| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, April 06, 2006,9:45 AM

Strategi IPTEK

SDM Harus Masuk ke Sektor Riil

Jakarta, Kompas - Pengembangan sumber daya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk riset harus dirancang dengan memasukkan pengembangan SDM periset ke dalam sektor-sektor riil, yaitu pendidikan, pertahanan dan keamanan, kesehatan, serta infrastruktur.

Demikian penjelasan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Meneg Ristek) Kusmayanto Kadiman kepada Kompas, Rabu (5/4).

Namun, sejumlah narasumber melihat iklim akademislah yang lebih menentukan subur tidaknya peran ilmuwan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam sebuah negara. Mereka yang juga dimintai tanggapannya adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Sangkot Marzuki MD PhD DSc, serta peneliti ilmu sosial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Thung Julan.

Kusmayanto Kadiman menjelaskan, sektor pendidikan, pertahanan dan keamanan (hankam), kesehatan, dan infrastruktur menyerap hampir seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan. Sektor hankam sangat strategis bagi kedaulatan RI. Kesehatan menyangkut kehidupan dan kebutuhan dasar masyarakat luas, sedangkan sektor infrastruktur jadi tanggung jawab pemerintah karena menentukan perekonomian.

Menyangkut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2004-2009) untuk iptek, Kusmayanto mengemukakan, ketahanan pangan, kecukupan obat, energi baru dan terbarukan, teknologi hankam, teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi transportasi, pemerintah melakukan pemetaan sumber daya manusia (SDM) yang ada dan selanjutnya membangun SDM sesuai rencana itu.

Kusmayanto mengatakan, semasa BJ Habibie menjadi Menristek, perhatian pemerintah sangat besar terhadap iptek, termasuk dalam alokasi dananya. Sekarang, kondisinya berbeda.

Oleh karena itu, diakui Kusmayanto, kondisi pengembangan SDM iptek di Indonesia sekarang ibarat "nasi telah menjadi bubur", di tengah banyaknya masalah di bidang pendidikan, hankam, dan kesehatan. Ia tetap optimistis strategi pengembangan SDM iptek harus menjadi perhatian pemerintah di masa depan.

Iklim dan ego

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Sangkot Marzuki MD PhD DSc mengemukakan, kendala utama pengembangan iptek saat ini justru pada meningkatnya ego sektoral antarinstansi pemerintah.

Setiap penerima beasiswa memiliki ikatan dinas dengan instansi pengirimnya meski lembaga itu tak lagi memiliki aktivitas penelitian. "Seharusnya, pengembangan iptek tidak terjebak pada ego sektoral, tetapi bagaimana membangun bangsa Indonesia," kata Sangkot.

Sangkot menjelaskan, kondisi kurang kondusif itu disebabkan meningkatnya ego sektoral antarinstansi pemerintah dan, di sisi lain, belum tumbuhnya budaya pengembangan iptek yang kompetitif.

Hal senada dikemukakan Thung Julan dari LIPI. Pembangunan dan penelitian untuk pengembangan ilmu dan teknologi berjalan masing-masing. Rencana kerja penelitian yang dibuat jarang sekali terarah juga tidak berdasarkan visi pembangunan atau kebutuhan masyarakat.

Pengabaian terhadap riset, ilmu pengetahuan dan teknologi juga berpengaruh kepada kompetensi para periset sendiri. Menurut Julan, terjadi degradasi kualitas periset. Kebanyakan hasil riset hanya dalam tataran memberikan informasi dan memetakan. Namun, belum kepada tingkatan abstraksi yang dapat menjadi rekomendasi.

Julan mengeluhkan lemahnya kontrol terhadap para peneliti. Tidak ada sistem yang melahirkan seorang peneliti tangguh. Semua berjalan bergantung kepada komitmen dan ambisi individu peneliti. "Di bidang sosial, dahulu masih ada belasan nama besar, tetapi sekarang berkurang," ujarnya.

Sangkot Marzuki melihat sejumlah negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia, justru bersikap lebih fleksibel dengan hanya mewajibkan para penerima beasiswa untuk kembali ke negara asalnya setelah menyelesaikan studinya di luar ngeri.

Jadi, para ilmuwan tidak harus bekerja di lembaga pengirimnya, tetapi bisa bekerja di instansi pemerintah lain maupun di sektor swasta yang ada di dalam negeri. "Apalagi budaya intelektual yang memacu kompetisi di kalangan ilmuwan sampai kini belum tumbuh dengan baik," tutur Sangkot.

Para ilmuwan akan terpacu mengembangkan iptek di Tanah Air jika ada insentif memadai, termasuk aturan yang jelas mengenai hak paten dan peluang memublikasikan hasil karya penelitian di dunia internasional melalui berbagai jurnal ilmiah.

Pada titik itu, Satryo Soemantri Brodjonegoro melihat, untuk mengoptimalkan SDM iptek, diperlukan penghargaan berupa "insentif", yaitu penghargaan dalam arti luas. Selama tak ada iklim kondusif dan relevan dengan kultur akademik, ilmuwan cenderung minimalis dalam berkarya.

"Sudah jamak ilmuwan kita mencari nafkah tidak berlandaskan profesi keilmuannya di kampus, lantaran minimnya dana penelitian dan insentif bagi mereka. Bahkan, satu-dua ilmuwan yang dikirim studi luar negeri tidak kembali karena iklim kurang kondusif," kata Satryo.

Ia mengingatkan, perlu ada keberpihakan secara makro untuk menghargai riset dan para ilmuwan. Antara lain ketersediaan fasilitas yang memadai, dari kepentingan pengembangan ilmu hingga kesejahteraan mereka.

Tidak cukup hanya dipenuhi dengan melahirkan Undang-Undang Guru dan Dosen. "Harus dibarengi komitmen politik anggaran yang memadai," tutur Satryo. (YUN/NAR/EVY/INE)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home