| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 07, 2006,11:05 AM

Nuklir, Terorisme, dan Pelindung Dunia

Mochtar W Oetomo

Meski berbagai upaya terus diupayakan Iran dan Rusia guna mengakhiri krisis isu nuklir Iran, agaknya Amerika Serikat belum mau surut untuk terus mem-blow up bahaya proyek pengembangan nuklir Iran.

Mengapa AS bersemangat membawa isu itu menjadi agenda resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB, bahkan menggembar-gemborkan ke seluruh dunia, tentang masa depan keamanan dunia pascapengembangan nuklir Iran?

AS adalah negara militer terbesar sehingga ia bisa mengklaim sebagai polisi dan pelindung dunia. Namun, kedigdayaannya sebenarnya bukan terletak pada wujud fisik kekuatan militer, tetapi pada kekuatan citra yang ada di baliknya. Citra itu diciptakan guna melegitimasi klaim, AS adalah pelindung dunia yang bisa menjamin rasa aman penduduk dunia. Untuk itu, AS perlu menciptakan keadaan darurat yang permanen melalui isu-isu terorisme dan pengembangan senjata pembunuh massal (biologi dan nuklir) beserta proyek pemberantasannya. Dengan begitu, menjadi perlu ada lembaga militer yang kuat (AS) untuk melaksanakan proyek tersebut.

Atas logika itu, menjadi sah jika AS mengembangkan senjata nuklir, sarana pelindung dunia. Sebaliknya, jika negara lain (Irak, Korea Utara, Libya, dan kini Iran) mengembangkan nuklir, itu adalah sebuah kejahatan. Dengan isu terorisme yang terus didengungkan melalui jaringan media internasional, kebutuhan rasa aman justru diciptakan AS demi legitimasinya sebagai pelindung dunia. Ketika segala wacana dan berita tentang ancaman terorisme global mencendawan dan menjadi komoditas berita, perasaan umum akan ketidakamanan menggiring pada bentuk baru konsumsi khalayak dunia, yakni konsumsi perlindungan.

Simulasi ancaman

Untuk menciptakan kebutuhan akan rasa aman dan stabilitas, diciptakan simulasi aneka ancaman bagi keamanan dan stabilitas dunia. Diciptakan satu realitas media (simulacrum) seolah dunia benar-benar mendapat ancaman serius dari terorisme yang dilakukan Islam radikal. Kelompok ini dari negara-negara Irak, Palestina, Afganistan, Sudan, Libya, dan Iran beserta jaringannya, terutama dari Osama bin Laden, dan kini Ahmadinejad (Presiden Iran).

Diciptakan pula aneka ketakutan akan ancaman pengembangan senjata pembunuh massal dari negara-negara itu. Maka, menjadi sah jika perlu mendapat penyelidikan dari tim inspeksi PBB atau sah jika harus diberangus dan dimusnahkan.

Semua konstruksi citra itu dibangun melalui strategi komunikasi politik internasional yang hegemoni dan distribusinya disebarkan dengan apik oleh jaringan agensi berita besar dunia.

Logikanya, akan tumbuh konsumsi perlindungan di tengah khalayak dunia. Perlindungan pun akan menjadi semacam komoditas. Dan, karena komoditas perlu senjata, perlu militer yang kuat yang jika disalahgunakan bisa berbahaya, maka yang berhak memproduksi dan menjual komoditas itu hanya AS.

Dalam keadaan darurat permanen itu, diciptakan satu citra melalui berita, film, dokumen, dan tentu jaringan doktrin militer bahwa kekuatan bersenjata atau mesin perang AS adalah satu-satunya penjamin rasa aman bagi masyarakat dunia, bagi masyarakat Kurdi di Irak utara, bagi masyarakat Syiah di Irak selatan, bagi Kuwait, Jazirah Arab Islam pada umumnya.

Jadi, mesin-mesin perang bukan diarahkan kepada musuh dari luar, tetapi kepada musuh dari dalam Islam sendiri (Islam radikal-Al Qaeda). Dari jazirah Arab (Iran). Dan dari dalam Iran sendiri (Ahmadinejad).

Inilah salah satu cara manipulasi AS dalam menciptakan kebutuhan akan rasa aman dalam masyarakat dunia. Dalam banyak kasus, mesin perang AS kenyataannya bukan menciptakan rasa aman bagi penguasa, rasa aman bagi ”kelanggengan kekuasaan” AS di panggung politik dunia, rasa aman di kawasan teluk (minyak), rasa aman di kawasan Asia Tengah dan Selatan (ideologi dan senjata), di kawasan Asia Timur dan Tenggara (investasi dan ideologi), di kawasan Amerika Latin (bahan tambang dan senjata).

Kebutuhan kepastian

Namun, seperti kata Erich Fromm, selain memiliki kebutuhan akan rasa aman, manusia juga memiliki tuntutan besar terhadap kebutuhan akan kepastian. Segala cara akan ditempuh untuk mendapat rasa kepastian. Dalam konteks kepastian informasi, manusia cenderung mencari makna simbolik terdalam dari informasi guna mendapat kepastian itu. Dan, apa yang didapat khalayak dunia dari sebaran informasi yang didistribusikan media internasional selama ini bukannya memperkukuh kepastian akan rasa aman, justru kian mengikis kepastian itu.

Ini karena, pada kenyataannya, keamanan internasional kian sulit didapat, kian sulit dipastikan. Aksi separatisme di berbagai negara (termasuk di Indonesia) bukanya terkikis, sebaliknya, makin menjadi-jadi. Buntutnya aksi sandera dan terorisme kian menggejala dan variatif dalam bentuk gerakannya.

Aksi bom bunuh diri bukanya surut, malah berkembang. Sementara pengembangan senjata pembunuh massal seperti dituduhkan pada Irak dan Korea Utara bukannya menciut, justru kian meluas dan menguat eskalasinya ke berbagai belahan dunia, terbukti dengan keberanian Iran.

Politik komunikasi internasional AS telah melahirkan horror mundi, ketakutan dan kecemasan yang melanda dunia. Semua itu berlaku secara imajiner akibat distribusi informasi dan komunikasi politik AS yang hegemoni dan menderu tanpa henti.

Mochtar W Oetomo Dosen Fikom Unitomo Surabaya

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home