| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, June 17, 2006,11:58 AM

Gus Dur dan SBY

Yenny Zannuba Wahid

Jika dibaca sepenggal, "gertakan" KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan akan membentuk pemerintahan baru jika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menegakkan hukum dengan benar, terasa seram.

Namun, jika kalimat selanjutnya dicerna, kontroversi maklumat Gus Dur sirna karena dinyatakan, "Tetapi kalau ada perbaikan dari pemerintah, ya saya akan ikut terus. Karena saya orang yang paling menaati konstitusi. Saya enggak berani melanggar konstitusi."

Berdasar sentimen yang sama, pernyataan kontroversial Andi Mallarangeng bahwa tindakan Gus Dur adalah makar, juga tidak perlu dipahami dengan miris karena komentar itu dari political scientist bahwa semua tindakan di luar konstitusi adalah makar.

Terlepas dari itu semua, segala respons mengundang sepenggal kelakar di lingkungan istana. Sekretaris Presiden Brigjen Kurdi Mustofa dengan jenaka menyatakan, akan membuat ring tinju di istana bagi staf khusus presiden.

Kelakar itu menunjukkan, yang terjadi sebenarnya tidak segawat yang dibayangkan orang. Bagi yang memahami betul sikap dan pemikiran Gus Dur—termasuk Presiden SBY—apa yang disampaikan Gus Dur masih dalam batas wajar dan menjadi bagian dari dinamika politik yang sehat.

Beberapa alasan

Mengapa muncul kesimpulan demikian? Pertama, kritik Gus Dur muncul karena maraknya "premanisme dalam negara", terutama yang mengatasnamakan agama. Sudah lama aparat hukum terkesan membiarkan sekelompok massa yang menggunakan cara kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya. Dalam bahasa Gus Dur, "menyampaikan pendapat dengan membawa bambu runcing, kelewang, dan alat-alat pukul lainnya". Menurut Gus Dur, dalam pemerintahan SBY, aparat keamanan kurang tegas dalam menegakkan hukum.

Kedua, beberapa saat setelah peristiwa di Indramayu, Presiden SBY memanggil saya dan menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang menimpa Gus Dur, bahkan menawarkan tambahan pasukan pengamanan di luar beberapa orang petugas yang selama ini mengawal Gus Dur. SBY juga prihatin atas sikap sekelompok massa yang cenderung mengedepankan kekerasan. SBY berjanji akan membahas masalah maraknya kekerasan yang dilakukan sekelompok massa dalam sidang kabinet. Namun, karena ada gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, agenda itu untuk sementara ditangguhkan.

Ketiga, beberapa hari setelah kembali dari Yogyakarta, SBY menepati janjinya dan memanggil Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Kepala Polri Jenderal Sutanto, dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam rapat membahas fenomena anarkisme di masyarakat. Hasil rapat, peringatan keras pemerintah kepada kelompok atau organisasi kemasyarakatan yang selama ini diindikasikan melakukan tindak kekerasan. Pemerintah akan menindak secara hukum organisasi yang anarkis, main hakim sendiri atau mengeluarkan ancaman kekerasan kepada orang lain.

Keempat, ada kesamaan visi antara SBY dan Gus Dur tentang dasar kehidupan politik nasional, terutama menyangkut Pancasila dan NKRI. Ketika menyampaikan pidato politiknya pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2006, apa yang disampaikan SBY terlihat senapas dengan pemikiran Gus Dur. Karena itu, sebenarnya ada ikatan ideologis dan transendental antara keduanya.

Kita tahu, Gus Dur tidak pernah lelah membela bentuk nations state berdasar Pancasila dan menjunjung tinggi demokrasi. Gus Dur cenderung memberi respons keras jika negara nasional atau Pancasila dan demokrasi di Indonesia mendapat ancaman. Pandangannya tentang Islam sebagai etika sosial (social ethic) dan Islam tanpa kekerasan merupakan bagian integral perjuangannya dalam mempertahankan NKRI sebagaimana dicita-citakan pendiri dan nasihat ulama pesantren masa lampau.

Kelima, dalam cara pandang politik Jawa, Gus Dur adalah tokoh Semar, seperti disebut Romo Sindhunata dalam seminar wayang di Yogyakarta tahun 1994, sementara SBY adalah Batara Guru. Menurut Romo Sindhu, sebagai Semar, Gus Dur adalah pengembara, berkelana tak terikat tempat. Ia tidak terikat pada bentuk. Dengan humor kritisnya ia bisa mendekonstruksi segala kemapanan. Seperti Semar, ia tidak terikat pada posisi, bahkan menjadi pengkritik keras kekuasaan. Dan seperti Semar, Gus Dur yang kiai itu adalah mediator (Kompas, 30/5/2001)

Seperti kentutnya (maaf) yang membuat puyeng jagat, apa pun yang dilakukan Semar, termasuk kritiknya yang keras, ditujukan untuk kebaikan kepemimpinan Batara Guru. Sekeras apa pun kritiknya, Semar tidak mungkin melakukan hal inkonstitusional.

Saling melengkapi

Jadi, posisi Gus Dur dan SBY bersifat saling melengkapi. Komitmen keduanya adalah untuk kelangsungan proses transformasi politik yang demokratis dan berkeadilan serta tegaknya NKRI berdasar Pancasila.

Apa yang tampak di permukaan selama ini, Gus Dur dan SBY terlihat "tidak sejalan". Bagi saya, itu hanya perbedaan cara dan bentuk dalam mengekspresikan komitmen yang sama. Perbedaan cara dan bentuk seperti itu merupakan hal biasa dan menjadi landasan penting proses dinamisasi masyarakat agar bangsa ini tetap eksis di tengah kompleksnya tantangan kehidupan di tingkat nasional dan global.

Yenny Zannuba Wahid Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik; Direktur The Wahid Institute

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home