| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 10, 2006,5:13 PM

Ilmu Pengetahuan Akan dan Harus Berakhir

Ilmu Pengetahuan Akan dan Harus Berakhir


Muhammad Safrinal

Maklumat yang ditulis Richard Dawkins dalam "The Blind Watchmaker" (1986) barangkali tak akan mudah dilupakan orang. Di halaman pembuka, biolog kawakan itu dengan tegas melukiskan tentang akhir yang telah dicapai biologi evolusioner: "Keberadaan kita mengungkapkan semua misteri paling besar. Tapi, misteri itu telah hilang karena semuanya telah berakhir. Darwin dan Wallace telah menyelesaikannya, kendati untuk sementara kita harus terus menambahkan catatan kaki...."

Meski berbicara dalam bingkai biologi evolusioner, maklumat Dawkins sejatinya juga tepat untuk menggambarkan nasib cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Daya jelajah ilmu pengetahuan bukannya serba tak terbatas sebagaimana yang lazim dibayangkan orang kebanyakan, termasuk sejumlah ilmuwan tersohor. Serupa halnya dengan apa pun yang hadir di bumi ini, ia tak bisa mengelak dari keniscayaan hukum logika organik: lahir, tumbuh, memudar, dan lantas berakhir!

Soal keberakhiran itulah yang dibicarakan John Horgan dalam buku yang sempat meraih international bestseller ini. Berbekal jabatan sebagai penulis senior di Scientific American, peraih dua penghargaan dalam bidang kepenulisan sains ini menelusuri kemungkinan batas akhir ilmu pengetahuan melalui sejumlah wawancara eksklusif dengan para ahli terkemuka. Dari mulai Stephen Hawking di bidang kosmologi, Francis Crick di bidang neurosains, hingga Karl Popper dan Thomas Kuhn di bidang filsafat ilmu pengetahuan.

Berakhir karena sempurna

Tanpa perlu diragukan lagi, ilmu pengetahuan telah menunjukkan pencapaian yang luar biasa setelah sejak empat abad silam menggeser posisi agama sebagai pemegang otoritas pendefinisi kebenaran. Lewat kacamata rasional-empiris, ia secara menakjubkan telah memberi kita titik terang atas pelbagai misteri semesta yang sebelumnya justru tak terbayangkan dan serasa muskil terpecahkan.

Isaac Newton telah membuka sebagian misteri itu melalui hukum gerak dan gravitasi universal. Charles Darwin telah mengungkapkan kunci evolusi makhluk hidup melalui teori seleksi alam. Albert Einstein dengan brilian memberikan kita pemahaman tentang konsep relativitas. Begitupun Francis Crick dan James Watson yang menemukan kunci mendasar kehidupan, struktur double-helix DNA.

Senarai tersebut masih bisa bertambah panjang jika nama besar Stephen Hawking dimasukkan ke dalam deretan. Akan tetapi yang jadi persoalan, mampukah ilmu pengetahuan secara terus-menerus melahirkan sejumlah figur dan temuan-temuan adiluhung yang bisa disejajarkan dengan apa yang tercatat dalam senarai di atas?

Berseberangan dengan iman yang selama ini diyakini para ilmuwan, yang menganggap bahwa satu temuan baru akan melahirkan seribu pertanyaan baru, John Horgan memiliki pandangan pesimistis jika pertanyaan tersebut disodorkan kepadanya. Mengutip penjelasan Gunther Stent, pelopor biologi molekuler, Horgan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan mungkin akan berakhir. Akan tetapi, bukan karena adanya skeptisisme kaum akademisi yang sofis, melainkan justru karena ia telah bekerja dengan sangat baik.

Jadi, berakhirnya ilmu pengetahuan bukan disebabkan dunia tak mampu lagi melahirkan figur sekelas Darwin atau Einstein. Ia berakhir karena berjalan terlalu sempurna sehingga hampir tak menyisakan celah bagi munculnya terobosan dan temuan baru di masa depan. Nyaris seluruh prinsip dasar di setiap cabang ilmu telah ditemukan dan ditegakkan. Alhasil, sebagaimana analisis Yasraf A Piliang dalam pengantar buku ini, tidak ada lagi kebaruan yang dapat diharapkan darinya, tidak ada lagi jajahan baru yang dapat dieksplorasi, serta tidak ada lagi obyek yang dapat diteliti.

Martin Hewit, pakar astrofisika asal Amerika Serikat, menggambarkan nasib ilmu pengetahuan tersebut dalam sebuah grafik. Grafik itu adalah sebuah kurva berbentuk lonceng yang memuncak secara tajam pada tahun 2000. Pada tahun itu, kita telah menemukan setengah dari seluruh fenomena yang bisa ditemukan. Kita bakal menemukan sekitar 90 persen dari fenomena yang bisa diakses pada tahun 2200, dan sisanya akan menetes dalam tingkat kecepatan yang berkurang selama beberapa ribu tahun berikutnya.

Kendati pendapat Yasraf dan Hewit serasa berlebihan, bagi Horgan, begitulah yang agaknya lebih kurang terjadi. Dalam bidang fisika, ia meyakini bahwa tak ada lagi hal mendasar yang mampu ditemukan setelah relativitas Einstein dan mekanika kuantum. Di bidang kosmologi, Stephen Hawking telah menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan pelik yang berkaitan erat dengan teori evolusi alam semesta dalam teori big bang.

Hal serupa juga terjadi di bidang biologi. Setelah Darwin menjelaskan bagaimana evolusi makhluk hidup terjadi, Gregor Mendel menjabarkan hukum pewarisan sifat antargenerasi, serta Crick dan Watson menemukan dan menguraikan materi genetik, praktis tak banyak lagi ruang misteri yang bisa ditemukan dan dipecahkan.

Gunther Stent bahkan berpendapat bahwa ahli biologi hanya tinggal memiliki tiga pertanyaan utama yang masih tersisa untuk dieksplorasi: bagaimana kehidupan bermula, bagaimana sel tunggal yang terfertilisasi dapat berkembang menjadi organisme multiseluler, dan bagaimana pusat sistem saraf memproses informasi. Jika ketiga pertanyaan itu telah tuntas, kata Stent, berarti tugas mendasar biologi juga selesai.

"Pemberontakan" gagal

Anggapan Horgan tentang berakhirnya ilmu pengetahuan barangkali terkesan janggal jika kita menyimak begitu banyaknya hasil penelitian yang setiap bulannya dipublikasikan oleh pelbagai jurnal di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, meminjam maklumat Dawkins di paragraf awal, penelitian-penelitian tersebut tak lebih sebagai tambahan catatan kaki belaka. Segenap penelitian itu cuma berperan sebagai keterangan-keterangan penjelas bagi temuan-temuan besar di masa silam.

Kenyataan pahit itulah yang terpaksa ditanggung para ilmuwan ambisius masa kini. Sebab, betapapun jeniusnya mereka, adalah muskil beroleh kesempatan untuk melampaui teori evolusi Darwin atau teori relativitas Einstein. Karena itu, tak sedikit dari mereka yang "memberontak" dengan cara memelintir karya-karya pendahulunya secara halus. Hal semacam itulah yang dilakukan Stephen Jay Gould, yang coba menentang pengaruh Darwin melalui teori punctuated equilibrium, yakni teori yang berpendapat bahwa spesies tumbuhan dan hewan muncul relatif cepat dan bukan muncul melalui proses perubahan bertahap seperti yang dinyatakan Darwin.

Namun, serupa nasib teori superstring dalam bidang fisika, gaung teori Gould hanya terdengar sesaat. Teori tersebut tak mampu menandingi teori Darwin. Bukan semata-mata karena karya Darwin telah lama dikenal dan memiliki banyak pendukung, tetapi karena memang di situlah letak kebenaran yang semestinya.

Tak heran jika Horgan berani mengatakan bahwa kunci untuk memahami Gould bukan karena ia diduga penganut antiotoritarianisme, tetapi karena kecemasannya akan potensi keberakhiran bidang studi yang ditekuninya. Dengan membebaskan biologi evolusioner dari Darwin—dan dari ilmu pengetahuan secara keseluruhan, ilmu pengetahuan yang didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum universal—ia telah berupaya menjadikan pertanyaan sains terus terbuka dan bahkan tak terhingga. Demikianlah, segenap upaya yang dilakukan untuk memperpanjang umur ilmu pengetahuan lewat "pemberontakan" berakhir dengan kegagalan.

Meski tak sedikit yang menganggap kehadiran buku ini (juga buku-buku The End lainnya) sebagai manifestasi pesimisme pramilenium (buku aslinya terbit 1997) dan keisengan yang tak perlu dianggap serius, Horgan justru merasa berkepentingan untuk mengingatkan bahwa keyakinan pada keabadian dan perkembangan, bukan pada krisis dan keberakhiran, adalah khayalan yang dominan dalam budaya kita. Sebab, menurut dia, sejarah selalu mengajarkan bahwa perkembangan yang terus-menerus, sebagaimana ditunjukkan ilmu pengetahuan selama ini, adalah sebuah anomali dan karenanya akan dan harus berakhir!

Dan melalui buku ini Horgan melakukannya dengan jeli dan memesona, meski beberapa penjelasannya atas sejumlah konsep terkadang masih terasa sukar dipahami. Di samping itu, buku ini juga dapat dijadikan rujukan penting bagi para pembaca awam yang berkehendak memahami dengan cukup lengkap tentang figur, pemikiran, pertentangan gagasan, serta kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan di sepanjang perjalanannya.

Muhammad Safrinal, Mahasiswa Tingkat Akhir Biologi Universitas Negeri Yogyakarta


==============================================
BUKU BARU

Perjuangan Hidup Jean Valjean


Jean Valjean, mantan narapidana yang dihukum 19 tahun karena mencuri roti dan mencoba melarikan diri, harus berjuang hidup selepas dari penjara. Untunglah, seorang uskup memberinya tempat bermalam, bahkan menghujaninya dengan kebaikan. Monsieur Myriel, uskup yang telah membuka mata hati seorang Jean Valjean untuk bertarung mengalahkan dunia kegelapan dengan kebaikan. Terlahir dari keluarga petani miskin, akhirnya hidup membawa Jean menjadi wali kota dengan identitas baru, yakni Monsier Madeline. Kehadiran Cosette, gadis kecil yang memanggilnya "ayah", menjadi cahaya dalam kehidupan seorang Monsier Madeline.

Meski menghadapi fitnah, kelicikan Thenardier, kejaran Javert, bahkan berbagai rintangan demi menyelamatkan Marius, tiada menghentikan langkahnya untuk membahagiakan dan mendedikasikan hidupnya bagi Cosette. Akhirnya, Jean Valjean berbahagia karena tidak meninggal dalam kesepian namun dalam dekapan kasih Cosette dan Marius. Karya fiksi Victor Hugo, penulis yang memimpin Gerakan Romantisme Perancis pada abad ke-19, membawa pembaca berpetualang dalam kerumitan kisah penuh nuansa humanisme di tengah revolusi yang sedang berlangsung dalam masyarakat Perancis. (SHS/Litbang Kompas)

Sejarah dan Praktik Sekularisme di Asia

Istilah sekular berasal dari kata Latin, saeculum, yang menunjuk pada masa kini atau waktu ini. Dalam pengertiannya yang luas, sekularisme dikaitkan dengan pemisahan antara agama dan non- agama, seperti politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Praktik sekularisme di berbagai negara tidak pernah sama, melainkan bersifat kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial budaya suatu masyarakat.

Di Malaysia, misalnya, kata tersebut dewasa ini mempunyai citra buruk dan disejajarkan dengan korupsi, penyelewengan kekuasaan. Pengenalan dan penerapan nilai modern dan sekular yang diikuti terciptanya rezim tidak demokratis membuat konsep tersebut mempunyai kesan negatif dan ditolak.

Buku ini menyajikan sembilan kajian sekularisme di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Jepang, Pakistan, dan Thailand. Empat di antaranya pernah diwacanakan dalam seminar "The Future of Secularism" di Yale University tahun 2004, termasuk karya Goenawan Mohamad.

Satu-satunya tulisan yang khusus dipersembahkan untuk buku ini adalah karya Siti Musdah Mulia, doktor di bidang pemikiran politik Islam, yang menyoroti posisi perempuan dalam arus sekularisme. (THA/Litbang Kompas)

Mengenal Kota-kota di Indonesia

Kompilasi penelitian ini merupakan hasil konferensi yang diselenggarakan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga tahun 2004 tentang analisis dampak kolonialisasi terhadap kota. Analisis terhadap beberapa kota besar di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Bali dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di sana serta kondisi demografi, perkembangan politik, serta budaya masyarakat.

Sebutlah Yogyakarta, yang berawal dari kota istana dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun Sultan Hamengku Buwono I tahun 1756. Pendiriannya dirancang dengan konsep "Babad Alas" atau "Membuka Hutan", sesuai tradisi Jawa, hingga kemudian terkenal sebagai "Kota Budaya". Dalam perkembangannya, kota ini juga dikenal sebagai "Kota Pelajar" atau "Kota Sepeda", yang membuatnya menjadi kota penuh simbol. Beda dengan Denpasar, yang mengalami perkembangan dari kota kolonial menjadi kota wisata. Denpasar mulanya dikenal sebagai pusat istana atau puri, kemudian berkembang menjadi colonial city sebelum akhirnya menjadi kota modern. Sejak masa kerajaan, kolonial, hingga kemerdekaan, Denpasar merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Bali secara keseluruhan. (SHS/Litbang Kompas)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home