| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 16, 2006,11:13 AM

Kritik Mahathir dan Wajah Imperial Dunia Kita

Iyan Nurmansyah

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad kembali mengkritik pemerintahan negara-negara Barat dan praktik "imperialisme" baru di era globalisasi.

Ada dua paradigma mengenai imperialisme baru di era globalisasi. Pertama, paradigma yang menggunakan pendekatan state centric (menyorot peran imperial negara tertentu). Kedua, pendapat yang menggunakan paradigma networks (fokus pada sistem kerja global liberal governance).

Kelompok pertama langsung menunjuk Amerika Serikat (AS), yang secara historis dinilai telah menjadi "pewaris takhta" Kerajaan Imperial Britania Raya. Beberapa analis, seperti Michael Mann (Incoherent Empire), David Harvey (The New Imperialism), dan Niall Ferguson (Colossus: The rise and fall of the American Empire), termasuk kelompok ini meski ada perbedaan mendasar dalam pandangan mereka.

Ferguson, misalnya, melihat AS sebagai the Empire of Liberty. Menurut Ferguson, peran imperial AS tidak perlu dimasalahkan selama "berjuang" untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan ekonomi berbasis pasar. Sebaliknya Mann dan Harvey menilai peran imperial AS menyebabkan dunia pada situasi tidak stabil dan perang senantiasa dinilai sebagai alternatif guna menyelesaikan setiap persoalan.

Harvey berpendapat situasi anarkis percaturan politik dunia menuntut hegemoni AS untuk bertindak sebagai polisi dunia. Sebagai contoh, keputusan AS menginvasi Irak (yang dinilai tidak demokratis) dan pemberian label rogue states kepada Korea Utara dan Iran.

Sementara Mann menegaskan, AS pada posisi "imperial" adalah konsekuensi dari kemajuan teknologi militer AS, yang pada saat ini tidak tertandingi oleh negara mana pun di dunia. Kenyataan ini menuntut AS untuk secara natural menunjukkan kekuatan militer demi melindungi aneka kepentingannya.

Untuk melindungi aneka kepentingannya itu, AS harus memastikan negara-negara utama di dunia ada dalam "klub" negara demokratis. Contoh paling nyata dapat dilihat dalam masalah nuklir. AS tidak bermasalah dengan India yang memiliki nuklir karena India termasuk dalam "klub" negara demokratis. Lain ceritanya saat Iran memutuskan untuk memiliki tenaga nuklir.

Paradigma "state centric"

Kelompok kedua berpendapat tidak cukup untuk menilai situasi politik dunia saat ini hanya dengan menggunakan pendekatan state centric, yang membatasi aspek penelitian pada negara tertentu. Alasannya, berbagai konflik saat ini harus dimengerti dalam konteks globalisasi.

Analis seperti Martin Coward, Antonio Negri, dan Michael Hardt (Empire) berpendapat kini era imperialisme memiliki keunikan tersendiri. Keunikannya terletak pada kenyataan, kekuasaan imperial di era globalisasi lebih menitikberatkan pada kemampuan ekspansi networks global liberal governance, melalui institusi-institusi global. Tujuan institusi-institusi global ini untuk membuat negara-negara di dunia, termasuk masyarakat dari belahan dunia mana pun, dapat menerima nilai- nilai yang terkandung dalam faham liberalisme, baik yang menyangkut demokrasi liberal ala Barat maupun ekonomi berbasis neoliberalisme.

Contoh nyata institusi-institusi global adalah World Trade Organisation (WTO) dan International Monetary Fund (IMF). Kebijakan-kebijakan IMF, misalnya, sering dinilai hanya menguntungkan negara-negara Barat. Jangan heran jika negara kaya dengan jumlah penduduk kecil, seperti Belgia, bisa memainkan peran yang signifikan, dibandingkan negara-negara berpenduduk besar, seperti Brasil dan India.

Dalam masalah keamanan internasional, negara-negara kaya juga terus berupaya "membentuk" wajah dari global liberal governance agar menjadi lebih liberal dan "demokratis" yang sesuai dengan ukuran-ukuran Barat.

Apa yang salah?

Persoalan utama global liberal governance adalah karakteristik imperialnya. Seperti dikatakan Mary Kaldor dalam buku Global Civil Society, nilai-nilai imperial selalu membagi dunia dalam dua kutub, yaitu the civil (mereka yang merasa diri paling "beradab") dan the uncivil (mereka yang dianggap barbar dan tidak beradab). Pemisahan antara the civil dan the uncivil akhirnya hanya akan berujung pada konflik, bahkan perang.

Mereka yang merasa civil akan terus berupaya untuk menyeragamkan dunia. Pertanyaannya, apakah solusi persoalan global liberal governance?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah berhenti menyeragamkan dunia, apakah itu penyeragaman untuk menjadi lebih liberal maupun upaya-upaya penyeragaman berdasarkan agama dan kepercayaan tertentu.

Hendaknya kita tidak melupakan peristiwa sejarah saat pertama kali Francisco de Vitoria bertemu dengan masyarakat Indian Amerika (yang dianggap tidak beradab dan "gila" karena tidak memiliki kultur yang sama dengan kultur Eropa). Kesalahan Vitoria saat itu adalah berusaha "mendidik"/menyeragamkan mereka agar menjadi lebih "Eropa". Hal itu bukan hanya berujung konflik, tetapi juga pada perusakan nilai-nilai humanitas.

Benar apa yang dikatakan Mahathir, untuk "membersihkan" wajah imperial dunia bukan dengan meletupkan diri dan merusak tatanan masyarakat sendiri. Yang terpenting adalah berupaya memberi kontribusi positif bagi bangsa dan negara, meningkatkan harga diri bangsa di hadapan masyarakat internasional, dan berani mengatakan tidak kepada tiap upaya penyeragaman.

Iyan Nurmansyah
University of Sussex, England

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home