| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, May 13, 2006,3:57 PM

Kalangan Dunia Usaha Menolak Pajak Lingkungan

Jakarta, Kompas - Dunia usaha menolak penerapan pajak lingkungan yang diusulkan pemerintah. Pajak tersebut dinilai merupakan bentuk legalisasi ekonomi biaya tinggi, sekaligus menjadi disinsentif bagi upaya perlindungan lingkungan.

Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Sofjan Wanandi dan Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Sistem Fiskal Hariyadi Sukamdani menyatakan penolakan tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/5).

Pajak lingkungan sebesar 0,5 persen terhadap perusahaan manufaktur beromzet di atas Rp 300 juta per tahun itu dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan pemerintah ke DPR sebagai prioritas pembahasan.

Hariyadi menjelaskan, perwakilan dunia usaha dalam tim review RUU untuk mengubah UU Nomor 34 Tahun 2000 itu sejak semula telah menolak usulan adanya pajak lingkungan.

Melalui perdebatan sengit dalam pembahasan tim kajian hingga akhir tahun 2005, pemerintah mengakui usulan pajak lingkungan lebih dilatarbelakangi kepentingan fiskal, bukan kepentingan lingkungan. "Pajak ini arahnya lebih pada kepentingan fiskal, tetapi memakai terminologi lingkungan," kata Hariyadi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudhi, yang turut serta dalam konferensi pers tersebut, mengharapkan pemerintah tidak menyederhanakan masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah dengan memperkenalkan pajak baru yang justru berdampak kontraproduktif.

"Pemerintah bukannya mengupayakan skema perimbangan pusat dan daerah yang lebih adil, tetapi justru dengan begitu mudahnya melemparkan kembali masalah dan beban kepada masyarakat," kata Agung.

Dalam tarik ulur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini, pelaku dunia usaha merasa menjadi pihak yang tergencet di tengah "dua gajah" bertarung.

"Pengusaha dipepetkan, diberi tambahan beban terus, sedangkan masalahnya tidak diselesaikan," kata Sofjan.

Hariyadi menambahkan, jika pajak lingkungan lolos diundangkan dalam UU, dunia usaha akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Legalisasi pungli

Kalangan pelaku usaha tidak sependapat dengan pertimbangan pemerintah bahwa pajak lingkungan yang akan dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dapat diimbangi dengan penyederhanaan aturan pajak dan retribusi daerah lainnya.

Penyederhanaan aturan pajak dan retribusi daerah, melalui penentuan obyek pajak oleh pemerintah pusat, diakui para pengusaha ini sebagai langkah positif. Akan tetapi, jika penyederhanaan itu dikompensasikan dengan pajak lingkungan, mereka yakin iklim usaha tidak akan membaik.

"Sampai sekarang belum terlihat secara konkret apa yang sudah dihasilkan pemerintah setelah keluarnya inpres (Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi). Sekarang keluar usulan pajak lingkungan ini, yang justru melegalkan ekonomi biaya tinggi," kata Hariyadi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Sintetik Fiber Indonesia Kustaryono Prodjolalito pada kesempatan yang sama mengingatkan, pengenaan pajak lingkungan tidak adil. Perusahaan dengan segala sektor usaha yang berdampak langsung terhadap lingkungan maupun tidak berdampak langsung tetap dikenai.

"Perusahaan beromzet lebih sedikit dari Rp 25 juta per bulan pun dikenai pajak ini. Padahal, tidak sedikit unit usaha dengan keuntungan 2-5 persen dari omzet. Kalau untungnya 2 persen dari omzet, seperempatnya untuk bayar pajak ini, belum pajak dan retribusi lainnya, apa enggak mati perusahaan," kata Kustaryono.

Bagi industri besar, pengenaan pajak lingkungan juga membuat perusahaan enggan mengeluarkan dana lebih besar untuk menggunakan teknologi tinggi bagi pengelolaan dampak lingkungan. Sekretaris Jenderal Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar mengingatkan pemerintah seharusnya menerapkan ketentuan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan ketentuan teknis lainnya secara konsisten. UU ini lebih rinci, bahkan memuat sanksi pidana jika dilanggar.

Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional (Bapekki) Depkeu Anggito Abimanyu mengatakan, usulan pemerintah masih terbuka didiskusikan. "Proses pembahasan RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah itu sudah di DPR. DPR pasti akan mengundang pengusaha untuk dimintai masukan," ujarnya.

Menurut Anggito, selain penambahan pajak baru, juga diusulkan penurunan tarif pajak lainnya sehingga tak memberatkan dunia usaha. "Misalkan menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak penerangan jalan (PPJ)," katanya.

PPJ diusulkan maksimal sebesar 3 persen bagi industri yang menghasilkan sendiri listriknya, sebelumnya diterapkan tarif yang sama bagi semua wajib pajak, yakni 10 persen. PKB diusulkan 1-2 persen, sebelumnya berkisar 1-1,5 persen. (DAY/oin)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home