| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, June 04, 2006,9:09 PM

Ketika Minyak Jadi Senjata Politik

Myrna Ratna

Semua yang melatarbelakangi ketegangan dunia saat ini tampaknya terpusat pada satu hal, sumber daya minyak bumi. Ketika tahun 2001 harga minyak dunia masih 30 dollar AS per barrel, soal ini masih belum menjadi kekhawatiran nyata. Namun, setelah harga minyak melewati 70 dollar AS per barrel, konstelasi politik global pun berubah.

Negara-negara yang memiliki cadangan minyak bumi merasa lebih "powerful" menghadapi negara-negara kekuatan utama dunia yang merasa terancam aksesnya.

Akibatnya, yang terjadi saat ini adalah strategi yang saling mengancam, baik antarnegara, bahkan antarblok. Perseteruan antara AS (Barat) dan Iran misalnya, bukan semata dilandasi karena kekhawatiran Barat bahwa Iran akan memproduksi senjata nuklir. Yang lebih utama adalah karena Iran memiliki sumber daya minyak kedua terbesar di dunia dengan kemampuan produksi 125 juta barrel.

Michael T Klare yang analisisnya mengenai perang Irak begitu jitu kini juga meramalkan hal serupa. Dalam The Coming War with Iraq: Deciphering the Bush Administration, Januari 2003, antara lain dia meyakini invasi itu bukan karena adanya senjata pemusnah massal ataupun keterkaitan rezim Saddam Hussein dengan Al Qaeda, tetapi karena kepentingan minyak AS.

Dalam artikelnya setahun lalu, Oil, Geopolitics, and the Coming war with Iran, 11 April 2005, Klare menuliskan, andaikan AS menginvasi Iran, itu adalah demi sebuah "perubahan rezim" yang dapat melindungi kepentingan minyak AS.

Masih ingat pidato Bush ketika akan menginvasi Irak? Bunyinya kira-kira seperti ini: "Bila semua ambisi senjata pemusnah massal Saddam Hussein terealisasi, implikasinya sangat luar biasa bagi Timur Tengah dan AS. Dipersenjatai dengan senjata teror dan menguasai 10 persen cadangan minyak dunia, Saddam Hussein mungkin akan berupaya mendominasi seluruh Timteng."

Kini, ujar Klare, gantilah kata "Saddam Hussein" dengan "para mullah Iran", maka Anda akan memiliki ekspresi sempurna Bush untuk menginvasi Iran!

Perlawanan bersama

Kita masih mengikuti bagaimana gigihnya Iran dalam menghadapi hegemoni AS dan Barat. Namun yang kini juga terlihat adalah sebuah "perlawanan bersama" dari negara-negara yang memiliki cadangan minyak bumi untuk menghimpun kekuatan dan meningkatkan posisi tawar mereka terhadap AS dan sekutunya.

Pada Mei lalu Wapres AS Dick Cheney di depan para pemimpin negara-negara bekas Uni Soviet di Kiev, Ukraina, menuduh Rusia telah "menggunakan minyak dan gas bumi untuk mengintimidasi para tetangganya". Cheney merujuk pada perseteruan Ukraina (negara bekas Uni Soviet) dengan Rusia soal harga gas. Rusia sempat menghentikan pasokan gas ke Ukraina ketika Kiev berkeras tak mau menerima kesepakatan harga baru.

Tindakan ini dikecam negara-negara Barat. Namun, Rusia juga ingin "memberi pelajaran" pada Ukraina tentang siapa yang menjadi bos di kawasan itu. Maklumlah, begitu Victor Yuschenko yang sangat pro-Barat terpilih menjadi PM Ukraina, kebijakannya sangat berorientasi pada AS dan barat. Ia "lupa" secara geopolitik, Ukraina sangat bergantung pada Rusia.

Perseteruan ini berlanjut panjang. Dengan dukungan AS, hari Selasa (23/5) lalu, Azerbaijan, Georgia, Moldova, dan Ukraina meluaskan aliansi mereka (GUAM) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan energi terhadap Rusia. Negara-negara ini akan membangun pipa minyak tanpa melewati Rusia, yaitu dari Laut Caspia ke Azerbaijan, kemudian ke Georgia dan langsung ke pasar negara-negara Barat. Jalur ini dinamakan jaringan Baku-Tbilisi-Ceyhan.

Bagi Moskwa, "kunci" dalam aliansi ini adalah Azerbaijan yang memiliki sumber daya gas alam melimpah. Oleh karena itu, Rusia berupaya "mengikat" Azerbaijan dengan beragam tawaran, termasuk keanggotaan dalam kesepakatan keamanan Rusia-China (ketiga negara lainnya sudah ditarik NATO). Azerbaijan cukup cerdas untuk membangun keseimbangan hubungan dengan Barat dan Rusia, sehingga negara itu memperoleh keuntungan dari kedua sisi.

Perlawanan sistematis juga datang dari "musuh-musuh" lama AS di Amerika Latin. Venezuela, Bolivia, dan Kuba, mengeratkan tangan mereka untuk menentukan masa depan Amerika Latin. Terpilihnya Evo Morales sebagai Presiden Bolivia menjadi "mimpi buruk" AS yang berangan-angan ingin "mendemokratisasi" halaman belakangnya dengan resep pasar bebas.

Bolivia sejak awal Mei lalu menasionalisasi seluruh perusahaan minyak dan gas alam di negara itu, di mana seluruh perusahaan energi asing harus menyetujui penyaluran seluruh penjualan hasil produksinya melalui Pemerintah Bolivia, atau segera angkat kaki.

Sehari sebelum pengumuman nasionalisasi, Morales bersama Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Fidel Castro dari Kuba bertemu di Havana untuk menandatangani "kesepakatan perdagangan sosialis". Mereka bercita-cita "menyatukan Amerika Latin" melalui jaringan pipa minyak, dan menyebut aliansi ini sebagai sebagai Poros Kebaikan (Axis of Good), sebuah ledekan yang menohok Washington.

Meskipun tidak semua negara berpemerintahan kiri di Amerika Latin setuju dengan langkah-langkah nasionalisasi Bolivia (seperti Cile dan Peru), keberhasilan Morales telah memberi inspirasi tentang "kebangkitan melawan hegemoni AS" di seluruh kawasan. Hal ini akan berpengaruh pada para kandidat pemilu presiden di negara-negara Amerika Latin dalam meraih simpati rakyat, apakah mereka pro AS (yang diplesetkan menjadi pro-imperialisme), atau pro-sosialisme (pro-rakyat).

Para analis mengatakan, pergeseran yang terjadi di Amerika Latin ini karena AS terlalu lama "mengabaikan" kawasan ini setelah serangan 11 September 2001, dan kemudian terkooptasi oleh isu terorisme dan Timur Tengah. Namun, alih-alih melakukan pendekatan untuk merebut simpati, AS menerapkan pendekatan tangan besi.

Pekan lalu AS mengumumkan larangan penjualan senjata ke Venezuela, yang merupakan eksportir minyak nomor lima terbesar di dunia dan salah satu pemasok minyak terbesar bagi AS, dengan alasan "Venezuela tidak kooperatif dalam memerangi terorisme dan telah membahayakan stabilitas kawasan".

Washington mengumumkan embargo tersebut bersamaan dengan pengumuman pemulihan seluruh hubungan AS dengan Libya. Situasinya pun dibuat lebih dramatik, yaitu hanya sehari sebelum Hugo Chavez bertemu Moammar Khadafy di Tripoli.

Kini perusahaan-perusahaan minyak AS dan Eropa mulai berkompetisi untuk merebut akses ke Libya . "Ini (sikap AS terhadap Libya) bisa menjadi contoh bagi Iran," kata Asisten Menlu AS David Welch kepada Associated Press awal pekan ini.

Kepentingan minyak AS di Timur Tengah diyakini menjadi pertimbangan utama Washington untuk berbaikan dengan Libya, terlebih dengan meningkatnya ketegangan politik dengan Iran, situasi yang tak stabil di Irak, dan kondisi memanas antara Israel dan Palestina.

Lepas ketergantungan

Dalam pidato kenegaraan 31 Januari lalu, Presiden George W Bush mengatakan, Pemerintah AS berencana mengurangi ketergantungan minyak pada Timur Tengah sampai 75 persen tahun 2025 dengan memfokuskan pada bahan bakar alternatif, seperti etanol dan biodiesel.

Beragam tanggapan muncul atas ajakan Bush ini. Ada yang pesimistis tapi tak sedikit yang optimistis. Menurut National Geographic News (14/2), total impor minyak AS mencapai 60 persen, namun hanya sedikit yang berasal dari Timteng (beturut-turut lima pengimpor terbesar AS adalah Kanada, Meksiko, Arab Saudi, Venezuela, dan Nigeria). Artinya, mengurangi ketergantungan dari Arab Saudi tidak akan menghapus ketergantungan AS terhadap pasokan minyak asing. Bahkan bila AS menghentikan total impor dari Timur Tengah pun, hal itu akan mendorong instabilitas politik di kawasan, karena harga minyak sangat terkait hal itu.

Namun, gagasan Bush untuk menggunakan etanol dinilai sudah pada arah yang tepat untuk jangka panjang. Saat ini industri etanol AS menghasilkan sekitar 9,5 miliar liter gasolin setiap, masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar sehari-hari di AS. Pihak yang optimistis menilai, penggunaan biodiesel bisa menggantikan 10-15 persen penggunaan total gasolin di AS, sama dengan menghapus 75 persen impor minyak dari Timur Tengah.

Apa pun langkah AS di masa depan yang berkaitan dengan kebutuhan energinya, akan berpengaruh terhadap kondisi global. Namun, jangan salah, bukan hanya AS yang sudah mengambil ancang-ancang, para pemimpin lain di dunia pun bersiap mengantisipasi bahwa minyak dan gas akan menjadi senjata politik ampuh di masa depan.

Seperti apa yang dikatakan Richard Haass (Newsweek, 15/5), mulai kini latihan perang-perangan akan lebih banyak membahas tentang anjloknya pasokan minyak dan naiknya harga minyak global daripada pengerahan tank-tank dan kendaraan lapis baja menuju perbatasan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home