| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 15, 2006,11:03 AM

Nixon, Bung Karno, dan Pak Harto

Sulastomo

Seandainya Presiden Nixon diadili karena skandal Watergate, Nixon pasti dihukum. Karena itu, para pembela Nixon berusaha agar Nixon tidak diadili. Tetapi tidak mudah. Nixon semula menolak nasihat penasihat hukumnya. Nixon justru ingin diadili. Nixon menyerah. Ia menerima penawaran pengampunan dari Presiden Gerald Ford yang menggantikannya. Dan, Nixon pun bebas penuh.

Hal yang sama, mungkin juga terjadi pada Bung Karno dan Pak Harto. Seandainya Bung Karno diadili, mungkin akan dihukum. Demikian juga Pak Harto. Sebab, sebagaimana kasus Nixon, opini publik sudah menggiring Nixon, Bung Karno, dan Pak Harto bersalah. Pengadilan, kata pembela Nixon, dipastikan tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari pendapat umum seperti itu. Karena itu, Nixon menerima tawaran Presiden Gerald Ford untuk pengampunan. Di sini ada kebesaran jiwa Gerald Ford dan Nixon untuk menyelesaikan polemik yang saat itu amat tajam di AS, yang dinilai dapat memperlemah posisi Amerika menghadapi isu internasional pada awal 1970-an.

Bung Karno dan Pak Harto

Di zamannya, Bung Karno dan Pak Harto adalah presiden yang amat berkuasa. Di era Bung Karno dan Pak Harto, tidak ada keputusan politik tanpa lepas kebijakan keduanya. Bung Karno menjadi presiden selama 27 tahun, Pak Harto selama 32 tahun. Oleh MPRS (1963), Bung Karno telah diangkat sebagai presiden seumur hidup dan Pak Harto diangkat sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Namun, keduanya jatuh secara tragis. Mandat Bung Karno dicabut MPRS, lembaga yang telah mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup. Pak Harto menyatakan berhenti sebagai presiden karena merasa tidak mendapat dukungan lagi dari rakyat, hanya dua bulan setelah terpilih sebagai Presiden secara aklamasi oleh MPR. Pimpinan DPR yang juga pimpinan MPR saat itu telah menyarankan agar Pak Harto mengundurkan diri. Apa beda kasus Bung Karno dan Pak Harto?

Dalam kasus Bung Karno, MPRS tidak eksplisit mengeluarkan keputusan untuk mengadili Bung Karno. Pengadilan untuk Bung Karno, menurut Ketetapan MPRS, diserahkan pada pengemban SP 11 Maret, Soeharto, yang menggantikannya sebagai presiden. Sedangkan nama Pak Harto, secara eksplisit tercantum dalam Ketetapan MPR untuk diadili (Tap XI/MPR/1998). Mengapa terjadi perbedaan?

Mungkin tidak banyak yang percaya, perbedaan ketetapan, itu antara lain, karena peran Pak Harto. Sebagai pengemban SP 11 Maret 1966 dan Ketua Presidium Kabinet Ampera saat itu, Soeharto melakukan "lobi-lobi" khusus agar MPRS tak mengambil ketetapan mengadili Bung Karno. Karena itu, Ketetapan MPRS Tap XXIII/MPRS/1967 berbunyi: Penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden (Pasal 6, Tap XXIII/MPRS/1967).

Pejabat Presiden, lalu Presiden Soeharto, hingga Bung Karno wafat, tidak melakukan pengadilan terhadap Bung Karno. Presiden Soeharto bahkan melanggengkan nama Soekarno sebagai proklamator dan pemimpin bangsa, antara lain dengan membangun Monumen Proklamator di Pegangsaan Timur dan menamai Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ketika Bung Karno wafat, juga dihargai sebagaimana layaknya warga negara yang telah berjasa, dilaksanakan dengan upacara kenegaraan. Langkah-langkah itu dapat dinilai sebagai upaya merehabilitasi nama Bung Karno gaya orang Jawa.

Perbedaan ketetapan MPR tentang Bung Karno dan Pak Harto disebabkan kedudukan Pak Harto yang saat itu amat kuat. Tanpa "lobi" Pak Harto, MPRS pada tahun 1967 mungkin juga akan memutuskan untuk mengadili Bung Karno. Hal ini disebabkan tuntutan untuk mengadili Bung Karno tidak kalah besar dengan tuntutan untuk mengadili Pak Harto. Saat MPR bersidang (1998), tidak ada orang sekuat Pak Harto seperti tahun 1967. MPR, eksplisit mencantumkan nama Soeharto untuk diadili (Tap XI/MPR/1998).

Jelas, tercampur aduk antara politik dan hukum sehingga mudah dipahami, kasus Pak Harto lebih kompleks.

Perlu klarifikasi

Kini, kasus Pak Harto sudah sampai tahap akhir. Pak Harto dan keluarganya bersedia diadili. Pernah memperoleh SP3, lalu dibuka lagi. Namun, proses pengadilan terhenti karena alasan kesehatan. Sebagai dokter, ada keyakinan, Pak Harto tidak mungkin diadili. Apakah dengan demikian masalahnya selesai?

Nama Bung Karno secara realitas sudah terehabilitasi. Namanya sudah diletakkan di beberapa tempat terhormat. Secara politis, Bung Karno juga tidak terlibat G30S. Dugaan Bung Karno menyimpan uang di luar negeri juga tidak benar. Jika ada produk perundangan yang masih bisa mencemarkan nama Bung Karno, tidak ada salahnya dikaji ulang dan diperbaiki.

Pak Harto, yang juga dituduh mempunyai simpanan sampai Rp 200 triliun juga tidak benar. Kekayaannya hanya Rp 28 miliar, lebih kecil dari pejabat lain, begitu dilaporkan pemerintahan Habibie saat itu. Namun, dendam politik pada Pak Harto masih ada, juga (sebenarnya) pada Bung Karno. Pak Harto dituduh melakukan kudeta dan menelantarkan Bung Karno, namun Megawati tidak merasa perlu menghujat Pak Harto.

Pak Ruslan (alm) pernah menyatakan, Bung Karno dan Pak Harto adalah orang besar. Orang besar, kalau salah, salahnya juga besar. Kesalahan itu harus dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak berbuat kesalahan yang sama. Jika isu itu membuat kita memiliki konflik permanen, dendam abadi, apakah tidak semakin jauh diri dari cita-cita rekonsiliasi ?

Barangkali, kita bisa belajar dari kasus Nixon di Amerika Serikat.

Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home