| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, April 24, 2006,11:51 AM

APS: Asal Presiden (Publik) Sadar

EFFENDI GAZALI

Benar kata Graber dan Smith (Journal of Communication, 2005), minat ilmuwan komunikasi politik terhadap riset retorika pemimpin politik yang sempat menurun dalam dekade terakhir kini pantas betul mendapat kebangkitan! Salah satu buktinya dalam konteks Indonesia adalah "heboh pembatalan" penerimaan beberapa tokoh di Istana Presiden.

Terdapat empat analisis komunikasi politik dalam kasus tersebut. Satu, apakah para pemohon pertemuan itu tergolong pemimpin penting dalam realitas politik mutakhir?

Cara mengukurnya sederhana, apakah wacana yang mereka lontarkan selama ini mampu menjadi stimulus politik yang kuat (atau tidak), mudah tersebar luas, serta apakah para elite dan khalayak massa umumnya memberi perhatian yang luas. Jawabnya jelas, Amien Rais, Wiranto, dan Try Sutrisno pasti tergolong pemimpin politik penting dalam konteks komunikasi politik.

Dua, retorika politik di masa lalu—menurut Graber—memang lebih banyak dipelajari sebagai refleksi pemikiran dan niat (ini masalah ketiga) dari pemimpin politik. Menurut Amien, "Kami datang bukan APS, asal presiden senang, tetapi asal presiden sadar, bahwa banyak masalah serius yang sudah mengingkari prinsip kebangsaan, terutama kedaulatan ekonomi yang tergadaikan, mulai dari Freeport, Newmont, dan Blok Cepu apalagi. Satu setengah tahun ini pengangguran makin meluas, harga makin membubung, dan rakyat di bawah semakin sulit." Jika direnungkan dengan jujur oleh warga mana pun yang cinta Indonesia sekaligus cinta presidennya, substansi pemikiran ini pastilah signifikan!

Tiga, masalah niat. Segera ada yang menuding Amien Rais sengaja memanfaatkan momentum itu untuk menaikkan lagi popularitasnya, atau niatnya menuju kursi RI 1 tahun 2009. Ada juga yang menyatakan niat Amien dan kawan-kawan baik, cuma akhirnya mereka bicara pada publik dan pers karena mutung.

APS lain

Dalam komunikasi politik yang amat menekankan isi pesan (dan bukan bungkusnya seperti pada political marketing), jika substansinya sudah benar, bagaimana mengolah selanjutnya relatif sah-sah saja! Ibaratnya, Anda menemukan gejala suatu penyakit baru dalam kedokteran. Bahwa kemudian Anda dipromosikan jadi profesor di sebuah pusat riset terkenal, penerima Nobel, atau diminta berbicara di banyak televisi, itu konsekuensi logisnya. Bahwa banyak yang merasakan hal yang sama (tentang substansi pesan) malah menjadi nilai tambah dan makin membuat menonjol kelompok yang berani serta bersegera mengingatkan agar segera terkuak gaya-gaya APS di istana!

Empat, Graber kemudian sangat menekankan analisis aliran pesan yang dapat menjelaskan pembuatan keputusan para elite. Aliran pesan yang kita dengar dari istana ternyata bervariasi. Andi Mallarangeng mengatakan tidak pernah tahu ada jadwal pertemuan itu, begitu juga pembatalannya. Berlawanan dengan itu, Sudi Silalahi mengatakan memang sudah mereka-reka untuk mengatur pertemuan, namun belum pernah menjanjikan tanggal tertentu. Yang paling tajam dan bikin lebih heboh adalah ungkapannya, "Pak Amien kok fitnah karena tidak ada kami menolak beliau-beliau masuk ke istana."

Pernyataan relatif defensif ini terasa kurang pas. Publik masih memiliki kesan kuat bahwa istana dengan mudah didatangi debitor BLBI, lalu ada masalah laptop dan uang hilang, sebagai tambahan terhadap kesan ketidakjelasan peran antara Mensekneg dan Mensekab. Jawaban paling elegan kira-kira: "Mungkin ini masalah miskomunikasi saja. Padahal, Presiden pun sudah ingin segera bertemu dengan tokoh-tokoh nasional kita itu. Segera dalam waktu dekat kita cari bersama waktu yang pas di antara kesibukan presiden dan tokoh-tokoh kita tersebut!" Dengan itu, mestinya masalah selesai dan semua pihak relatif mendapatkan kemenangannya dalam retorika komunikasi politik.

Bagaimanapun, ada hal positif yang bisa kita petik dari kasus APS Amien Rais ini. APS lain bisa terbaca "asal publik sadar" (mengenai substansi pesan tergadainya martabat bangsa dan susahnya rakyat kecil, jadi bukan cuma soal bungkus kehebohan kasus ini), serta "asal penasihat presiden sadar" bahwa ada kebutuhan peningkatan komunikasi politik di lingkaran mereka. Selamat bekerja!

EFFENDI GAZALI Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Penasihat Presiden di Program TV "Republik BBM"

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home