| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, April 06, 2006,9:38 AM

Senjakala Demokrasi Sosial

Yonky Karman

Beberapa petinggi negeri menuduh inkonsistensi negara-negara Barat yang masih kurang tertarik untuk menambah investasi di Tanah Air kendati Indonesia sekarang lebih demokratis.

Namun, keraguan investor asing itu beralasan. Demokrasi kita baru menyentuh aspek-aspek formal. Demokrasi baru diartikan sebagai unjuk rasa atau unjuk kekuatan dalam bentuk massa. Bahkan, konstitusionalisme pun terancam demokrasi kuantitatif, terjebak dalam formalisme demokrasi, wacana publik yang berkembang dangkal dan miskin substansi. Energi berbangsa kita habis untuk hal-hal yang bukan inti persoalan.

Ketika menggagas demokrasi sosial, Bung Hatta prihatin dengan nilai uang yang kala itu merosot, infrastruktur rusak, erosi karena kerusakan hutan, rencana pembangunan yang telantar (Demokrasi Kita, 1960). Kondisi itu kurang lebih sama. Harga-harga komoditas strategis bergerak naik, sementara pendapatan dan kualitas hidup rakyat menurun. Serbuan barang impor yang murah dan berkualitas menunjukkan mahalnya ongkos berproduksi di Indonesia.

Jalan-jalan negara yang menjadi jalur urat nadi perekonomian rusak parah. Banjir di mana-mana. Rakyat rentan tertimpa bencana dan wabah. Pengangguran meningkat. Sebelum republik berdiri, nenek moyang orang Papua bebas di tanah sendiri. Sesudah ada negara, penduduk miskin tak bebas memungut remah buangan penambangan emas.

Demokrasi politik

Jalan menuju rakyat adil sejahtera bukan diktatur kabinet presidensiil dan kabinet parlementer yang berciri free fight liberalism, tetapi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berdasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Menurut Hatta, itulah demokrasi yang cocok dengan pergaulan asli masyarakat Indonesia yang biasa bermusyawarah untuk mufakat.

Dengan tepat Hatta mengkritik semboyan Revolusi Perancis (1789), "kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan". Semangat revolusi adalah kemerdekaan individual dari ikatan feodalisme. Warga memiliki hak yang sama dalam memilih dan dipilih menjadi anggota parlemen. Namun, persamaan politik tidak serta-merta melahirkan keadilan sosial dan persaudaraan. Tahun lalu, dunia terenyak saat pecah kerusuhan rasial di Perancis, anarki terbesar setelah kerusuhan mahasiswa tahun 1968.

Mestinya hukum dan penegakan hukum berpihak pada rakyat kecil. Namun, pemerintah bisa membiarkan warga berminggu-minggu dengan mulut terjahit. Penguasa seperti tidak mau tahu, realitas bernegara kian tidak rasional. Ketika sebuah bangsa memutuskan untuk bernegara, tujuannya adalah kemakmuran rakyat. Solus populi est suprema lex. Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.

Demokrasi ekonomi

Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan perekonomian bangsa disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (koperasi). Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kenyataannya, ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik menggadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalis. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam. Itulah hasil konspirasi kapitalisme (global) dan kleptokrasi. Perekonomian bangsa berjalan di luar amanat konstitusi.

Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diperlakukan seperti pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah bersusah payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan biaya hidup sehari-hari.

Karena rugi, banyak (keluarga) petani lebih tertarik menjadi penarik ojek atau pedagang asongan. Sebagian ke kota tanpa keterampilan memadai lalu menjadi bagian kelompok pengangguran baru. Anomali kebijakan ekonomi pertanian menciptakan angkatan miskin baru.

Revitalisasi demokrasi sosial

Ironisnya, pejabat dan wakil rakyat hidup sejahtera di atas kemiskinan mayoritas penduduk Indonesia. Presiden Bolivia yang baru memangkas gajinya sendiri sampai setengah, diikuti pejabat lain. Di Indonesia, pejabat negara yang sudah mendapat gaji cukup masih mendapat tunjangan beras dan ongkos rumah tangga.

Sedikit pejabat yang menolak mobil dinas baru. Lebih sedikit lagi pejabat yang berkorban untuk rakyat. Dalam perangkap kemiskinan struktural karena gagal negara, jarak antara idealisme bernegara dan realisme demokrasi semakin jauh.

Demokrasi mestinya bukan soal kemenangan kelompok, tetapi kesejahteraan bangsa. Syaratnya, kesatuan dan persatuan bangsa tidak boleh dikorbankan. Keindonesiaan yang majemuk bertahan bukan karena tirani mayoritas atau minoritas. Kemajemukan adalah warisan bangsa yang harus dipertahankan.

Dengan fondasi berbangsa yang kokoh, semua komponen bangsa terlibat membangun negeri dalam semangat gotong-royong. Hanya itu jalan kita bangkit dari keterpurukan. Itulah urgensi revitalisasi demokrasi sosial.

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Cipanas

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home