| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 15, 2006,10:59 AM

Presiden Mestinya Tegas soal Soeharto

Jaksa Agung Pelajari Jalur Perdata

Jakarta, Kompas - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memilih mengendapkan kasus mantan Presiden Soeharto memicu polemik baru karena ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap kasus Soeharto. Presiden Yudhoyono seharusnya bisa bersikap tegas untuk menyelesaikan masalah ini.

Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (MPP PAN) Amien Rais, Minggu (14/5), mendesak Presiden Yudhoyono segera menuntaskan kasus mantan Presiden Soeharto sehingga tidak menjadi polemik berkepanjangan di masyarakat.

Menurut Amien, tidak jelasnya penanganan kasus Soeharto menyebabkan karut-marut kontroversi di masyarakat. Karut-marut tersebut, misalnya, terlihat dari pernyataan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang mengatakan, menutup kasus Soeharto lewat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), sedangkan Presiden Yudhoyono memutuskan mengendapkan kasus Soeharto. "Sudah delapan tahun kok mau diendapkan. Sampai kapan lagi," kata Amien dalam dialog Gelar Mimbar Rakyat II di Depok, Jawa Barat.

Amien meminta Presiden Yudhoyono menunjukkan kepemimpinannya dalam menyelesaikan kasus itu. "Kasus Soeharto harus jelas. Jangan lempar ke Kejaksaan Agung atau Tim Tastipikor," katanya.

Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kepada Kompas, Minggu, mengatakan, langkah menghentikan penuntutan kasus Soeharto dilakukan karena memang Soeharto, sesuai dengan penilaian medis, tak mungkin bisa diadili. "Kalau nanti ada penilaian medis bisa diadili, ya bisa dibuka lagi. Jadi, itu belum titik," ujarnya.

Ia juga mengatakan, yayasan yang dulu pernah disita tetap dalam status sitaan. "Kami sedang mempelajari kemungkinan ditempuh jalur perdata," katanya.

Ketua DPR Agung Laksono, seusai menjenguk Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Minggu, menyatakan, penyelesaian kasus Soeharto merupakan urusan pemerintah. "Biar pemerintah yang menyelesaikan secara baik," ujar Agung.

Sebaliknya, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, secara terpisah, Minggu, mempertanyakan terbitnya SKPP. "Itu melukai hati rakyat karena awalnya Kejaksaan Agung-lah yang menuntut agar Soeharto mengembalikan dana Rp 1,7 triliun kepada negara. Kini justru Kejaksaan Agung yang mengesampingkan tuduhan," ucapnya.

Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jawa Timur V) juga mengatakan, pernyataan Yudhoyono mengendapkan kasus Soeharto adalah pengingkaran terhadap keadilan.

Gayus menyarankan pemerintah berani bersikap berdasarkan UU yang menyatakan orang sakit tak bisa diproses hukum, tetapi bukan melalui proses politik seperti amnesti atau abolisi.

Pengacara Adnan Buyung Nasution juga menyesalkan terbitnya SKPP atas Soeharto. Ia juga menyesalkan pertemuan Presiden dengan pimpinan lembaga negara yang membahas kemungkinan pemberhentian proses hukum Soeharto. "Kasus Soeharto mestinya diserahkan kepada mekanisme hukum, bukan mekanisme politik. Sesuai prinsip demokrasi konstitusional, kita harus menempatkan hukum sebagai panglima," kata Buyung.

Buyung mengimbau, elite politik tak terpaku kepada pertimbangan kemanusiaan serta melihat jasa Soeharto. "Pertimbangkan fakta bahwa masih ada anak bangsa teraniaya, yang ayah ibunya dipenjara tanpa pengadilan yang fair. Mereka itu masih menuntut keadilan," ujarnya.

Ahli hukum Albert Hasibuan juga menyayangkan campur aduk penanganan kasus Soeharto antara hukum dan politik. "Penghentian penuntutan jelas melanggar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998," katanya.

Ketua Dewan Eksekutif Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis menyatakan, keluarnya SKPP kasus Soeharto adalah contoh buruk bagi penegakan hukum. Argumen sakit tak bisa dijadikan alasan pemaaf untuk menghentikan kasus itu. "Ini adalah tonggak impunitas yang diberikan pemerintah bagi pelaku korupsi," katanya.

Rezky Wibowo dari TII mengingatkan, nilai kejahatan ekonomi Soeharto sangat besar. Berdasarkan survei Transparency International pada 2004, Soeharto adalah presiden yang mengorupsi uang negara terbesar, senilai 15 miliar-35 miliar dollar AS, selama 1967-1998. Uang yang dikorupsi Soeharto jauh di atas Ferdinand Marcos (5 miliar-10 miliar dollar AS), Mobutu Sese Seko (5 miliar dollar AS), atau Slobodan Milosevic (1 miliar dollar AS).

Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Agung Hendarto mengatakan, pemerintah tak bisa menempatkan kasus Soeharto hanya sebagai masalah pemerintah, tetapi juga masalah bangsa, sehingga prinsip yang harus dilalui adalah forgive but not to forget. "Kasus Soeharto bukan sekadar masalah hukum, tetapi masalah penyelewengan moral politik," ujar Agung.

Sehari sebelumnya, sejumlah aktivis 1998 bersikeras menuntut Soeharto diadili. Peradilan Soeharto adalah salah satu tuntutan reformasi 1998. Aktivis Forum Kota Adian Napitupulu mengatakan, Indonesia ingin mencontoh kasus Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bedanya, Soeharto pelaku kejahatan, sedangkan Mandela adalah korban yang lalu berkuasa dan memaafkan penindasnya, itu pun setelah pengadilan digelar.

Wakil Direktur YLBHI Robertus Robert menyayangkan keputusan Jaksa Agung menghentikan kasus Soeharto. "Pak Arman telah membuat prinsip negara hukum berantakan. Inilah kegagalan supremasi hukum. Sebagai mantan aktivis YLBHI, Pak Arman justru membangkrutkan moralitas transisi politik," kata Robert.

Tak bisa "in absentia"

Di tengah ketidakjelasan kebijakan, Amien Rais menyarankan agar penyelesaian kasus Soeharto dilakukan dengan menggelar persidangan in absentia, kemudian baru diberi grasi atau amnesti. Setelah status hukumnya jelas, semua harta Soeharto bisa disita.

Namun, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Kamis lalu, menyatakan, pengadilan in absentia tidak dapat diterapkan pada Soeharto. Sidang in absentia sebagai pengecualian, hanya dapat dilaksanakan untuk terdakwa yang melakukan pembangkangan terhadap pengadilan, seperti melarikan diri atau tak terjangkau pengadilan. Syarat-syarat itu tidak berlaku untuk Soeharto. "Dia kan ada di tempat dan bersedia hadir. Hanya secara fisiknya dalam keadaan sakit," ujar Bagir.

Bagir justru ingin masyarakat melihat secara wajar apakah Soeharto dapat diadili atau tidak. Kejaksaan sebenarnya dapat menyatakan Soeharto tidak bisa dihadirkan karena sakit permanen. Pernyataan itu dikuatkan keterangan tim medis. Dengan begitu, kejaksaan berwenang menutup perkara. "Ini hukum. Tak boleh dipersoalkan lagi," ujarnya. (ANTARA/VIN/ANA/WIN/BDM)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home