| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 05, 2006,10:59 AM

Menggali Pancasila di Tengah Keterpurukan

Bambang Setiawan

Di tengah sejumlah kekhawatiran masyarakat akan semakin meningkatnya perpecahan masyarakat, langkah untuk kembali membangkitkan ideologi Pancasila tak semudah memalingkan wajah.

Ideologi negara pernah menjadi sumber kekuatan yang dahsyat, yang dengannya sebuah negara dicirikan dan hegemoni kekuasaan dijalankan. Kebangkitan negara besar di awal abad ke-20 hampir identik dengan kebangkitan ideologi. Uni Soviet dengan "Marxisme, Materialisme-Historis", China dengan "Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme", Jepang dengan "Tennoo Koodoo Seishin", dan Jerman dengan "Sosialisme Nasional".

Pancasila yang lahir di penghujung akhir masa keemasan ideologi dipengaruhi ideologi nasionalis yang sudah dianut sejumlah negara yang merdeka sebelumnya. Lahir sebagai sebuah pergulatan pemikiran di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI-Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang bersidang pada akhir Mei hingga awal Juni 1945, Pancasila menemukan kristalisasi di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan Kemerdekaan RI.

Pancasila menjadi dasar negara yang mencoba menjadi landasan berpijak bagi bangsa yang demikian beragam etnik, agama, adat istiadat dan bahasa, yang menetap tersebar di beribu pulau Nusantara. Soekarno, pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, bahkan menekankan nasionalisme atau kebangsaan Indonesia sebagai sila pertama, "… marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat."

Meskipun gagasan Kebangsaan Indonesia dalam perjalanannya kemudian berubah urutan menjadi sila ke tiga dengan rumusan Persatuan Indonesia, jelas nasionalisme menjadi dasar ideologi yang terpenting ketika negara baru ini dihadapkan pada kemajemukan masyarakatnya. "Kehendak untuk bersatu", sebagaimana dikemukakan Ernest Renan, menjadi pengikat dari sebuah bangsa baru.

Akan tetapi, tampaknya ada pergeseran makna kalau kita telusuri perjalanan ideologi Pancasila. Semula ia sebagai ideologi kebangsaan yang mencoba mengatasi keragaman, menjadi sekadar alat yang bersifat represif untuk mencapai tujuan penguasa. Proses hegemoni politik membuat Pancasila sebagai alat penyamarataan daripada sebagai ideologi yang berdiri di atas perbedaan-perbedaan.

Di masa Orde Baru, Pancasila tidak saja sebagai dasar negara, sebagai falsafah hidup berbangsa, tetapi lebih jauh dipertandingkan dan digunakan untuk menekan perbedaan. Ia menjadi alat represi ideologi politik dan memberangus lawan politik di pentas publik. Skrining ideologi mulai dari partai politik, organisasi massa, hingga ke urusan pribadi menjadi fenomena yang mencolok selama kekuasaan Orde Baru, terlebih lagi setelah pada tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pada masa setelah itu, ideologi negara ini menjadi kata yang demikian masif memenuhi ruang gerak politik di negeri ini, bahkan sering kali terasa menggerahkan.

Pasang-naik ideologi Pancasila tampaknya berhenti sejak Soeharto lengser. Gerakan reformasi 1998 tidak saja berhasil menumbangkan penguasa Orde Baru, tetapi juga telah menempatkan Pancasila ke dalam lemari es. Pancasila tampak meredup dari wacana publik, seiring kebebasan politik dalam orde reformasi. Kebangkitan dan maraknya ideologi lain yang dikembangkan oleh partai ataupun organisasi massa membuat posisi Pancasila seolah terbenam jauh dari ambang ingatan.

Walaupun sempat terpinggirkan dalam wacana publik sejak lengsernya Orde Baru, ternyata kini Pancasila dianggap sebagai ideologi yang paling baik bagi bangsa Indonesia. Mayoritas (86,9 persen) responden jajak pendapat Kompas mengatakan itu. Bahkan, hampir semua responden sepakat ideologi negara itu harus dipertahankan.

Upaya menengok kembali cita-cita bangsa yang dicerminkan di dalam Pancasila tampaknya dilakukan masyarakat, setelah perjalanan reformasi selama delapan tahun ini menunjukkan gejala perpecahan yang makin mengkhawatirkan. Kekhawatiran akan runtuhnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia ini ditunjukkan oleh 58 persen responden yang melihat makin rawannya pertentangan antarwilayah, antar-agama, antarsuku bangsa, antarpartai politik, hingga antargolongan ekonomi. Semakin rendahnya penghargaan dari satu kelompok kepada kelompok masyarakat lain menjadi gejala yang mudah terlihat di dalam keseharian.

Arah yang ingin digapai oleh Indonesia ke depan tampaknya semakin buram dengan makin intensnya konflik antarwilayah, antarpemeluk agama, antarsuku bangsa, dan antarkelompok masyarakat. Terlebih, selama perjalanan delapan tahun ini tidak muncul tokoh politik yang betul-betul dapat mengarahkan bangsa ini menuju kebangkitan sebagai bangsa yang bermartabat. Kondisi ini pun ditangkap 68,4 persen responden jajak pendapat ini, yang menilai bahwa pemimpin di negeri ini semakin tidak jelas dalam menentukan arah negara Indonesia.

Alih-alih mengarahkan tujuan negara, bahkan pemerintah dinilai belum memiliki peran yang signifikan dan konsisten dalam menciptakan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila. Pemerintah, misalnya, dinilai belum menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi, sebagaimana juga dalam bidang lainnya, seperti hukum, pendidikan, kesehatan, politik, dan keamanan. Bagi 68 persen responden, keadilan sosial terasa semakin jauh saja saat ini.

Negara, sebagai otoritas tertinggi pengatur dan pelindung kehidupan warga, juga belum memberikan perlindungan yang sama terhadap semua kelompok masyarakat. Ada kecenderungan lepas tangannya negara, terutama terhadap sejumlah konflik terkait dengan agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa justru mendapat tantangan yang keras akhir-akhir ini dengan kian banyaknya kasus-kasus pelarangan penyelenggaraan dan pembangunan tempat ibadah oleh kelompok masyarakat tertentu.

Kian jauhnya keadilan sosial menjadi nyata akibat segregasi yang makin intens dijalankan elemen dasar kenegaraan. Payung kepentingan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak lagi menjadi tempat bernaung segala kepentingan masyarakat, tetapi menjadi alat berkuasanya tirani mayoritas. Sistem permusyawaratan perwakilan yang menjadi landasan sila ke empat Pancasila tak lagi menempatkan mufakat sebagai pergulatan pemikiran melahirkan kebijakan. Demokrasi liberal bahkan lebih terasa di sana. Kepentingan mayoritas menjadi yang paling utama dan minoritas sekadar menjadi ornamen politik. Minoritas tak mendapat tempat dalam alam demokrasi era reformasi. Hingga, tak heran jika kemuakan masyarakat mulai terasa setelah delapan tahun reformasi mereka menilik kembali sifat baik dari musyawarah untuk mufakat. Setidaknya, satu dari empat orang responden jajak pendapat ini lebih memilih penyelesaian persoalan-persoalan bangsa dengan cara musyawarah daripada voting.

Di samping sejumlah tantangan internal, upaya penegakan Pancasila saat ini juga akan terhadang sejumlah kendala eksternal yang tak kalah kuatnya. Globalisasi membuat—bukan saja ideologi liberal dan kapitalisme—juga aliran agama dengan ideologi garis keras masuk ke ruang pribadi warga.

Neoliberalisme dan gagasan pasar bebas di satu sisi membuat gagasan negara-bangsa terasa usang, sebagaimana dinyatakan Kenichi Ohmae. Di sisi lain, aktivitas kelompok garis keras dengan ideologi teokrasi juga menjadi impitan yang berat bagi nasionalisme Indonesia. Dalam situasi seperti inilah, menegakkan Pancasila tak cukup dengan jargon politik. (Litbang Kompas)

Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang "Kompas" 31 Mei-1 Juni 2006. Sebanyak 885 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis. Responden berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Jayapura. Jumlah responden di setiap kota ditentukan secara proporsional. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian 3,3 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat di negeri ini.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home