| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 05, 2006,11:30 AM

Agar Tak Gamang Globalisasi

Ivan A Hadar

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan agar bangsa Indonesia jangan gamang menghadapi globalisasi, tetapi harus cerdas, bijak, dan tampil memanfaatkan peluang untuk meraih kemajuan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 23/3/2006).

Globalisasi adalah istilah untuk menggambarkan aneka fenomena, positif dan negatif. Revolusi di bidang komunikasi, misalnya, dengan cepat mengatasi soal jarak. Hal itu juga ikut memunculkan sistem ekonomi yang didominasi finance capital, posisi yang sebelumnya dipegang industry capital. Perkembangan ini dimungkinkan instabilisasi finansial bersamaan deregulasi ekonomi-moneter, liberalisasi pasar uang dalam negeri, dan dibukanya pasar uang bagi transaksi internasional yang memudahkan spekulasi.

Pro-kontra

Bagi para pendukungnya, globalisasi yang didominasi paradigma (ekonomi) neoliberal diyakini sebagai ”mesin kemakmuran”. Sementara bagi kelompok penentang, globalisasi identik dengan ”ledakan profit yang menyengsarakan orang miskin”.

Paling tidak sejak demo anti-WTO di Seattle, akhir 1999, menjadi jelas bahwa oposisi terhadap globalisasi telah mengglobal dan diakui pemimpin dunia. Bill Clinton, misalnya, saat di Seattle, mengatakan, ”Bila tidak ingin terjadi protes dalam setiap konferensi perdagangan, WTO harus memberi kesempatan agar suara buruh, aktivis lingkungan, dan negara berkembang bisa didengar. Setiap keputusan harus transparan, akses ke dokumen harus dibuka, juga kejelasan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil.” (Seattle Post Intelligencer, 1/12/99)

Berbagai protes terhadap globalisasi yang kian gencar memicu diskusi tentang keterbatasan pasar dan seberapa perlu negara harus mengintervensi (baca: berpihak) dalam mengupayakan kesejahteraan sosial.

Berbeda dengan klaim pendukung neoliberal, semarak perekonomian seusai Perang Dunia II, tidak hanya disebabkan liberalisme perdagangan, tetapi juga berkat kebijakan kesejahteraan negara. Saat itu sebuah konsep ekonomi (new deal) berlandaskan teori Keynes diluncurkan Pemerintah Amerika Serikat. Sasarannya, peningkatan permintaan pasar dan deficit spending untuk memberantas pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat. Lewat ”bantuan pembangunan” (baca: utang), negara-negara berkembang diasumsikan mampu mengejar ketertinggalannya dari negara kaya.

Konsep neoliberal diakui bisa bermanfaat dalam usaha mengurangi mentalitas rent seeking para birokrat. Namun, pada sisi lain, ekonomi pasar murni yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang, gagal memenuhi janjinya. Kesenjangan antarnegara kaya-miskin. Tiga contoh berikut, memperjelas hal itu.

Pertama, asumsi neoliberal, pasar modal tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan (spekulativer Marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan kekuatan ekonomi yang sebenarnya dari aneka perusahaan anggotanya. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan, bahkan dunia, seperti diperlihatkan ”Krisis Asia” yang dampaknya masih terasa di Indonesia hingga sekarang.

Kedua, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam globalisasi terjadi kesenjangan meluas. Pemenang proses globalisasi adalah negara-negara kaya anggota OECD, sementara negara berkembang kian terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus diakui, kegagalan yang sama dialami negara, terutama terkait monopoli dan oligopoli.

Negara yang efisien

Untuk membendung dampak negatif globalisasi neoliberal diperlukan negara yang efisien. akan tetapi, pada saat yang sama, akibat keterpenggalan antara ekonomi global dan politik nasional, kebijakan proteksionistis oleh negara akan mengalami kegagalan. Bagaimana mengatasinya?

Solusinya adalah kian menyatunya masyarakat global, yang memunculkan berbagai lembaga ekonomi dan politik serta terbentuknya global civil society. Sebagai instansi politik terpenting, negara dapat berfungsi sebagai mediator kepentingan nasional dalam membendung dampak destruktif globalisasi. Pada saat yang sama negara diharapkan menjadi moderator berbagai proses di masyarakat sebagai instansi integrasi dan penengah yang mencegah fragmentasi di masyarakat.

Kegiatan politik lokal yang memberdayakan potensi lokal menjadi penting terkait kian eratnya jaringan internasional. Kelompok kepentingan lokal dapat memperkuat berbagai faktor seperti pendidikan, budaya, infrastruktur, dan mengorganisasi jaringan lokal seperti perluasan partisipasi politik, seleksi jenis investasi, dan penguatan potensi ekonomi lokal.

Tak kalah penting, berfungsinya global governance. Untuk itu dibutuhkan kerja sama antara negara dan masyarakat sipil di tataran lokal, nasional, dan internasional. Sasarannya, reorganisasi politik dalam semua tataran aksi melawan logika pasar murni. Secara normatif, global governance berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dunia.

Untuk itu dibutuhkan tatanan perdagangan dunia yang menyudahi marjinalisasi, termasuk aturan persaingan yang melarang praktik monopoli dan dominasi perusahaan raksasa transnasional. Berbagai prakondisi yang perlu disiapkan agar kita tidak gamang menghadapi globalisasi.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home