| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 15, 2006,10:26 AM

Belajar dari Saling Kritik Mahathir-Badawi,

A Riawan Amin Dewan Pakar ICMI

Menarik mencermati saling kritik secara terbuka antara mantan PM Malaysia, Mahathir Mohammad, dengan penerus yang dipilihnya Abdullah Badawi. Mahathir mengaku kecewa dengan kinerja pemerintahan Badawi yang menghentikan proyek-proyek seperti jembatan di Johor yang menghubungkan Malaysia dengan Singapura. Sebaliknya, Badawi perlu mengkaji proyek-proyek yang dianggap menguras dana terlalu besar dan dianggap lebih sebagai tonggak kebanggaan ketimbang impak ekonomis bagi rakyat (Tajuk Republika, 12/6).

Meski secara kasat mata ada perbedaan pandangan antara keduanya, namun koran ini menggarisbawahi langkah Badawi tetap sejalan dengan Vision 2020 yang ditetapkan era Mahathir berkuasa untuk mengantarkan Malaysia sebagai negara maju. Vision 2020 menjadi semacam kontrak nasional yang harus diwujudkan oleh siapapun pemimpin Malaysia yang terpilih. Dengan kata lain, pemerintahan boleh berganti, tapi visi yang diemban oleh pemerintahan itu tetap sama. Bagaimana dengan kita?

Visi abadi
Berbeda dengan Malaysia, pergantian pemerintahaan di Indonesia yang terlahir dari rahim demokrasi ternyata tak menghasilkan harapan-harapan besar yang disematkan rakyat dipundak para pemimpin. Setiap terjadi pergantian pemerintahan, seperti mulai dari nol.

Tahun pertama habis hanya untuk mengidentifikasi masalah. Tahun kedua lewat untuk menyiapkan program. Praktis hanya tahun ketiga dan dan keempat, boleh dibilang menjadi tahun produktif, karena tahun terakhir pemerintah cenderung terjebak untuk bermanis-manis menawarkan kebijakan populis untuk memikat rakyat agar memilihnya kembali buat periode berikutnya.

Alhasil, secara keseluruhan dalam periode itu pemerintah hanya tenggelam dalam kegiatan rutin, untuk tidak mengatakan lupa agenda strategis. Kenapa demikian? Hemat saya, ini terjadi oleh ketiadaan visi abadi, visi bersama yang disepakati sebagai acuan program jangka panjang. Visi yang sinambung yang konsisten diikuti tahap demi tahap sesuai dengan skenario awal yang ditetapkan.

Visi seperti inilah yang paling tidak sudah menjadikan Malaysia seperti yang kita lihat sekarang. Melalui Vision 2020, Mahathir menggariskan Malaysia tahun 2020 akan menjadi negara industri penuh (fully industrialized country). Tahapan-tahapan ke arah ini dirancang sedemikian rupa, sehingga siapapun yang memerintah tetap akan mengacu visi itu sebagai pedoman. Dengan demikian, siapapun yang berada dipucuk pimpinan tinggal meneruskan program lama dengan target-target baru.

Dengan kata lain, Malaysia telah menerapkan pemerintahan yang regeneratif (regenerative government) yang terus memelihara dan mewariskan keunggulannya kepada penerus. Pemerintahan yang regeneratif pada dasarnya akan membentuk bangsa yang regeneratif (regenerative nation) pula. Terpadunya semua program baik pemerintah dan swasta yang mengarah ke satu titik: mengantarkan negara ini menjadi bangsa maju. Hasilnya, di penghujung pemerintahan Mahathir, 82 persen ekspor senilai lebih dari 100 miliar dolar, dihasilkan dari produk manufaktur.

Sebetulnya pola regenerative nation juga sudah dirintis semasa Pak Harto berkuasa. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) menjadi tahapan-tahapan yang jelas bagaimana pembangunan akan dilaksanakan dari mulai tahapan swasembada pangan hingga menuju era tinggal landas.

Pembangunan disokong oleh tiga pilar penting: stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan hasil-hasilnya. Sayangnya, sistem yang sudah bagus ini, 'dicurangi' Pak Harto sendiri. ''Semua boleh regeneratif, kecuali saya,'' begitu kira-kira tamsilnya. Begitupun dengan hasil pembangunan, baru menetes sampai keluarga, kerabat, dan kolega, belum sampai rakyat. Celakanya, euforia politik pasca Soeharto memilih gerakan reformasi bukan renovasi. Yang pertama cenderung menyapu bersih apapun dari hasil periode sebelumnya. Sementara yang kedua akan memilah mana yang sudah baik (dan perlu dilanjutkan) dan mana yang buruk dan perlu dibuang ke keranjang sampah.

Dari mana meulai?
Regenerative nation pada dasarnya berhasil mencangkokkan sistem yang bisa mewariskan keunggulan-keunggulan kompetitif yang telah diraihnya kepada generasi penerus. Mereka akan memelihara tradisi lama yang sudah baik dan melakukan otokoreksi untuk hal-hal yang dipandang belum sesuai dengan harapan. Dalam kasus Badawi, ia tidak melanjutkan rencana pembangunan jembatan Johor-Singapura, tapi melakukan hal-hal lain yang lebih substansial: memerangi korupsi (riswah), meminta rakyatnya lebih keras bekerja dan berdisiplin.

Pertanyaan kritisnya, dari mana kita bisa mulai membangun bangsa yang regeneratif? Pertama, kembali kepada pertanyaan pokok, sudahkan kita punya visi yang jelas? Kalau belum, saatnya pemerintahan ini merumuskannya kembali. Ini bukan pekerjaan sepele, karena keberhasilan meletakkan dan membangun visi ini akan sangat vital bagi pemerintahan selanjutnya.

Kedua, setiap pemerintahan yang berkuasa semestinya menentukan tema sentral apa yang hendak dikerjakan berdasarkan visi utama. Dengan kata lain, setiap program baru yang diusung berkembang dalam kerangka yang konsisten dan mengarah ke satu titik. Ketiga, perampingan organisasi pemerintahan disesuaikan dengan tema pembangunan yang dipilih. Perampingan ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi jumlah PNS, tapi lebih memaksimalkan peran mereka. Secara prinsip mungkin hanya diperlukan enam departemen: pertahanan, luar negeri, kehakiman, pendidikan, keuangan, dan keagamaan. Sementara urusan yang lain bisa diserahkan kepada pemerintah daerah.

Keempat, PNS dimungkinkan untuk berpindah secara fleksibel ke departemen lain sesuai dengan tema pembangunan. Dengan demikian, loyalitasnya tidak hanya pada satu departemen dengan visi yang lebih sempit, tapi ia berkesempatan untuk mengenal visi departemen lain. Hasil yang diharapkan, langkah ini akan membimbing PNS untuk melihat big picture yang hendak dituju dan diraih, bukannya terkotak-kotak dalam visi sempit masing-masing departemen.

Dengan kemampuan menyatupadukan visi dan mewujudkannya secara bersama, maka ikhtiar Malaysia menyongsong hari depan yang lebih cerah, menjadi salah satu negara maju di Asia sudah hampir di pelupuk mata. Kalau visi abadi yang diperlukan untuk merekatkan semua potensi bangsa ke titik fokus yang sama belum juga kita miliki, rasanya upaya untuk naik kelas mengejar ketertinggalan dari Malaysia akan semakin jauh.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home