| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, February 24, 2006,2:58 PM

Majal

ALFONS TARYADI

Seorang keponakan saya--panggil saja Yeye--meski baru berumur 13 tahun sudah senang menulis novel. Dalam dua tahun terakhir ini beberapa kali ia minta saya membaca naskah novelnya.Tanggapan atas karya tulisnya saya sampaikan lisan maupun tertulis. Ia selalu tanggap terhadap komentar saya, baik yang apresiatif maupun yang menunjukkan kelemahan karyanya. Novelnya yang kedua dalam pandangan saya cukup mengasyikkan meski memang masih perlu diperbaiki di sana-sini. Semua kritik dan saran saya ia terima dengan senang hati, kecuali satu hal: usul saya agar judul dalam bahasa Inggris diganti dalam bahasa Indonesia.

Dengan sopan Yeye menyatakan kekhawatirannya, jangan-jangan novelnya tak akan dibaca oleh remaja sebayanya kalau diberi judul dalam bahasa Indonesia. Selama ini teman-teman di sekolahnya dengan lahap membaca habis novel yang judulnya tampil dalam bahasa Inggris dan enggan membaca novel berjudul dalam bahasa Indonesia. Rupanya Yeye diam-diam telah melakukan riset pasar. Seorang remaja lain yang novelnya sudah terbit dan laris manis, menurut Yeye, ternyata juga memasang judul novelnya dalam bahasa Inggris.

Pendapatnya itu tidak goyah sama sekali. Pun ketika saya membeberkan kecaman seorang pakar bahasa Indonesia, Prof Dr Anton M Moeliono, yang menyayangkan bahwa di Indonesia banyak pelaku bisnis tak punya ikatan emosional yang kuat pada bahasa Indonesia. Bahasa apa pun menjadi sekadar sarana promosi jualan. Padahal, menurut Anton, globalisasi di Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dan Korea tidak menyebabkan penginggrisan bahasa seperti di Indonesia (Kompas, 28/11/2005).

Dengan nada prihatin saya juga menceritakan kepada Yeye apa yang saya dengar dalam Seminar Penerjemahan Akademi Jakarta, 5 Desember 2005 di Jakarta. Pada akhir makalahnya (”Menerjemahkan, Masalah Pilihan”), Prof Dr Edi Sedyawati menyebutkan bahwa menurut data yang diungkapkan PT Gramedia Pustaka Utama, di antara sejumlah judul karya asli yang produk lokal antara Januari 2004 dan Oktober 2005 terdapat judul-judul berbunyi bahasa asing seperti Water for Life; Let's Go, Fatimah; Indiana Chronicle: Lipstick; Indiana Chronicle: Blues; Single Mom’s Day Out; dan Quarter Life Fear.

”Sudah tentu hal itu menyulut tanda tanya besar: ini memang mau 'go international' atau suatu penyamaran diri seolah-olah bikinan luar negeri, dan dengan demikian berharap karyanya akan lebih laku di pasar? Kiranya kepercayaan diri bangsa masih selalu perlu ditumbuhkan melalui eksposisi dan penghayatan yang memadai dari unsur-unsur kebudayaan Indonesia sendiri,” kata Edi.

Tentu saja dengan mengutip komentar dua orang profesor tentang situasi bahasa nasional kita dewasa ini, saya tidak berani berharap bahwa keponakan saya itu begitu saja akan berbalik menjadi pembela bahasa Indonesia yang getol. Dalam pembicaraan lebih lanjut, saya menyatakan terserah padanya untuk tetap berkukuh menjuduli novelnya dengan sebuah kata bahasa Inggris. Hanya saja, saya mengharapkan suatu hari kelak ia tergerak ikut peduli nasib bahasa Indonesia.

Jadi, saya gagal meyakinkan Yeye bahwa nilai sebuah karya tulis dalam bahasa Indonesia tak perlu dikatrol dengan judul dalam Inggris. Menghadapi kekukuhan tekad Yeye melayani apa yang ia anggap sebagai pasar novel teenlit, seluruh argumentasi saya terasa majal. Karena itu, saya lalu mengalihkan sasaran saran saya. Jika ia ngotot ingin menggunakan bahasa Inggris dalam judul maupun dalam dialog di sana-sini, silakan. Hanya saya mengingatkan agar ia menggunakannya dengan benar.

Ini perlu saya tekankan sebab kini masyarakat kita terbiasa berbahasa secara ceroboh, termasuk dalam berbahasa Inggris. Beberapa contoh. Di wilayah Jakarta Timur sebuah toko buah memasang papan promosi dengan teks berbunyi ”….Product Produce by Nature”. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah panti pijat yang di sebuah dindingnya terpampang poster bertuliskan ”...healt center”. Sebuah maskapai penerbangan berpromosi dengan ungkapan ”Fly is cheap”. Dalam Kompas, 16 Juni 2005 terbaca sebuah iklan berbunyi: Seminar ”First Step to be an Entrepreneurship”. Baru-baru ini beredar sebuah buku berjudul On Becoming A Personal Excellent.

Kabar gembira dalam kisah nyata ini: novel Yeye tadi ternyata diterima untuk diterbitkan oleh sebuah penerbit buku terkemuka di Jakarta. Tentu saja judulnya tetap dalam bahasa Inggris. Yah, kecil-kecil Yeye sudah belajar tunduk pada kemauan pasar. Mungkinkah ini penerapan keyakinan seorang pakar manajemen, Mike Kami, yang mengajarkan bahwa pasar kita temukan, bukan kita ciptakan.

Namun, Dr Karlina Supelli dalam Seminar Kebudayaan Akademi Jakarta, Desember 2005, menangapi bahwa ajaran semacam itu merupakan bagian cuciotak kapitalisme untuk mendominasi pasar. Kita semua, katanya, wajib melawan penindasan tersebut lewat upaya pendidikan yang berkesinambungan, termasuk membangun kepercayaan dan harga diri kita sebagai bangsa.

Penulis Seorang Pengamat Bahasa

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home