| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 04, 2006,5:06 AM

Keahlian Ilmuwan Indonesia Tersia-siakan

Akibat Ketiadaan Dana dan Ketidakjelasan Program Iptek


Jakarta, Kompas - Tiadanya grand strategy pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disusul lemahnya pengawalan program jangka panjang pengembangan sumber daya manusia, mengakibatkan peran ribuan ilmuwan Indonesia yang pernah dibiayai pemerintah maupun hibah asing hilang sia-sia.

Padahal, keahlian mereka potensial berperan mempercepat kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berpangkal pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. "Saya prihatin sekali dengan kondisi ini, dan tidak fair jika mata rantai pertama, yaitu proses pengiriman para ilmuwan atau tenaga ahli itu, yang dinilai gagal. Mata rantai kedua adalah institusi dan perangkat teknologi yang akan menyongsong mereka ketika mereka kembali, sedangkan mata rantai ketiga adalah linkage dengan departemen, atau strategi pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Maka, benar kalau ada kesan keahlian ilmuwan kita muspro (sia-sia) di negeri sendiri," kata Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro, Senin (3/4), ketika dimintai tanggapannya perihal buntunya peran ilmuwan dan sumbangan teknologi baru untuk segera melepaskan Indonesia dari keterpurukan di berbagai bidang.

Tanggapan senada datang dari Ir Yusman SD, mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Bandung, Prof Dr Ir Dodi Nandika MS, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), serta Nadirah MSc, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Pusdiklat BPPT).

Wardiman menjelaskan, tahun 1985, setidaknya 2.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia dikirim lewat program pendidikan S1, S2, dan S3 ke luar negeri melalui hibah maupun pinjaman dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan JBIC (Bank Jepang), dengan nilai hibah 600 juta dollar AS selama delapan tahun. Tetapi, tahun 1989, program itu diambil alih Bappenas dan selanjutnya tak jelas lagi kelanjutannya.

Muncul suara beberapa menteri, buat apa mendidik orang Indonesia kalau menganggur. "Selalu saya counter. Tugas kami mendidik SDM dan harus terus maju. Tugas departemen lain, seperti industri, ekonomi, dan keuangan, untuk membuka lapangan kerja sehingga orang yang sudah kita didik bisa fully used, sepenuhnya termanfaatkan," kata Wardiman, yang kini Ketua Yayasan Pengembangan SDM The Habibie Centre di Jakarta.

Namun, sepulang studi umumnya para ilmuwan frustrasi karena pekerjaan mereka tidak ditopang peralatan dan orientasi ke depan. "Saya yang menangani enam lembaga pemerintah nondepartemen, seperti BPS, Bakorsurtanal, LIPI, BATAN, LAPAN, dan BPPT. Di tempat mereka, kerja fasilitas kurang dan tidak ada dana. Kasihan mereka," katanya.

Wardiman mengemukakan, tahun lalu saja anggaran China untuk mengembangkan bidang iptek mencapai 2 persen dari anggaran nasional mereka, sedangkan Indonesia hanya 0,5 persen. "Jangan tanya Jepang dan Korea, mereka di atas 2 persen."

Wardiman mengakui, ada faktor eksternal, yaitu berubahnya tata ekonomi dunia. Di Jerman, negara dengan mutu pendidikan yang luar biasa, toh tingkat penganggurannya mencapai 12 persen, 4,5 juta dari 80 juta penduduk. Di antara mereka, 500.000 orang adalah sarjana dan doktor. "Jadi, terang gamblanglah. Persoalan di Indonesia adalah lapangan kerja," tuturnya.

Sekjen Depdiknas Dodi Nandika menilai pengiriman calon ilmuwan dan ilmuwan yang sudah jadi ke luar negeri sangat strategis dalam upaya mendongkrak daya saing bangsa sehingga kelak menjadi motor penggerak dan inovator di berbagai bidang. "Namun, ilmu yang diperoleh anak bangsa di luar negeri itu tidak ada artinya jika mereka tidak diberi kesempatan berperan dalam masyarakat," katanya.

Dodi mengakui ada segelintir ilmuwan yang kecewa dengan iklim penelitian di dalam negeri sehingga mereka lebih tertarik untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. "Tetapi, itu hanya sebagian kecil. Pada sisi lain, hal itu juga memungkinkan bagi anak bangsa terbaik untuk mengharumkan nama negeri kita di luar negeri. Toh, diam-diam mereka tetap menjalin komunikasi dengan sesama ilmuwan di dalam negeri dan memungkinkan transformasi teknologi," kata Dodi.

Adapun Ir Yusman SD melihat, persoalan serius di Indonesia adalah bagaimana ilmuwan-ilmuwan high tech tetap bisa terus meningkatkan kualitas dan kompetensi keilmuan mereka. "Kalau laboratorium saja tidak ada, apa dia harus membangun lab dengan duit sendiri? Jarang sekali universitas dan lembaga kita yang memiliki lab dengan pendanaan terprogram."

Sebab itu, ilmuwan dan mereka yang memiliki keahlian khusus lebih suka bekerja dan mengabdikan diri bagi negara lain. "BPPT dulu terkait dengan industri strategis senjata untuk sistem dirgantara, teknologi perkapalan, energi, maupun tenaga surya, dan biodiesel. Tetapi, risetnya sendiri tak ada. Makanya, meski mereka terpakai, tetapi tak sesuai kapasitas mereka."

"Sekarang pemerintah dan BPPT cenderung mengabaikan iptek. Mungkin karena mereka menganggap teknologi ini gampang dibeli. Padahal, kapasitas mereka mampu membangun kemandirian. Saya sangat menyayangkan karena yang paling sulit itu investasi SDM. Pendidikan SDM dengan industrialisasi butuh waktu 5-10 tahun, tetapi mengirim sekolah S2 dan S3 menempatkan ilmuwan langsung pada ujung tantangan baru, new frontier," kata Yusman SD.

Yusman masih ingat karena "posisi Indonesia" yang terhormat dan baik ketika itu, ilmuwan Indonesia bahkan diperkenankan bergabung pada program-program classified, yaitu program prestisius dan sebagian rahasia. Misalnya di Amerika, calon doktor Indonesia boleh ikut riset roket Galileo. Di Jerman diikutkan pada riset mesin paling maju, atau desain komputer dan aerodinamik, serta riset tenaga surya. "Menurut saya, mesti dikembalikan lagi agenda-agenda pengembangan teknologi dan SDM itu. Menristek, Kepala BPPT, dan LPND, seperti Lapan, Batan, LIPI atau Puspiptek, harus punya inisiatif dan program untuk merangsang gairah ilmuwan berkarya mengabdikan ilmunya di Indonesia," kata Chairman Matsushita-Gobel Foundation itu. Ia mencatat, masih ada 150-an ahli mesin Indonesia di Jerman dan masing-masing 40 ahli aeronautika dan energi surya di Brasil. Mereka itu adalah ilmuwan berkat beasiswa hibah dari negara Jepang, Inggris, Amerika, Jerman, dan Perancis. "Kebijakan kita dulu, sekarang yang mengekor Malaysia dan China. Kita stop, tetapi mereka punya program jelas," kata Yusman.

Nadirah MSc, Kepala Pusdiklat BPPT, menyatakan, pihaknya tengah menyusun kembali database, status pelajar yang memperoleh beasiswa. Setidaknya, data peserta dua program yang telah lewat bisa terdeteksi. Program dimaksud ialah beasiswa lulusan SMA bidang Ilmu Pengetahuan Alam oleh Overseas Fellowship Program (OFP, 1985-1992) didanai Bank Dunia dan Program STAID oleh Bank Dunia dan Jepang (1990-2004).

"Program ini akan dihidupkan lagi, paling tidak di kalangan BPPT, untuk mengantisipasi kelangkaan tenaga ahli berpendidikan S2 dan S3 tahun 2010," kata Nadirah. (Nar/Yun/HRD)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home