas, tumbuhnya jiwa, dan sikap dasar sehati dan sepenanggungan yang saat ini agak luntur dengan adanya arus kemajuan dan pesatnya dunia wisata di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Di balik semua itu, kita dipaksa berpaling untuk merenungkan simbolisme Gunung Merapi-Laut Selatan, dan Keraton Yogyakarta dalam satu garis imaginer yang mengandung gambaran kosmologi tradisional yang amat kaya dengan kearifan.

Gunung, menurut AJ Kemper (1959: 21), adalah tempat dewa-dewa dan leluhur, suatu dunia penuh misteri. Kecuali itu, gunung juga menjadi simbol proses penciptaan dan tatanan kosmis yang berperan penting dalam setiap upacara keagamaan. Karena itu, tumpeng (nasi kuning berbentuk gunung) selalu ada dalam acara selamatan. Gunung juga merupakan simbol hidup dengan semua aspeknya. Makna itu paling kaya dilukiskan pada "gunungan" di dunia pewayangan.

Laut Selatan adalah simbol kebijaksanaan yang memiliki kekuatan luar biasa. Dalam Wedhatama, khususnya bagian sinom 4, disebut Kanjeng Ratu Kidul. Penembahan Senopati, menurut tradisi, memiliki pemahaman mendalam tentang kearifan tradisional sehingga kekuasaannya juga diakui oleh Ratu Laut Selatan. Kebesaran Panembahan Senopati, Raja Mataram Yogyakarta 1586-1601, adalah kemampuannya mengumpulkan daya-daya alam semesta yang diungkap secara mitologis melalui perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Merapi, Laut Selatan, dan Mataram ketiganya bersama mengandung pemahaman kosmologi tradisional.

Kosmologi Jawa tradisional

Kosmologi tradisional mengungkap pemahaman mengenai realitas dunia, adat istiadat, dan kenyataan hidup manusia dalam kerangka berpikir mitis, global, dan intuitif (tekanan pada perasaan batin) yang memiliki kebenaran dan logika unik tersendiri. Dunia dipersepsikan sebagai tempat hidup manusia dan segala sesuatu yang sifatnya sementara. Karena itu, hidup manusia di dunia sering diibaratkan seperti tempat singgah sebentar untuk minum (mung mampir ngombe). Lebih jauh, konsep dunia merupakan satu harmoni keseluruhan yang berpusat pada alam semesta, kesatuan harmonis antara mikrokosmos (Jagad cilik) dan makrokosmos (Jagad gedhe) dengan dua dimensi yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dunia membentuk kesatuan menyeluruh yang masing-masing memiliki tempat, fungsi, dan nilainya di alam semesta.

Inge Skog (1993:143) mencatat, ajaran dasar tentang pemahaman dunia merupakan harmoni alam semesta. Hidup manusia dibangun dengan bercermin pada keseimbangan kosmik karena kemanusiaan terus-menerus ada di bawah energi dan daya-daya kekuatan alam semesta yang terus bergerak. Atas dasar ini, ketika tirani pendekatan antroposentris mendominasi, bahkan menguras habis kekayaan isi bumi, energi dan daya kekuatan alam semesta bergerak meledak untuk mencari keseimbangan kembali. Karena itu, serentetan bencana alam seperti tanah longsor, banjir lumpur panas, banjir bandang, bukan kenyataan tanpa sebab. Ada koneksitas tirani antroposentris eksploitatif dengan terjadinya bencana alam karena banyak manusia tidak lagi ramah dengan alam, sesama, dan Tuhan. Para penguasa dan penentu kebijakan tidak lagi memerhatikan keseimbangan lingkungan kehidupan, sesama manusia, dan alam.

Manusia kosmik

Aneka bencana, penderitaan, dan banyaknya jumlah korban jiwa maupun harta benda menyadarkan kita, manusia hanya merupakan bagian kecil dari alam semesta. Ketika manusia mulai mengagung-agungkan diri sebagai penguasa tunggal atas segala sesuatu dan bertindak semena-semena terhadap alam dan lingkungan, berlakulah ungkapan kearifan "kesombongan adalah awal dari kehancuran".

Dalam kearifan tradisional, struktur manusia terdiri dari empat anasir yang sama seperti alam semesta, yaitu api, air, udara, dan tanah. Kesamaan anasir ini memungkinkan manusia mengembangkan diri secara maksimal sehingga mampu menangkap sinyal-sinyal yang diberikan oleh keempat anasir dalam alam itu.

Kemampuan daya tangkap terhadap sinyal alam lingkungan itu dimaksimalkan melalui olah batin, tirakat, matiraga, dan puasa. Tingkatan daya tangkap manusia dapat dibandingkan dengan kemampuan daya tangkap aneka telepon seluler dalam media komunikasi. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, dapat dijadikan contoh manusia kosmik yang menarik banyak orang dan sepertinya berhasil melampaui ambang pendekatan sains materialistik saat ini.

Struktur dinamis manusia terdiri cipta, rasa, dan karsa. Sains merupakan hasil pikiran (cipta) yang ada dalam dimensi materi (raga). Putus asa, ketakutan, sedih, memberontak, tak berdaya, dan pasrah atas bencana dan kondisi yang ada adalah emosi yang ada dalam dimensi jiwa manusia. Perasaan batin dan intuisi merupakan karsa yang ada dalam suksma manusia. Yang terakhir inilah tempat kehendak manusia yang diperlukan untuk bangkit kembali dan aksi nyata rekonstruksi.

Bangkit dari puing bencana

Berlandaskan kearifan kosmologi tradisional dan konsep manusia kosmik itu, penanganan pascabencana kiranya mencakup tiga langkah strategis holistik.

Pertama, langkah darurat kebutuhan material di tingkat dimensi raga. Langkah ini perlu ditindaklanjuti dengan langkah kedua, penanganan (treatment) psikologis di tingkat dimensi jiwa; dan ketiga, peneguhan kehendak secara spiritual dan kultural pada tingkat dimensi suksma.

Pada tingkat terakhir ini, kegiatan ritual seperti doa bersama dan slametan membangun rasa sehati sepenanggungan dan solidaritas yang dapat menjadi makanan suksma, peneguhan kehendak untuk bangkit membangun dan gairah hidup baru kembali.

Gairah hidup baru ditandai dengan harapan, ramah dengan alam/lingkungan serta terbentuknya semangat kegotongroyongan-sehati sepenanggungan. Kearifan tradisional mengajarkan sisi positif dari tiap peristiwa kehidupan termasuk bencana yang paling mengerikan. Di situ manusia memiliki perasaan "masih untung" diberi selamat, diberi hidup, dan kesempatan membangun kembali kehidupan.

Bencana tidak hanya menciptakan kesedihan berlarut-larut, tetapi menguburkan kesalahan masa lampau. Di atas puing harapan, saling membantu dan sehati sepenanggungan, warga berusaha bangkit membangun kembali hidup bersama, kemanusiaan dan solidaritas semangat saling membantu dan berkorban.

Andreas Yumarma Pendidik; Pengembang Filsafat Timur; Anggota International Society for Philosophers, UK

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home