| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, May 28, 2006,12:49 PM

Mutasi "Genetik" Komik ke Layar Lebar

Frans Sartono

Komik menawarkan imajinasi bebas, liar, dan mengasyikkan. Sineas menerjemahkan imajinasi itu dengan bahasa gambar seperti dilakukan sutradara Brett Ratner dalam "X-Men: The Last Stand".


X-Men adalah para manusia super. Mereka adalah para mutan yang terlahir akibat mutasi genetik. Muncullah kemudian tokoh "aneh", seperti Wolverine (Hugh Jackman), jagoan yang buku jarinya mengeluarkan pisau-pisau tajam, dan Storm (Halle Berry) yang mampu mengubah cuaca.

Setiap mutan mempunyai spesialisasi dahsyat. Magneto (Ian McKellen) spesialis penunduk logam. Ia bisa memindahkan jembatan Golden Gate. Jean Gray (Famke Janssen) mempunyai kekuatan telekinetik mahadahsyat. Amarah Jean mampu menghancurkan tubuh manusia.

Kekuatan Jean dan para mutan dikhawatirkan mengancam peradaban. Pemerintah Amerika Serikat kemudian mencari cara menjinakkan para mutan. Diciptakanlah sejenis obat yang mampu menetralkan para mutan untuk menjadi manusia normal.

Atas rencana tersebut, para mutan pimpinan Magneto menyatakan perang terhadap pemerintah. Muncul kubu lain pimpinan Profesor Charles Xavier yang memilih jalan damai dan hidup rukun dengan manusia. Pertempuran antardua kubu itu tak terhindarkan.

Komik

X-Men: The Last Stand merupakan sekuel ketiga dari film X-Men Evolution dan X-2. Ia dikemas sebagai film action. X-Men diangkat dari komik rekaan Stan Lee dan Jack Kirby produksi Marvel Comics 40 tahun silam. X-Men memperpanjang tradisi pengadaptasian komik ke film layar lebar. Medium komik dan film memang punya hubungan mesra.

Komik adalah jagatnya superhero. Imajinasi paling liar tentang manusia super termanifestasikan di dunia komik. Muncullah kemudian Flash Gordon pada era 1930-an. Kemudian Superman, Batman, Spiderman, sampai X-Men. Mereka mempunyai kemampuan di luar apa yang dimiliki manusia "reguler", misalnya Superman yang bisa terbang.


Dalam komik, segala keluarbiasaan manusia itu sah. Segala apa yang mungkin berada di luar logika justru nyaman dinikmati. Gambar-gambar yang tersaji dalam bingkai-bingkai pada setiap halaman itu bergerak dan hidup di benak pembaca. Layar lebar kemudian memindahkan panggung imajinasi itu ke layar lebar.

Detail figur dari para tokoh mengacu pada komik Marvel. Tokoh Dr Henry McCoy alias The Beast bertubuh biru dengan air muka mirip gorila, tapi bertubuh manusia lengkap dengan jas dan dasi. Balutan spandex atau bahan semacam karet membantu pengadaptasian sosok komik menjadi sosok layar lebar.

Para mutan dengan beragam kedahsyatan itu dilekati problem dan nasib seperti manusia biasa. Di balik segala kekuatan mereka melekat juga pathos, beban derita. Muncul kemudian sisi dramatik. Setidaknya timbul kesan, mereka di satu sisi juga manusia biasa.

Jean menyadari kekuatannya adalah juga kelemahannya. Wolverine jatuh cinta pada Jean meski dia harus membunuhnya. Warren si Angel di masa kecil pernah berusaha memotong sayap karena ayahnya menganggap ia sebagai anak tak normal dan memalukan.

X-Man: The Last Stand adalah komik yang telah mewujud dalam bentuk citra bergerak. Ia menjadi hiburan yang, seperti halnya komik, mengasyikkan. Tanpa perlu ada pesan atau petuah moral, cukup hiburan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home