| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 04, 2006,5:07 AM

Lagi, Soal Demokrasi dan Ekonomi

Ari A Perdana

Mengutip pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Harian Kompas (23/3) memberitakan hubungan antara demokrasi dan kemakmuran. Sebagaimana tertulis dalam berita itu, menurut Wapres, negara demokratis tak selalu makmur. Sebaliknya, negara otoriter ada yang mampu menyejahterakan rakyatnya.

Pernyataan itu bukanlah hal baru. Sebaliknya, ia mengangkat kembali tema lama dalam diskursus politik ekonomi, yaitu keterkaitan antara demokrasi dan kinerja ekonomi. Pertanyaannya, dalam konteks apa Wapres melontarkan pernyataan itu?

Pernyataan itu bisa dilihat dari dua aspek: sebagai pernyataan positif atau normatif. Sebagai pernyataan positif, sebaiknya dikaitkan dengan studi-studi akademis yang pernah dilakukan dalam isu itu. Tetapi, jika itu adalah pernyataan normatif, perlu ditanyakan kepada Wapres, implikasi apa yang ingin disampaikan.

Pandangan akademis

Jika produk domestik bruto (PDB) per kapita dijadikan ukuran, terlihat negara-negara demokrasi umumnya memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi. Mengacu indeks Freedom House (2005), 70 persen yang masuk kategori demokratis adalah negara-negara berpendapatan tinggi. Sebaliknya, kurang dari 10 persen negara non-demokratis yang tergolong berpendapatan tinggi, dan hampir merupakan negara penghasil minyak.

Namun, data itu tidak menerangkan sebab-akibat. Apakah sebuah negara menjadi makmur karena demokratis, atau mereka demokratis karena sudah makmur?

Secara teoretis, klaim yang dilontarkan adalah menjalankan pemerintahan secara otoriter butuh biaya besar. Maka, negara otoriter umumnya tidak efisien. Inefisiensi ini menyebabkan lemahnya kinerja ekonomi. Selain itu, demokrasi dianggap lebih mampu mengalokasikan sumber daya secara efisien (North 1990, Olson 1991 atau Sen 1994). Namun, klaim ini sulit dipertahankan secara empiris. Studi ekonometrik Barro (1999) yang menggunakan data antarnegara tahun 1960-1995 tidak menghasilkan jawaban memuaskan mengenai hubungan sebab-akibat.

Pendapat lain menyatakan, demokrasi justru tidak efisien. Dalam demokrasi, proses pengambilan keputusan bisa bertele-tele. Pemerintahan yang demokratis pun berpotensi tunduk atas tekanan populis untuk mendahulukan konsumsi atas investasi atau pengendalian inflasi. Justru pemerintah yang otoriter berkemampuan untuk mengambil keputusan berorientasi jangka panjang (Galenson 1959, Huntington 1968, atau O’Donnell 1973).

Hubungan antara demokrasi dan ekonomi kian kurang jelas jika indikator yang digunakan adalah laju pertumbuhan ekonomi, bukan tingkat PDB per kapita. Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970- 1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sementara itu negara-negara berkembang yang relatif demokratis, seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990a-n, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah.

Masalah utama dalam studi- studi empiris itu adalah bagaimana mengukur tingkat demokrasi suatu negara. Indikator seperti indeks keterbukaan Freedom House atau indeks kompetisi politik (Alvarez dkk 1996 atau Vanhanen 2000) berguna, tetapi masih terlalu luas dan kabur dalam menggambarkan tingkat demokrasi.

Alternatifnya, ketimbang melihat demokrasi dalam arti luas, mengapa tidak melihat hubungan antara kinerja dan ekonomi dengan aspek-aspek dari demokrasi seperti transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola pemerintahan atau supremasi hukum? Hasil berbagai studi yang menggunakan aneka indikator alternatif itu umumnya lebih menunjukkan pengaruh lebih jelas atas kinerja ekonomi.

Implikasi

Jika tidak ada kausalitas pasti antara demokrasi dan kemakmuran ekonomi, apa implikasinya pada kebijakan publik dan pembangunan? Ada dua pilihan.

Pertama, kebijakan pembangunan yang berorientasi pada indikator-indikator ekonomi, namun menomorduakan politik dan demokratisasi. Di banyak literatur pembangunan ekonomi hal ini dikenal sebagai thesis Lee, merujuk mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew, dan menjadi model pembangunan bagi negara-negara Asia Timur tahun 1980-1990-an.

Alternatif kedua, kausalitas antara demokrasi dan pembangunan ekonomi tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang penting. Tetapi, keduanya merupakan komponen yang setara dan tidak terpisahkan dalam proses "Pembangunan" (dengan huruf ’P’ besar). Pandangan ini merupakan inti argumen Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000).

Menurut Sen, tujuan akhir dari pembangunan adalah kebebasan dalam arti luas. Demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan kebebasan politik, sementara pembangunan ekonomi bertujuan menciptakan kebebasan di bidang ekonomi.

Meski demikian, antara kebebasan politik dan ekonomi saling terkait dan memengaruhi. Satu pernyataan Sen yang sering dikutip adalah "demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negara demokrasi tidak pernah ada kelaparan". Alasannya, pemerintahan yang demokratis akan lebih tanggap pada masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya.

Hal ini ditegaskan Jared Diamond. Menurut Diamond dalam Collapse (2004), sejarah menunjukkan, pemerintahan dan peradaban yang otoriter dan sentralistik adalah yang lebih dulu runtuh karena adanya jalur komunikasi yang tidak berjalan antara rakyat dengan pemerintah pusat.

Di sisi lain, kinerja ekonomi juga penting bagi pembangunan politik. Menurut Lipset (1953, 2004), pembangunan ekonomi akan membawa modernisasi dan tumbuhnya kelas menengah. Hal ini akan mendorong masyarakat sipil yang terorganisasi dan lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah, yang merupakan komponen-komponen penting dalam demokrasi.

Selain itu di banyak negara berkembang, berhasilnya pembangunan ekonomi juga membawa perubahan sosial yang berujung pada berakhirnya otoritarianisme. Pengalaman di Brasil, Korea Selatan, Portugal, dan Yunani adalah beberapa contoh.

Mudah-mudahan Wapres tidak terinspirasi untuk mengaplikasikan "thesis Lee"—sesuatu yang juga pernah dijalankan oleh Indonesia—ketika menyatakan bahwa demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran.

Betul, Singapura menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa perlu mengalami demokratisasi. Juga betul bahwa Tiongkok bisa tumbuh pesat seperti sekarang, meski pemerintahannya tetap otoriter. Namun, membalikkan arah demokratisasi di Indonesia dalam keadaan sekarang akan membawa biaya sosial lebih besar.

Di sisi lain, pernyataan Wapres juga perlu dilihat sebagai sebuah pesan pada para politisi. Demokrasi itu sendiri bukanlah satu-satunya tujuan akhir. Demokrasi akan berarti jika ia juga bisa membawa kesejahteraan. Dan negara-negara maju menjadi contoh bagi kita bagaimana demokrasi bisa bertahan dan dipilih oleh rakyat ketika ia berhasil menghasilkan kemakmuran bagi masyarakatnya.

Ari A Perdana
Mahasiswa di Kennedy School of Government, Harvard University, Cambridge, USA

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home