| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 05, 2006,10:58 AM

Benturan Alur Nalar Bangsa

Musa Asy'arie

Selama hampir satu dasawarsa terakhir ini, bencana multidimensional terus mendera kehidupan rakyat kita, mulai dari bencana ekonomi yang menurunkan daya beli rakyat, bencana politik yang mencabik-cabik kerukunan nasional, hingga bencana sosial budaya yang memunculkan konflik kekerasan berbasis ras, kedaerahan, dan aliran faham keagamaan. Situasi ini diperparah oleh bencana alam seperti tsunami di Aceh, banjir dan longsor di berbagai daerah, serta gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Masihkah bencana akan terus berlanjut?

Sebagai tanda-tanda zaman, kita mungkin tidak cukup arif untuk membaca dan memaknainya guna mengubah paradigma dan perilaku kita selama ini. Ternyata para elite bangsa tidak mengubah paradigma dan egoisme sektoralnya dengan pertikaian politik yang destruktif, komunalisme, dan premanisme yang berdampak hancurnya kohesi sosial dan goyahnya persatuan nasional.

Apa sesungguhnya yang terjadi dalam kehidupan bangsa ini sehingga duka nestapa datang silih berganti?

Fenomena Mbah Maridjan

Mbah Maridjan adalah sosok orang tua yang sederhana dan lugu dengan alur nalar yang unik karena terbentuk oleh magisme dari ritme pergaulan yang intensif dengan perilaku Gunung Merapi yang konon dijaganya. Logikanya menegaskan bahwa Gunung Merapi sedang punya hajatan dan kemudian membuang sampahnya. Biasanya membuang sampah itu ke samping atau ke belakang rumah, tetapi tidak ke halaman depan rumah yang menunjukkan adanya tradisi kesantunan. Gunung Merapi dipercayai menghadap ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena itu, lahar Gunung Merapi akan terbuang ke arah samping di Magelang atau ke belakang di Boyolali.

Sudah berpuluh tahun Mbah Maridjan bekerja mengabdi menjaga Gunung Merapi dengan alur nalar yang unik dan meyakini mendapatkan mandat spiritual dari raja yang mewakili Penguasa Jagat, bukan penguasa politik dan pejabat pemerintahan. Karena itu, ketika Presiden RI, Gubernur DI Yogyakarta, dan para pejabat menginstruksikannya untuk mengungsi, Mbah Maridjan pun menolaknya dengan sindiran yang halus dan mengatakan "berikan saja uangnya kepada rakyat". Dia menegaskan bahwa dirinya diangkat oleh Sultan Hamengku Buwono IX, bukan oleh Gubernur DI Yogyakarta sehingga secara spiritual dia tidak membangkang kepada raja yang mengangkatnya.

Fenomena Mbah Maridjan telah membelah opini masyarakat. Di satu pihak mereka mengikuti anjuran pemerintah untuk mengungsi dan menyelamatkan diri dari bencana letusan Gunung Merapi. Di pihak lainnya, mereka tidak mau mengungsi karena meyakini bahwa mereka berada di wilayah yang bebas dari buangan sampah lahar yang ditimbulkan oleh hajatan Gunung Merapi.

Sementara itu, letusan dahsyat Gunung Merapi belum juga datang. Sebagian pengungsi pun sudah tidak tahan hidup di tenda-tenda pengungsian dan mereka secara diam-diam kembali ke kampungnya. Pada titik ini, terjadilah benturan alur nalar publik dan alur nalar Mbah Maridjan ternyata menemukan momentumnya dengan membentuk sikap rakyat yang secara diam-diam menentang anjuran dan kebijakan pemerintah.

Tidak kasat mata

Apa yang kemudian terjadi adalah gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tetapi bukan terjadinya letusan dahsyat dari Gunung Merapi. Kejadian ini menyiratkan adanya benturan alur nalar dan kebijakan yang diambil pemerintah yang ternyata lebih terpaku dan mementingkan fenomena penampakan visualnya. Akibatnya, prediksi analisis letusan gunung Merapi lebih menguat dan mendapatkan perhatian daripada prediksi analisis pada pergeseran lempengan dasar laut yang secara visual tidak nampak kasat mata.

Sekali lagi, di sini terjadi benturan antara alur nalar yang tidak tampak dan alur nalar yang tampak di permukaan. Alur nalar yang berdasarkan penampakan kasat mata ternyata lebih kuat daripada alur nalar pada ketidaktampakan kasat mata. Kebijakan pemerintah dan sikap publik ternyata lebih mengutamakan fenomena kasat mata daripada fenomena yang tidak kasat mata. Celakanya, pemerintah selalu terlambat untuk bisa membantu korban yang secara kasat mata lebih menderita daripada mereka yang pintar memainkan peluang bantuan yang kasat mata ada di depannya.

Alur nalar kebijakan pemerintah seharusnya bisa lebih menukik untuk memahami permasalahan yang dihadapi bangsa. Hal itu tidak berdasarkan fenomena penampakan yang kasat mata saja, tetapi yang lebih penting lagi mampu melihat fenomena dinamik yang tidak kasat mata yang justru lebih penting dan strategis. Kebijakan pemerintah menetapkan skala prioritas pada pembangunan sektor ekonomi daripada prioritas pembangunan sektor kecerdasan dan watak melalui pendidikan yang aktual sejak pemerintahan Orde Baru dan diteruskan hingga pemerintahan era reformasi tampaknya hanya akan memiskinkan dan menyengsarakan kehidupan rakyatnya.

Masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang diam. Mereka melawan kekuasaan raja atau pemerintah tidak secara terbuka, tetapi dengan tidak menganggap keberadaannya. Mereka menjalani kehidupannya dengan alur nalarnya sendiri karena pemerintah dipandang telah berada di luar alur nalarnya. Hal yang menyedihkan, pemerintah sering tidak mampu membaca fenomena yang tidak kasat mata ini. Akibatnya, pesan dan kebijakan pemerintah tidak pernah dapat menembus kesadaran masyarakat yang diam.

Dengan adanya berbagai bencana yang susul-menyusul menimpa bangsa ini, baik bencana alam maupun bencana ekonomi, politik, sosial, dan budaya, seharusnya menyadarkan kita perlunya untuk belajar serta mengubah paradigma dan perilaku dalam mengelola amanat kekuasaan dengan kearifan transendental. Dengan demikian, dengan rendah hati kita berani merenungkan ulang perjalanan bangsa ini, mau dibawa ke mana sesungguhnya nasib bangsa ini?

Kebijakan yang terpaku pada fenomena kasat mata telah terbukti bertahun-tahun menyesatkan. Kita harus berani keluar dari jebakan fenomena kasat mata dengan paradigma baru yang lebih fundamental sehingga dapat membaca realitas sosial kita yang diam dengan tepat. Kita perlu menghentikan pertikaian politik kekuasaan yang vulgar dengan tetap menjaga dan mengelola perbedaan dan pluralitas sebagai proses pengayaan spiritualitas guna menyangga kemajuan peradaban bangsa.

Kearifan transendental mengajarkan bahwa tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Manusia di panggung dunia telah memainkan peran sebagai aktor, sebagai khalifah, sehingga bencana apa pun di dunia sesungguhnya tidak pernah lepas dari perilaku dan tanggung jawab manusia sendiri.

Tanpa kearifan transendental, bencana akan terus datang siling berganti dan kita pun tidak berdaya lagi untuk menyangganya. Mungkin saja kita akan tercabik-cabik dan ambruk sebagai suatu kesatuan bangsa dan negara kesatuan.

Musa Asy'arie
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home