| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, March 07, 2006,11:01 AM

Dicari: Negarawan

Ini cerita tentang seorang teman saya sejak di masa mahasiswa, DAK, yang sebal setengah mati kepada politicking murahan di Jakarta. Ia adalah seorang pengusaha yang mendukung penuh keinginan Pulau Bali untuk merdeka.

Ia orang asal Sumatera yang telah 20 tahun membuka usaha di Bali. Seperti Anda tahu, hampir setiap warga Bali menentang keras pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

DAK menghidupi lebih dari 30 karyawan/karyawati asal Bali. Restoran dia yang terletak di pinggir Pantai Sanur sejak dulu selalu dipenuhi para turis dari luar negeri.

Aksi peledakan bom oleh para teroris yang terkutuk tahun 2003 dan 2005 telah membuat restorannya sepi. Kini RUU APP bisa membuat bisnis dia semakin merugi. Apa mungkin turis asing mau berenang dengan kaus dan sarung? tanya DAK.

Seorang teman, HM di Jakarta, berbisnis membuat majalah yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Sudah miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk mendirikan perusahaan, merekrut tenaga staf dan wartawan, serta membayar biaya cetak.

Kini ia tak bisa lagi menjual majalah yang terbit satu kali dalam sebulan itu. Jangan salah, ia mengerti pornografi wajib diberantas dan segera menyiapkan siasat baru agar majalahnya kembali dibaca para pelanggan.

Sekarang mau bisnis dengan benar saja malahan susah, kata HM yang bingung dengan konsep pornografi dan pornoaksi yang memang abu-abu menurut undang-undang dan sistem hukum kita.

Sebuah hal penting yang DAK dan HM tidak bisa mengerti. Kok tidak ada yang beres di negara kita yang katanya demokratis ini?

Demokrasi cuma sistemnya, bukan mekanismenya. Cabang-cabang kekuasaannya memang ada, tetapi tidak satu pun yang bekerja untuk rakyatnya.

Rakyat sebenarnya hidup sendirian saja. Setiap ada masalah, rakyat tak pernah tahu mau bertanya kepada siapa.

Tiba-tiba hati dan pikiran sebagian dari kita memang dirongrong oleh suatu perasaan dan fakta yang cukup aneh belakangan ini. Kita makin hari semakin merasa seperti orang yang indekosan, alias semakin merasa asing tinggal di negeri ini.

Dari hari ke hari hati kita selalu waswas dan kita semakin menjadi berhati-hati ketika membawa diri. Setiap kali kita dikejar-kejar ketakutan: awas ada gerakan antipornografi dan pornoaksi, awas bisa diperkosa di taksi, awas ada demonstrasi, awas ada sweeping di sana-sini.

Kita semakin ragu cita-cita kemerdekaan 1945 sudah benar-benar tercapai atau justru telah lama mati? Mungkin kita di Jakarta bilang cita-cita itu sudah terwujud. Sebaliknya, itu belum dirasakan orang-orang Papua dan warga Bali.

Kita juga bingung, kok Pancasila dan UUD 45 tidak supersakti seperti dulu kata para pendiri republik ini? Namun, para pendiri menjawab, Siapa suruh kamu bermain-main dengan politik aliran kanan atau kiri!

Kita juga bimbang setiap kali menyanyikan lagu Indonesia Raya. Soalnya kita tidak tahu lagi apakah yang benar adalah Indonesia tanah airku atau tanah airmu?

Soalnya banyak pejabat dan politisi kita lebih suka menjadi korban proses arabisasi. Sebagian lagi lebih suka kepada proses baratisasi, amerikanisasi, bahkan finlandisasi.

Kita tahu yang benar adalah premis tanah airku, tanah airmu, tanah air kita semua. Namun, semakin sedikit saja pemimpin kita yang berani bersikap sebagai patriot yang sejati.

Sebab itu, sering kita menyaksikan serbuan terhadap rumah atau tempat ibadah. Ironisnya, serbuan-serbuan itu dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sangat beribadah.

Para pendiri republik ini mengajarkan betapa besar dan kayanya Indonesia karena sangat beragam etnis dan agamanya, serta dikenal toleran sikapnya. Para pendiri Republik mewariskan kekayaan alam dan kita semua.

Para penerus Republik mengajarkan betapa kerdil dan miskinnya Indonesia karena bangsanya suka marah serta sempit wawasannya. Para penerus Republik tidak mewariskan apa-apa, kecuali menaikkan harga-harga.

Dulu para pemimpin kita kalau mau ngomong akan berpikir panjang. Sekarang pemimpin kalau bicara terkesan serba menggampangkan, benar atau salah itu urusan belakangan.

Kepemimpinan di masa kemerdekaan tidak pernah menjalankan agenda terselubung. Kepemimpinan masa pembangunan dan era reformasi suka membuat rakyat bingung.

Kepemimpinan di masa kemerdekaan dan pembangunan menempatkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya. Kepemimpinan di era reformasi lebih banyak berkutat pada upaya mempertahankan kekuasaan melalui berbagai cara.

Kepemimpinan di masa kemerdekaan menjalankan pola hidup sederhana. Para pemimpin pada masa pembangunan dan era reformasi menghidupkan sekaligus melestarikan budaya orang tertentu bebas berkeliaran masuk ke kantor dan rumah mereka.

Ketika hampir tumbang, Bung Karno dan Pak Harto tak mau melawan untuk menghindari perang saudara.

Kini para pemimpin terkesan membiarkan kita tawuran antarsesama saudara.

Presiden Soekarno menjadi pemimpin karena kebutuhan untuk segera mengisi kemerdekaan sekaligus meletakkan dasar-dasar kebangsaan. Kepemimpinan Presiden Soeharto teruji ketika ia memulai era pembangunan.

Terlepas dari kekurangan mereka, keduanya merupakan pemimpin yang berkelas negarawan. Andaikan mereka masih memimpin, pasti tidak akan ada yang berani sembarangan.

Kenegarawanan telah lama mati di negeri ini?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home