| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, May 15, 2006,11:09 AM

Problem Pelembagaan Oposisi

Kacung Marijan

Salah satu hal penting yang diyakini bisa memperkuat demokrasi adalah munculnya oposisi dalam pemerintahan. Kelompok itu tidak hanya berfungsi sebagai pengkritik kebijakan pemerintah, tetapi juga sebagai pemberi sinyal agar langkah pemerintah di jalur yang benar.

Jatuhnya Orde Baru diiringi harapan munculnya kelompok oposisi. Harapan itu merupakan titik balik. Di masa Soeharto, oposisi dianggap pengganggu stabilitas, kehadirannya diharamkan.

Secara esensial, beberapa kelompok oposisi di Indonesia telah muncul, terlihat dari banyaknya kelompok yang berani berbeda dan menyatakan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah. Di lembaga perwakilan, frekuensi kritik terhadap aneka kebijakan pemerintah meningkat tajam. Bahkan, kritik-kritik sering disertai ancaman, seperti penggunaan hak angket dan hak interpelasi atas isu-isu yang dipandang tidak beres.

Namun, ujung ancaman sering tidak tajam. Dalam banyak kasus, aneka ancaman itu hanya ramai di awal, tetapi sepi dalam penyelesaian. Lobi-lobi pemerintah sepertinya bisa menggembosi semangat anggota DPR yang seolah terlihat kritis. Di masyarakat, oposisi juga bermunculan, terlihat dari tampilnya pandangan berbeda atas rencana pemerintah yang hendak merevisi UU Ketenagakerjaan dan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Meski esensi beroposisi sudah bermunculan, dalam konteks pemerintahan tradisi beroposisi belum terlembaga baik.

Berkuasa dan kritis

Belajar dari pengalaman tiga pemerintahan (Abdurrahman Wahid/Gus Dur), Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono/ SBY), belum terlembaganya tradisi beroposisi karena para politisi kita lebih cenderung membangun pemerintahan yang saya sebut "quasi integralistik".

Baik Gus Gur, Megawati, maupun SBY sama-sama ingin membangun pemerintahan yang terdiri dari berbagai kelompok politik. Penamaan Kabinet Indonesia Bersatu merupakan simbol pemikiran quasi integralistik itu.

Hanya, berbeda dengan pemerintahan Soeharto yang bercorak integralistik (Simanjuntak, 1994), dalam pemerintahan quasi integralistik, aneka perbedaan masih dimungkinkan. Namun, aneka perbedaan itu dicoba dirakit ke dalam bentuk kabinet sehingga tidak membahayakan.

Selain itu, para politisi kita sejatinya lebih menyukai duduk ramai-ramai dalam pemerintahan daripada sebagai oposisi. Megawati yang kalah dalam pemilihan presiden 1999, bersedia duduk sebagai wakil presiden. Para politisi (partai) yang dikalahkan SBY dalam Pilpres 2004 juga bersedia menempatkan orangnya duduk dalam pemerintahan.

Pola oposisi

Implikasi perilaku politik itu adalah rentannya pola oposisi dan koalisi dalam pemerintahan. Para politisi yang dikalahkan SBY semula bertekad menjadi oposisi. Tetapi, tekad itu meluntur saat mereka menghadapi kue kekuasaan. Akibatnya, oposisi bubar.

Uniknya, kelompok-kelompok yang menjadi bagian pemerintahan tidak serta-merta menjadi satu barisan dengan pemerintah. Dalam kasus SBY-JK, wajah politisi di pemerintahannya bisa dikelompokkan menjadi dua.

Pertama, politisi yang dalam kendali presiden dan wakil presiden, dari Partai Demokrat (PD) dan Golkar. Kelompok ini lebih cenderung membela aneka kebijakan yang dibuat pemerintah. Dalam batas-batas tertentu mereka integrated dan berusaha mempertahankan pemerintahan.

Kedua, politisi di kabinet tetapi dari luar PD dan Golkar. Dalam banyak kasus, kelompok ini mencoba menjadi kelompok yang berwajah dua. Di satu sisi, mereka merupakan bagian pemerintah, karena itu harus ikut bertanggung jawab terhadap aneka kebijakan yang dibuat pemerintah. Di sisi lain, mereka ikut mengkritisi, bahkan menyerang, aneka kebijakan pemerintah.

Dengan kata lain, politisi berusaha ikut menikmati kue di pemerintahan, tetapi tidak mau disalahkan saat pemerintah membuat aneka kebijakan yang berseberangan dengan kehendak publik. Pragmatisme seperti itu menjadi nature kehidupan politik. Tetapi, dilihat dari moralitas politik, munculnya dua wajah itu menjadi persoalan sendiri.

Di sisi lain, realitas itu menyulitkan terlembaganya pola penguasa-oposisi yang lebih elegan di Indonesia. Sampai kapan wajah ini akan terus menyeruak?

Kacung Marijan
Dosen Fisip Universitas Airlangga

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home