| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, April 09, 2006,12:13 AM

Antara Kepastian Hukum dan Kepastian Kebenaran

Amir Syamsuddin

Menyikapi kasus hukuman mati Tibo cs, berbagai pihak kembali menyayangkan adanya hukuman mati di Indonesia.

Beberapa penulis telah menuangkan pemikirannya, yang intinya menyatakan hukuman mati inkonstitusional atau bertentangan dengan hak untuk hidup (the right to life) yang merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi sedikit pun (non derogable right) (Kompas, 7/4/2006).

Para pengamat atau ahli hukum tampaknya menyikapi kasus Tibo cs dari sisi hukuman matinya. Padahal, sejak tahun 1978, pemerintah kita telah mengeksekusi tidak kurang dari 38 jiwa. Karena itu, setiap kasus penghukuman mati seharusnya dilihat dari kaca mata hukum sebagai persoalan hukum, bukan masalah hak asasi manusia atau politik.

Ada beberapa persoalan hukum yang berkaitan dengan kasus Tibo cs, antara lain masalah pembuktian mengenai kebenaran Tibo cs sebagai otak pelaku kerusuhan Poso dan masalah pengajuan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya.

Pembuktian terputus

Berbicara tentang hukuman mati dari sisi hak asasi manusia, kita akan terjebak diskusi panjang, sepanjang masalah hak asasi itu sendiri. Padahal, kita tahu, sejak tahun 1978, Pemerintah Indonesia sudah mengeksekusi tidak kurang dari 38 jiwa dan di masa datang segera mengeksekusi pelaku kejahatan lain.

Oleh karena itu, menjadi tidak adil jika menyatakan hukuman mati tidak boleh diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Persoalan penghukuman mati oleh pengadilan terhadap seseorang harus dilihat dari kaca mata hukum.

Dalam kasus Tibo cs, misalnya, kita harus melihatnya dari sisi benar-tidaknya penerapan hukum pengadilan. Kita bisa bertanya, betulkah Tibo cs adalah otak kerusuhan Poso, melakukan pembunuhan berantai yang kejam?

Jikalau menganalisis jalannya cerita dari persidangan kasus Tibo cs, jelas terdapat fakta-fakta yang terputus yang tidak dapat dijelaskan atau dibuktikan secara material dan lengkap bahwa Tibo cs telah melakukan perencanaan, penggerakan, dan pembunuhan di Poso.

Nah, jika putusan pengadilan hanya menduga-duga dengan menggunakan sarana petunjuk belaka, tentu saja akan tersisa pertanyaan substansial, benarkah Tibo cs adalah otak dan penggerak kerusuhan Poso?

Adanya keraguan dan ketidakyakinan ditambah adanya fakta yang terputus dari kasus Tibo cs, maka amat wajar bila masyarakat kemudian menjadi tidak bahagia dengan putusan penghukuman mati Tibo cs.

Pemerintah, khususnya Mahkamah Agung dan kejaksaan, semestinya mempertimbangkan realitas ketidakbahagiaan publik terhadap hukuman mati itu sebagai suatu alasan sah untuk membatalkan atau setidaknya menunda pelaksanaan hukuman mati itu.

Pengajuan PK kedua

Menurut hukum, ada dua alasan untuk mengajukan PK, antara lain karena ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 Huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto UU No 5/2004 tentang Perubahan atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi, "Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan apabila, setelah perkara diputuskan, ditemukan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata".

Alasan kedua adalah telah ditemukan surat bukti yang bersifat menentukan sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 67 Huruf b UU yang sama, yang berbunyi: "Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan apabila, setelah perkara diputuskan, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan".

Dilihat dari maksud dan tujuan suatu PK, jelas untuk alasan peninjauan kembali karena ada kekeliruan dan kekhilafan hakim, secara prosedural dan substansial, terpidana tidak dapat mengajukan untuk kedua kali. Namun, apabila alasan kedua yaitu novum, maka jangankan sekali, si terpidana bahkan dapat mengajukan PK berkali-kali.

Dalam kasus perdata maupun pidana, hal ini dimungkinkan karena pengajukan PK dapat diajukan apabila di kemudian hari ditemukan bukti-bukti baru. Ini artinya bukti-bukti tersebut bisa ditemukan hari ini, besok, tahun ini, atau tahun depan. Jadi, tidak ada batasannya.

Meski si terpidana mati telah dieksekusi, jika di kemudian hari ahli waris atau keluarganya menemukan bukti baru, tidak ada halangan bagi mereka mengajukan PK lagi.

Beri peluang lagi

Untuk kasus Tibo cs, kebetulan mereka belum dieksekusi, sudah seyogianya peluang sekecil apa pun harus diberikan kepada mereka demi kepastian kebenaran dan penghargaan atas hak hidup warga negara.

Andaikata Tibo cs dihukum mati, kemudian ternyata ada bukti baru yang menyatakan ketidakbersalahan mereka, siapakah yang akan bertanggung jawab atas penghilangan nyawa orang tidak bersalah?

Jelas, alasan ketiadaan prosedural pengajuan PK untuk kedua kali, sebagaimana disampaikan pihak kejaksaan, hanya alasan prosedural yang bertentangan dengan keadilan dan kepastian kebenaran.

Mahkamah Agung dan kejaksaan harus menerima dan memeriksa permohonan PK kedua Tibo cs untuk diperiksa apakah benar novum yang ada memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 Huruf b UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung juncto UU No 5/2004 tentang Perubahan atas UU No 14/1985.

Hukuman mati Tibo cs harus disikapi secara hukum dan tidak politis. Hukuman mati di Indonesia saat ini harus dimaknai sebagai bagian dari efek jera (detterent effect) yang khusus dan selektif.

Bagi kasus yang penuh keraguan, tidak ada jalan lain bagi Mahkamah Agung untuk mencari kebenaran material yang merupakan bagian dari kepastian kebenaran, tidak sekadar kepastian hukum prosedural.

Nyawa manusia lebih berharga ketimbang argumentasi kepastian hukum.

Amir Syamsuddin
Praktisi Hukum, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home