| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 16, 2006,12:00 PM

Jangan Memberangus Ormas

Saat ini, berkembang pemikiran agar pemerintah membubarkan beberapa ormas yang dianggap menjadi sumber dan biang keladi terjadinya kekerasan di Indonesia. Ide ini dipicu oleh kenyataan maraknya penggunaan kekerasan dalam mengatasi perbedaan pendapat dan paham ketika menghadapi persoalan yang menimpa bangsa Indonesia.

Ide ini disambut pemerintah dengan sigap. Menteri Dalam Negeri menyatakan akan melakukan penertiban terhadap beberapa ormas (dan juga LSM) yang dinilai mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Selain itu ditemukan beberapa ormas dan LSM yang mengarah pada permusuhan dan SARA (TNR, 8/6).

Penertiban dilaksanakan dengan dasar Undang-undang No 8/1985 tentang Ormas dan Peraturan Pemerintah No 18/1986 tentang Ormas. Dalam aturan tersebut ormas dan LSM dilarang melakukan aktivitas yang dapat menyebarkan permusuhan dan SARA, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, merongrong kewibawaan dan mendiskreditkan pemerintah, menghambat program pembangunan, dan kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Tak cukup dengan hal itu, Presiden SBY juga mengungkapkan janji akan memberi sanksi bagi beberapa ormas yang dinilai cenderung melakukan kekerasan. Ormas semisal FPI, MMI, dan FBR disebut presiden sebagai contohnya. Tetapi juru bicara Presiden meralat pernyataan bahwa Presiden menyebut nama-nama ormas yang dimaksud (Detik.com, 14/6).

Ormas dan parpol
Memang, salah satu yang tersisa dalam laju transisi demokrasi Indonesia saat ini adalah ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perbedaan pendapat ketika menghadapi persoalan bangsa. Terbiasa dengan satu pandangan dan sikap dominan pemerintah, 'masyarakat baru' reformasi, kini dikejutkan dengan kenyataan bahwa satu prinsip tertentu dapat disikapi dengan berbagai pendapat.

Tak jelas benar dari mana datangnya ide dan nafsu untuk memberangus ormas-ormas yang ada dan legal. Satu sikap dan cara yang sejak zaman orde baru ditentang, kini seolah mendapat kembali legalisasi hukumnya. Uniknya sikap inipun didasarkan pada nilai demokrasi. Demokrasi, katanya, tak boleh anarki. Dan karenanya, harus ada seperangkat cara untuk memberangus keberadaan ormas yang dinilai meresahkan masyarakat. Cara pandang ini, tak sepenuhnya salah.

Memang semestinya harus ada cara yang tepat untuk menutup sebuah organisasi yang dirasakan sangat tidak sesuai dengan dasar-dasar satu negara. Sekalipun begitu, cara ini --jika tak dikelola dengan baik dan hati-hati-- akan dapat berimplikasi serius dan bahkan dapat mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri.

Lebih-lebih pemberangusan tersebut diserahkan sepenuhnya ke tangan pemerintah. Satu sikap yang bukan saja mundur tetapi juga seolah menyerahkan 'daging kepada singa'. Inilah kebiasaan bangsa kita yang seolah tak pernah berubah. Memberi 'cek kosong' kepada pemerintah untuk mengatasi segala hal yang sesungguhnya menjadi urusan masyarakat sipil. Kegagalan membangun dialog sesama warga akhirnya berujung kepada kekuasaan pemerintah.

Mendasarkan sikap pada UU No 8/1985 tentang Ormas akan menimbulkan banyak kontradiski. Pertama, UU ini sendiri mestinya sudah harus dibatalkan. Sebab UU No 8/1985 pada dasarnya dibuat untuk memperkuat kekuasan rezim orde baru. UU ini sepenuhnya bersifat sentralistik dan menempatkan pemerintah memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur kehidupan organisasional masyarakat sipil di mana seluruh ormas harus masuk ke dalam pembinaan pemerintah. Pemerintah bisa melakukan pembekuan dan pembubaran terhadap pengurus ormas apabila ormas melakukan kegiatan yang dilarang dalam undang-undang keormasan, tanpa ada prosedur pengawasan lewat jalur hukum dalam penggunaan wewenang ini (Pasal 12- 13).

UU ini juga menempatkan kewajiban ormas untuk me nganut satu-satunya paham ideologi bernegara yakni pancasila. Hal ini terlihat di dalam isi dan penjelasan UU No 8/1985 tersebut yang menyebut kata ''Pancasila'' sebanyak 29 kali. Karena itu, pemerintah dapat membubarkan ormas jika tidak menganut Pancasila. Selain itu, demi memudahkan kontrol, negara juga tidak memperbolehkan lebih dari satu organisasi dalam satu jenis profesi.

Karena semangatnya memberi ruang kekuasaan bagi pemerintah begitu besar, maka napas dalam UU itu terlihat sangat kontradiktif dengan semangat reformasi. Dalam UU ini, pemerintah ditempatkan sebagai penentu segalanya. Jelas sistem ini tak akan menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat. Kehidupan ormas di zaman orde baru merupakan contoh nyata akibat UU No 8/1985 yang represif. Kedua, sejalan dengan perkembangan reformasi, UU yang senapas dengan UU No 8/1985 ini telah dicabut. Sebut saja UU yang mengatur tentang partai politik dan sistem pemilu. Berbeda jauh dengan UU sebelumnya, UU No 31/2002 tentang Partai Politik bahkan tak mewajibkan parpol menyebut Pancasila sebagai satu-satunya dasar dan ideologi parpol. Parpol bahkan dapat mencantumkan ciri tertentu parpolnya selama tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan UU Parpol (pasal 5 ayat 2).

Ketiga, masih mengikuti logika UU Parpol, tata cara pembubaran parpol pun diatur sedemikian rupa. Tak ada satu lembaga pun tak terkecuali pemerintah yang dapat membubarkan parpol kecuali Mahkamah Konstitusi (pasal 20c). Pembubaran hanya dapat dilakukan setelah mereka terbukti melakukan tindakan yang dilarang oleh UU. Seperti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 45, mengancam NKRI, dan menganut paham Komunis/Marxisme-Leninisme.

Dalam konteks inilah maka pembubaran ormas semestinya hanya dapat dilaksanakan melalui pengadilan. Harus ada pengadilan yang layak bagi setiap ormas yang hendak dibubarkan. Hak mereka untuk membela diri tetap harus dijamin. Dalam hal ini, semestinya kewenangan pemerintah hanya bersifat administratif. Yakni menjalankan administrasi keputusan pengadilan atas satu ormas tertentu.

Pelayan
Sejalan dengan itu, saat ini, pemerintah sendiri melalui Menteri Pendayaan Aparatur Negara sudah menyerahkan draf RUU Administrasi Negara kepada DPR. Dalam RUU tersebut dengan tegas dibedakan antara pemerintah dan negara: Dua indentitas yang selama ini sangat kabur di Indonesia.

Prinsip utama dari RUU ini adalah menempatkan pemerintah sebagai semata-mata pelayan masyarakat, bukan penguasa mereka. Sekalipun begitu, karena dalam pelayanan tersebut membutuhkan seperangkat peraturan, pemerintah diberi wewenang diskresi; wewenang otoritatif pemerintah untuk membuat kebijakan secara sepihak. Tapi jelas, diskresi bukan untuk otoritarianisme. Karena itu, diskresi hanya mungkin diterapkan dengan semangat membela korban (objek) diskresi.

Karena pada hakekatnya keberadaan partai politik dan ormas tidak berbeda jauh, di mana keduanya memiliki fungsi yang sama yakni melakukan agregasi politik atas kepentingan masyarakat luas maka sudah semestinya ruh dan prinsip-prinsip pengaturan atas dua model organisasi ini pun tidak berbeda. Dengan begitu, pembubaran ormas hanya mungkin dilakukan setelah melalui proses pengadilan. Bukan atas dasar kekuasaan pemerintah. Inilah yang membedakan zaman orde baru dengan era reformasi.

Ray Rangkuti
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA)

Ikhtisar

Menyerahkan pemberangusan ormas dan LSM kepada pemerintah sama dengan menyerahkan 'daging kepada singa'. Seperti memberi 'cek kosong' kepada pemerintah untuk mengatasi urusan masyarakat sipil.

Pembubaran ormas tak tepat didasarkan pada UU No 8/1985 tentang Ormas. UU untuk memperkuat kekuasaan orde baru tersebut mestinya sudah dibatalkan karena tak sesuai lagi dengan semangat reformasi.

Pembubaran ormas harus diserahkan kepada pengadilan, bukan pemerintah. Pembubaran ormas oleh pemerintah hendaknya hanya bersifat admnistratif, yaitu menjalankan putusan pengadilan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home