| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, May 13, 2006,3:54 PM

Buruh dan "Orang-orang Kalah"

Surya Fermana

Demonstrasi buruh yang rusuh pada tanggal 3 Mei di Jakarta, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dirancang oleh pihak-pihak yang tidak dapat menerima hasil Pemilu 2004. Informasinya didapatkan dari intelijen. Indikasinya dilihat dari sebagian besar tokoh yang pada pemilu lalu berseberangan sekarang bergabung bersama (Kompas, 6/5).

Yang menjadi pertanyaan adalah sebegitu bodohkah para buruh berdemonstrasi hanya karena rancangan politik "orang- orang kalah"? Saya pikir tidak. Namun, tak ada asap kalau tak ada api. Tidak mungkin puluhan ribu buruh berdemonstrasi serentak tanpa ada "kesamaan nasib", yang dalam bahasa Ernesto Laclau disebut dengan chance of equivalen. Persamaan senasib dan sependeritaan jika revisi RUU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 diberlakukan.

Revisi RUU tersebut mengancam koeksistensi para buruh yang hidupnya penuh dengan rasa solidaritas terhadap sesama. Rasa solidaritas dan persamaan penderitaanlah yang menjadi substansi motif pergerakan demonstrasi buruh, bukan pada kendali politis orang-orang kalah.

Terlalu naif pernyataan yang meremehkan nilai kepedulian para buruh terhadap penderitaan sesamanya, dengan mereduksi tindakan demonstrasi buruh hanyalah sebagai suatu rancangan politis "orang-orang kalah".

Apakah para buruh tidak mampu berpikir otonom atas sebab dan konsekuensi tindakan mereka? Mereka sangat sadar dari mana mereka berangkat dan konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan ketika melakukan demonstrasi. Apakah tindakan mereka adalah upaya untuk menggulingkan kekuasaan?

Tidak cukup waktu bagi para buruh yang hidupnya di bawah level subsistence (di bawah level hidup layak) untuk ambil bagian dalam proses konspirasi politik tingkat elite. Bagi mereka, berdemonstrasi hanyalah tuntutan hati nurani untuk dapat bertahan hidup dengan layak tanpa penindasan lewat pemberlakuan undang-undang yang mendiskriminasi mereka. Belum ada bukti nyata yang menjelaskan hubungan rigorus antara buruh dan "orang-orang kalah".

Mampu berempati

Kaum buruh, menurut Lenin, adalah vanguard fighter for democracy (garda depan penegak demokrasi). Oleh karena itu, seorang pemimpin yang menginginkan keberhasilan menegakkan demokrasi dan keadilan harus mampu mengelola emosi para buruh dengan memenuhi tuntutan mereka yang sebenarnya tidak muluk-muluk, tidak seperti tuntutan IMF, Bank Dunia, CGI, dan sejenisnya.

Seharusnya kerja intelijen tidak dibawa dalam ruang publik sebelum kecurigaan betul-betul berkorespondensi dengan fakta, dan bukan bermain-main dengan cara kerja politik konspiratif dan hiperrealitas. Kerja politik konspiratif membesar-besarkan permasalahan yang tidak ada substansinya, sedangkan hiperrealitas bekerja menampakkan sesuatu yang palsu menjadi seolah- olah lebih nyata dari realitas.

Pembuktian empiris sangat penting untuk menghindari kese- satan berpikir dalam politik yang karut-marut, serta mampu memberikan teladan yang baik dalam etika politik yang jauh dari prasangka negatif. Bermain-main dengan dua cara kerja politik itu tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa ini.

Pemimpin bangsa ini mempunyai kelemahan dalam berempati terhadap realitas yang diderita rakyat, seperti akibat kenaikan harga BBM. Sudah saatnya pemimpin bangsa berani melakukan tindakan "etis rasional" didasari sikap jujur (fairness) yang prorakyat, dengan menyisihkan permasalahan irasional dan menggantikannya dengan dua kerja nyata yang dituangkan dan kemudian dilaksanakan dalam suatu kebijakan publik. Kerja nyata yang pertama adalah melindungi warga negara dari gangguan kekerasan fisik, mental, serta kepemilikan yang sekarang sering dilanggar (seperti ancaman terhadap penolak RUU Antipornografi dan Pornoaksi).

Kedua, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat untuk dapat hidup layak (provision means of subsistence) seperti yang tercantum dalam UUD 45. Seandainya pemerintah dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut, "orang-orang kalah" akan semakin kalah dan mereka tak perlu ditakuti.

Surya Fermana Peneliti Kebijakan Publik Pascasarjana Ilmu Filsafat UI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home