| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 16, 2006,12:24 PM

Tidak Pancasilaiskah Aku?

Radhar Panca Dahana

Sebenarnya kita belum merdeka. Ini bukan sebuah kontroversi atau sekadar sensasi. Setidaknya jika merenung sejenak, setelah 60 kali merayakan hari kemerdekaan, apa sebenarnya yang telah dimerdekakan dari hajat hidup ratusan juta penduduk negeri kepulauan ini? Benarkah kemerdekaan telah kita hayati dan nikmati, atau—ternyata—kita telah menipu diri sekian lama? Ketika kenyataan praktis satu per satu membuka mata, sekujur hidup kita sebenarnya masih terbelenggu.

Gelegar proklamasi 17 Agustus 1945—kita ketahui dari fakta historis—adalah melulu pernyataan yang menggema ke dalam. Pengakuan diri saja. Secara global ia menjadi "realitas" beberapa tahun kemudian. Realitas itu pun melulu sebuah proforma politik (internasional) belaka, di mana syarat-syarat sebuah negara telah terpenuhi.

Di atas kertas, perangkat-perangkat negara secara konvensional terpenuhi. Namun sungguhkah ia terpenuhi secara substansial, secara esensial, dalam praksis dan keyakinan sehari-hari? Tidakkah ia sekadar simbolisme (negara modern), retorik, dan ternyata melulu nama belaka?

Pertanyaan-pertanyaan ini melibatkan pada realitas-realitas lain dari hidup kita yang ternyata belum merdeka. Secara retorik dan simbolik, kita mungkin menikmati kemerdekaan ekonomi, hukum, tradisi, agama, dan sebagainya.

Namun, benarkah sistem hukum kita telah merdeka, saat banyak produk hukum kolonial dan jiplakan hukum oksidental masih memenuhi hutan perundang-undangan kita? Benarkah sistem ekonomi kita merdeka, ketika kelas pedagang (dengan orientasi dan filosofi baru) belum bisa menggantikan para pelaku ekonomi tradisional, saat aturan-aturan main lokal masih ditentukan oleh aneka tekanan kapital besar dan kekuatan multinasional?

Sudahkah sistem peribadatan kita merdeka, ketika paham-paham ultrakonservatif dan pembela status quo (tradisionalisme) masih merepresi pemahaman- pemahaman baru, menjegal cara dan ruang agama lain?

Sudahkah sistem sosial dan cara hidup kita merdeka, ketika impuls-impuls tradisi—dalam keyakinan, perilaku, dan orientasi—masih menguasai kita, ketika patriarki feodal dan kolonial masih memenuhi pola hubungan, ketika chauvinisme lokal malah merajalela?

Bahkan secara politis, kenyataan merdeka yang paling terakui ternyata belum merdeka. Terutama saat kita tidak berhasil merumuskan kebutuhan dan cara mengelola negeri sendiri, kecuali dengan sekadar mengadopsi—bahkan memplagiasi— cara-cara orang lain.

Sekian banyak aturan (konstitusi amandemen, undang-undang, hingga perda), institusi modern (pemilu langsung, dewan senator, parlemen, KPK, berbagai Komnas, dan seterusnya), tinggal sebagai tinta di atas kertas sebagai penanda modernitas. Tetapi culture di baliknya, yang menentukan output semua hal itu, masih terjajah masa lalu, oleh tradisi, oleh keyakinan sempit dan mistisisme yang involutif.

Jujur saja, kita belum merdeka.

Pancasila beku dan baru

Bukan salah founding fathers and mothers, tetapi ini semua karena kekurangan dan kelemahan kita saat ini. Para founders telah memproduksi dan mengaktualisasi kata "merdeka" dalam fungsi dan porsi yang sesuai dengan masanya, menjadi simpul energi dari 60 juta penduduk negeri untuk bergerak melawan pemerintahan kolonial. Tidak lebih. Dan tidak dapat kita harapkan 60 juta pikiran itu memahami benar makna merdeka. Setidaknya 60 juta kepala adalah 60 juta tafsir tentang "merdeka". Tafsir yang berbeda antara Tan Malaka, Semaun, Soekarno, Sudirman, Amir Hamzah, Takdir Alisjahbana, Hatta, dan lainnya.

Ya menyatukan mereka, sinergi melawan dan membebaskan diri dari kolonialisme, secara simbolik belum substansial. Karena kemerdekaan politis-simbolik itu mengangkut semua yang berbau kolonial, bernyawa masa lalu, bahkan untuk sekian lama sesudahnya.

Jika kemudian para founders mencoba "merumuskan" isi atau substansi baru dari sebuah entitas bernama "Indonesia", ia baru berupa rumusan, sebuah ideal (ideologi) dengan sekali-dua eksperimen (yang ternyata gagal semua).

Maka "Indonesia" datang pada kita, masih dalam bentuk idea yang abstrak, baru menjadi semacam sacred canopy-nya Peter Berger, langit tanpa bumi berpijak, atap atau tanpa struktur bangunan di bawahnya. Tetapi demikianlah batas akhir para founders.

Kita yang kemudian gagal melanjutkannya, menciptakan bumi tempat kita landas menuju langit, menyusun kamar- kamar yang membangun struktur bangunan atapnya, memanifestasi praksis sebagaimana idea-nya. Dan kita tak hanya gagal, kita mengkhianatinya.

Hal yang identik terjadi pada "Pancasila", yang belakangan kita dengungkan dan amplifying sebagai "sendi dasar final" atau "jati diri final" sebuah bangsa bernama "Indonesia". Sementara entitas terakhir ini masih sumir, maka landasan eksistensialnya sesungguhnya masih goyah. Beberapa pihak belakangan menyatakan dan menyerukan untuk kembali pada "Pancasila" yang murni (rumusan Soekarno), bahkan di Bali baru-baru ini muncul maklumat yang meminta bangsa untuk melaksanakan (kembali) UUD 45.

Sebuah gerak retroaktif yang konservatif, bahkan fundamentalis (secara politis) dengan keyakinan romantis bahwa ia akan menyelesaikan kedegilan hidup masa kini. Keyakinan taqlid yang kadang melebihi kepatuhan mereka pada agama (dengan tradisi ribuan tahun) yang—meski diimani lahir batin—masih membuka diri pada perubahan. Pancasila seolah selesai dalam pemberhentian 60 tahun lalu. No more questions.

Namun, mana ada asas atau konstitusi yang tak berubah? Sementara masa, zaman, manusia dan perlengkapan budayanya terus berubah dan mengubah. Bukankah hanya monumen batu yang tidak berubah?

Jika 200 juta lebih manusia harus berkeringat darah (seperti pejuang) mengadjust diri dengan perubahan cepat dari kehidupan masa kini, apakah asas dan konstitusi tegak membeku? Tidakkah ia segera kehilangan posisi dan fungsinya sebagai sumber dan pusat referensi?

Pancasilaiskah aku?

Untuk memeriksa ketidakterelakkan perubahan pemahaman Pancasila, sebenarnya mudah, bisa dilihat sila per sila.

Sebagai contoh, sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa" hanya satu adagium apologis untuk menyembunyikan niat hanya membela "lima agama resmi" saja? Sementara tak ada kata agama dalam sila itu. Dan Khonghucu akhirnya dimasukkan sebagai si "resmi keenam"; Padahal, sekian lama kita menindas ekspresi-ekspresi "agamis" yang "berketuhanan yang maha esa" lain; Sementara kita menindas, interpretasi dan pemaknaan baru muncul dari "agama resmi"; Sementara itu pula, kita membiarkan kelompok agama yang merasa mewakili mayoritas, merepresi bahkan menghina keyakinan pihak lain; Sementara kita buta pada pencarian-pencarian religius baru yang kini melanda dunia; Sementara...

Berikut, tidakkah kita harus menghitung ulang tafsir sila kedua, "Kemanusiaan yang Beradab" ketika 32 tahun Orde Baru justru melakukan banyak "kemanusiaan yang biadab" atas nama Pancasila, dan hingga kini masih ada yang membelanya? Tidakkah gerakan reformasi menginjak- injak sila itu dengan kekejaman tak terperi seperti tercatat media dan sejarah? Tidakkah perilaku masyarakat kita menghindar dan melecehkan sila kedua, seperti laporan kriminal memenuhi media?

Berikut, sila ketiga. Akhir-akhir ini kita justru mendapat bukti negatif dari mengerasnya gerak separasi, dengan lepasnya Timor Timur, "negara" dalam negara pada kasus Aceh, atau gerak Papua merdeka yang kian mengglobal. Bersatukah kita, saat separasi sosial kian melebar dan semua kelas fanatik dengan kepentingan golongan sendiri? Persatuankah kita, saat sistem hukum, politik, dan ekonomi kian memperlebar jurang di antara rakyatnya sendiri, "tebang pilih", "pilih kasih", atau nepotisme yang menguat belakangan ini?

Pemeriksaan jujur yang mengabarkan pada kita: Pancasila tidak saja tidak (lagi) menjadi sumber acuan, tetapi juga keteteran menghadapi pergerakan zaman (dan manusia), di mana tafsir lama tak kuat menampung aspirasi dan produk kultural baru yang menghujani peri-hidup kita sehari-hari. Maka, jika aku mengharap agama fleksibel untuk menjawab kekinianku, apa tidak pancasilaiskah aku saat kutuntut Pancasila hidup dan berkembang mengiringi pergolakan besar hidup di zaman ini? Pancasila itu jati diri, maka batu pulalah aku, batu pula Indonesiaku. Itukah yang kau mau?

RADHAR PANCA DAHANA Sastrawan, Tinggal di Tangerang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home