| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, May 18, 2006,11:56 AM

Merayakan Matinya Reformasi

M Fadjroel Rachman

Kekuasaan totaliter berawal dengan keangkuhan dan kerakusan berakhir dengan kekonyolan! Jenderal Pinochet dari Cile membantai Presiden Salvador Allende dan pendukungnya pada 11 September 1973. Berkuasa dengan tangan besi, berakhir sebagai tua renta yang mengelak dari pengadilan dan penjara dengan memanipulasi hukum melalui parliamentary immunity dan Amnesty Law, kesehatan buruk, dan usia lanjut (Roger Burbach, The Pinochet Affair, 2003).

Begitu pula Ferdinand Marcos, memberangus penentangnya dengan martial law; bersama istri, putra-putri, dan kroninya menjarah harta rakyat Filipina 8-10 miliar dollar AS, melarikan diri ke Hawaii-AS, sakit dan meninggal. Istri dan kroni mempertahankan jarahan dari Presidential Commission on Good Government (PCGG). PCGG dengan Executive Order No 1/29 Februari 1986 dari Cory Aquino bertujuan, "recovering the ill-gotten wealth of the Marcoses, their associates, and cronies." Sepertiga harta Marcos sudah disita, termasuk simpanan 540 juta dollar AS di bank Swiss setelah berjuang bertahun-tahun (Jovito R Salonga, Presidential Plunder, 2000).

Soeharto

Jenderal Besar (Purn) Soeharto selama 32 tahun menegakkan rezim totaliter, memadukan penaklukan ideologis dan kekerasan.

Kekerasan politik dimulai 1965 yang menelan satu juta korban hingga ditembak matinya empat mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Soeharto terguling pada 21 Mei 1998, tetapi Partai Golkar dan pengikut setianya, di birokrasi dan militer, tetap berkuasa, merestorasi kekuatan ekonomi-politiknya, dan kini berkuasa penuh.

Soeharto diadili berdasarkan Ketetapan MPR RI No XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Namun, untuk tuduhan korupsi tujuh yayasan senilai Rp 3,7 triliun tak berlanjut ke persidangan dengan alasan, mirip Pinochet, sakit permanen. Harta bermasalahnya sekitar 35-60 miliar dolar AS (Transparency International dan Time), urutan pertama pemimpin politik paling korup di dunia, tak pernah diselidiki. Dengan demikian, putra-putri, kroni dan pengikutnya bebas tanpa hukuman, dengan munculnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto. Soeharto kian jauh dari jangkauan hukum.

Utang budi

Soeharto menghadapi dua masalah sekaligus: korupsi dan kejahatan HAM. Untuk kejahatan HAM tak pernah disentuh sama sekali. Untuk perkara korupsi, ia dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).

Koor pembebasan bersahutan, dari Presiden, Wakil Presiden, dan Ketua Umum Partai Golkar, hingga Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Semua yang berutang budi menuntut pembebasan dengan alasan kemanusiaan. Mereka bukan korban Orde Baru, tetapi berutang budi terhadap Orde Baru.

Keadilan, moral, dan kemanusiaan berpihak kepada korban, bukan kepada pelaku. Karena itu, seruan moral dan kemanusiaan tanpa keadilan, tanpa korban, adalah seruan ketidakadilan.

Di republik ini semua orang sama di depan hukum. Pembebasan Soeharto menegaskan, hukum dan keadilan tunduk kepada kepentingan kelompok dan perorangan. Keputusan ini menghancurkan integritas hukum dan keadilan! Apabila benar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tidak setuju dengan pembebasan ini, ini saat tepat untuk mengundurkan diri.

Harapan

Marcos sudah mati, tetapi harta jarahannya tetap dikejar PCGG. Apakah Filipina tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, dan tidak menghormati mantan presidennya? Tentu tidak karena mengejar jarahan Marcos dan menegakkan hukum, Filipina menegaskan sikap moral, perikemanusiaan, dan penghormatannya kepada korban, hukum, dan demokrasi yang dikhianati Marcos dan pengikutnya.

Begitu pula dengan Pinochet, lolos karena balas budi pengikutnya. Namun, dewi keadilan dapat melintasi batas negara. Sekitar 503 hari Pinochet ditahan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan di London Clinic, Inggris, Oktober 1998, untuk diekstradisi ke Spanyol. Diplomasi politik membuatnya lolos, tetapi pelajarannya jelas, setiap negara berhak menangkap dan mengadili diktator pelaku kejahatan HAM.

Soeharto dapat bernasib sama apabila laporan akhir The Commission for Reception, Truth and Reconciliation (CAVR, 2005) di Timor Leste berjudul Chega! (no more, stop, enough) dijadikan dasar penuntutan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan di masa penjajahan Timor Leste. Laporan ini sudah di tangan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Chega! menegaskan, "The responsibility for this violation (the right of people of Timor Leste to self determination) rests primarily with President Soeharto." Rekomendasinya kepada PBB, membentuk International Tribunal terhadap Soeharto.

Reformasi sudah mati dengan bebasnya Soeharto, keluarga, kroni, dan pengikutnya dari tuntutan hukum. Namun, semoga demokrasi dan keadilan tetap bertakhta di hati dan pikiran kita. Apabila tidak, sempurnalah kematian reformasi tepat sewindu perayaannya!

M Fadjroel Rachman
Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home