| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, April 11, 2006,4:02 PM

Strategi "Free Trade Zone"

Didik J Rachbini

Setelah hampir dua tahun, pemerintah terus mencari dan berusaha menemukan kinerjanya di bidang ekonomi. Satu setengah tahun terakhir, kinerja ekonomi jauh dari memadai meski kinerja sektor keuangan cukup baik. Pertumbuhan ekonomi di bawah sasaran, inflasi tinggi, investasi stagnan, pengangguran meningkat, dan kemiskinan bertambah.

Keadaan itu tidak lepas dari kelemahan strategi dan kebijakan ekonomi dan kepemimpinan ekonomi dalam kabinet. Selama ini pemerintah sibuk menjadi pemadam kebakaran untuk masalah-masalah jangka pendek, seperti kasus pupuk, gas, isu Cepu, ekspor fiktif, dan sebagainya. Strategi induk untuk memayungi kebijakan ekonomi yang fungsional tidak berhasil dibangun dengan baik.

Kini muncul inovasi kebijakan ekonomi dengan instrumen strategi pengembangan FTZ (free trade zone) atau special economic zone (SEZ). Kawasan ini merupakan kawasan ekonomi bebas yang dibangun untuk menarik investasi, mengembangkan perdagangan dan ekspor, serta mengembangkan ekonomi kawasan itu secara keseluruhan. Strategi dan kebijakan ini dilakukan dengan memberi fasilitas dan insentif fiskal yang amat menarik dan bersifat khusus sehingga investor dapat tertarik karena mendapat keuntungan ekonomi pada awal investasi diputuskan.

Selain insentif itu, pemerintah atau otorita zona harus membangun sistem infrastruktur yang baik agar investasi menjadi mudah, industri dan perdagangan kian berkembang. Bagi Indonesia hal ini menjadi masalah karena anggaran publik amat terbatas. Tidak seperti dulu, banyak peluang dari anggaran publik untuk membangun infrastruktur seperti pernah dilakukan di Batam.

Pengembangan kawasan

Untuk menjadi magnet ekonomi dan menarik investasi asing, jawabannya adalah strategi FTZ. FTZ adalah kawasan ekonomi bebas yang khusus dirancang untuk industri dengan fasilitas khusus dalam perpajakan, pelayanan cepat, penyediaan infrastruktur yang lengkap. Fasilitas dan anggaran untuk itu akan cepat diwujudkan dengan undang-undang.

Pengembangan kawasan baru untuk FTZ relatif tidak bermasalah secara geografis karena Indonesia memiliki ribuan pulau. Banyak yang tidak berpenghuni, tetapi letaknya strategis. Dengan strategi FTZ, pulau yang tidak ada kegiatan ekonomi dapat dikembangkan menjadi pusat industri dan investasi.

Pulau Batam semula adalah pulau kosong, dengan sedikit penghuni. Gagasan Habibie untuk menarik investasi Singapura berhasil dilakukan dengan membangun infrastruktur dan memberi berbagai insentif ekonomi sehingga Batam bisa berkembang seperti sekarang.

Masalahnya, aspek kebijakan dan politik. Meski secara geografis tidak sulit untuk mencari kawasan FTZ, tetapi masalah politik dan kebijakan harus dibicarakan secara publik dengan keterlibatan DPR. Masalahnya, dimensi kerja sama yang melibatkan negara lain, terutama dengan Singapura. Bagaimana bentuk kerja sama pengelolaan kawasan atau pulau yang akan menjadi zona ekonomi bebas itu?

Pemerintah telah menggagas dan melempar aspek kebijakan ke publik. Strategi dan kebijakan ini dianggap baik guna memajukan ekonomi dari peningkatan sektor industri dan investasi datang dari luar.

Dalam aspek politik, DPR—Komisi VI— tentu memikirkan kebijakan ini, terutama untuk mencari alternatif yang paling tepat secara ekonomi politik. Jika strategi FTZ ini layak secara ekonomi dan kebijakan, maka secara politik harus juga dilihat kelayakannya (politically feasible).

Pembicaraan dengan DPR mutlak perlu dilakukan, terutama jika hendak mengemasnya dengan undang-undang. Jangan sampai tujuan untuk membangun ekonomi bertabrakan dengan rambu-rambu atau garis demarkasi nasionalisme dan sentimen kolektif masyarakat.

Pengekspor modal

Inisiatif membangun FTZ dinilai baik dan signifikan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, terutama untuk menyiasati peluang pasar regional dan global yang dinamis. Kawasan Asia masih dianggap cukup menjanjikan untuk mengembangkan lokomotif ekonomi melalui kawasan ekonomi bebas.

Kawasan Asia Timur juga masih dinamis. Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong masih berperan sebagai pengekspor modal. Peluang itu semestinya ditangkap dengan alat kebijakan yang baik agar modal berdatangan ke Indonesia.

Kawasan Asia Tenggara juga sudah menjadi negara industri, yang berekspansi keluar. Singapura, Malaysia, dan Thailand tergolong aktif berinvestasi di luar negeri. Peluang di sekitar kita cukup banyak dan potensial, sehingga inovasi kebijakan harus terus dikembangkan, tidak hanya FTZ.

Anggaran

Membangun kawasan ekonomi bebas memerlukan anggaran besar, terutama guna membangun infrastruktur. Anggaran besar itu sulit diperoleh dari APBN sehingga perlu dicari alternatif kerja sama dengan negara lain dan swasta asing.

Maka, ada beberapa alternatif. Pertama, pemerintah membuat otoritas FTZ sendiri seperti otorita Batam. Alternatif ini relatif sulit dilaksanakan mengingat keterbatasan anggaran. Kini tidak ada kemewahan anggaran seperti 1970-an saat membangun kawasan ekonomi bebas seperti Batam.

Kedua, suatu kawasan atau pulau dapat disewakan kepada negara lain. Kontrak dibuat dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian dikembalikan kepada negara Indonesia. Contohnya adalah Hongkong dan Makau. Ide ini pernah digagas Menteri Kelautan, Prof Rokhmin Dahuri, tetapi belum sempat terwujud.

Pilihan ini tidak populer karena dianggap menjual nasionalisme meski kemungkinan mendapat uang sewa dan upaya memajukan pulau itu bisa didapat. Jika dipaksakan akan banyak kontroversi, sehingga potensial menghambat program pengembangan FTZ baru itu.

Ketiga, kerja sama membuat otorita dengan kontribusi kekuatan masing-masing pihak. Artinya, ada otorita yang dikelola bersama dengan otoritas seimbang.

Didik J Rachbini
Ekonom Universitas Mercu Buana, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home