| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, April 07, 2006,11:41 AM

Eksekusi Mati di Poso Inkonstitusional

Al araf

Praktik penerapan hukuman mati di Indonesia tampaknya akan berlanjut. Setelah grasinya ditolak Yudhoyono pada tahun 2005, tampaknya tiga terpidana mati kasus Poso (Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu) bisa dipastikan akan dieksekusi dalam waktu dekat.

Harapan, mimpi, dan keinginan agar negara tidak mencabut hak hidup yang merupakan pemberian yang Kuasa sudah pupus.

Sejumlah organisasi lintas agama di Palu yang diwakili kelompok dan tokoh Islam-Kristen merespons dan menyatakan penentangan atas rencana eksekusi ketiga terpidana mati itu. Mereka menilai eksekusi atas ketiganya diyakini akan memutus benang merah otak kerusuhan sebenarnya. Sayang, permintaan dan tekanan kelompok agama tidak memengaruhi sikap pemerintah, yang berkeras dan berencana melaksanakan eksekusi mati.

Sikap keras pemerintah itu melahirkan pertanyaan. Mengapa pemerintah ngotot untuk melaksanakannya? Bukankah ketiga orang itu harus dibiarkan hidup sebagai kunci untuk mengungkap kerusuhan dan mengetahui dalang kerusuhan sebenarnya?

Nuansa politis

Sebagai warisan masa lalu, penerapan hukuman mati di Indonesia tidak lepas dari watak dan politik yang berperan saat itu. Sejak masa kolonial hingga kini, sejarah menunjukkan bagaimana hukuman mati menjadi bagian manajemen politik kekerasan dan politik ketakutan negara untuk mengontrol masyarakat.

Penerapan hukuman mati di Poso di satu sisi merupakan bukti bagaimana negara menjadikan hukuman mati (seolah) sebagai komitmen untuk menyelesaikan kasus Poso. Ketika masyarakat lelah, kesal, dan jenuh dengan konflik dan aksi teror yang terus berlangsung di Poso, negara berusaha menghadirkan hukuman mati untuk meredam dan memuaskan amarah masyarakat atas terjadinya kejahatan.

Di sisi lain, penerapan hukuman mati terhadap ketiga orang itu menimbulkan kecurigaan, pertanyaan, dan bernuansa politis. Eksekusi mati kepada ketiganya akan memutus rantai dan jaringan yang terlibat kerusuhan Poso. Wajar jika kelompok lintas agama di Poso menolak eksekusi itu. Sebab, jika eksekusi dilakukan, akan menutup upaya pengungkapan peristiwa dan dalang kerusuhan sebenarnya. Padahal, sistematisasi konflik di Poso terus berlanjut, disertai teror baik bom, penembakan misterius, dan pemenggalan kepala yang dilakukan orang terlatih. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan dugaan adanya aparat yang terlibat.

Bukan rahasia lagi jika konflik di Poso telah menjadi proyek kekerasan yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Menurut M Ichsan Loulemba, anggota DPD Poso, ketidakmampuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso menyelesaikan konflik disebabkan kentalnya kepentingan ekonomi dan politik pejabat di Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso, termasuk pejabat di sektor keamanan (Kompas, 12/1/ 2005).

Tiga alasan menolak

Ada tiga alasan penolakan penerapan hukuman mati di Indonesia. Pertama, dari efektivitasnya, hukuman mati yang diharapkan memberi efek jera akan mengurangi angka kejahatan. Alasan pemerintah ini patut dipertanyakan sebab kenyataannya penerapan hukuman mati tidak berbanding lurus dengan naik atau turunnya tingkat kejahatan. Ilusi bahwa tujuan hukuman untuk mengurangi kejahatan harus dibuang jauh karena naik-turunnya kejahatan tidak dipengaruhi besarnya hukuman yang diberikan.

Secara sosiologis, sumber utama kejahatan dan kriminalitas adalah kemiskinan, ketidakadilan, dan hubungan timbal balik antara penguasa dan preman/kriminal (Nico S Nordhold, Order Zonder Order, 2003).

Kedua, pada prinsipnya, keputusan hakim dalam memutus salah-benarnya seseorang sebenarnya bersifat relatif. Tak ada hakim yang dapat memutuskan bahwa keputusannya dalam menghukum seseorang mutlak 100 persen benar atau seratus persen salah. Sebab, keberadaan hakim hanya menafsirkan dan menyimpulkan atas suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang melanggar dari norma-norma hukum yang ada. Dalam posisi itu, penafsiran, kesimpulan, dan keputusan hakim memiliki kecenderungan salah. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tidak dapat memperbaiki keputusan hakim yang salah.

Ketiga, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Hukum HAM internasional secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang pada tahun 2005 telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Lebih dari itu, kebijakan itu jelas kontras dan bertentangan dengan semangat dalam Amandemen UUD 45 yang berusaha menjamin dan menjunjung tinggi hak untuk hidup sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 Ayat I Huruf I UUD 45.

Peninjauan kembali terhadap grasi ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yang ditolak Presiden Yudhoyono tampaknya menjadi langkah bijak dan benar. Kita membutuhkan sanksi hukuman yang tegas dan tidak pilih kasih terhadap pelaku kejahatan, tetapi kita tidak membutuhkan sanksi hukum yang kejam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan konstitusi yang merupakan norma hukum tertinggi.

Al araf Koordinator Peneliti Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home