| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 08, 2006,2:50 PM

Minyak dan Kemakmuran Rakyat

Hayyan ul Haq

Tulisan Kwik Kian Gie, Blok Cepu dan Bangsa Mandiri (Kompas, 23/2/2006), mengindikasikan bahwa ada kepentingan asing yang mengintervensi pemerintah dalam menentukan dan mengelola masa depan bangsa.

Bagaimana mungkin negara yang kaya, merdeka, dan berdaulat tidak memiliki integritas dan kemampuan menata kehidupan sendiri. Padahal, organisme hidup, sekecil apa pun, berkemampuan self-organization dan self-protection (Maturana), yang membedakan dengan makhluk mati.

Kenyataan ini menggugah kita mempertanyakan kembali kemandirian dan cara atau dasar kebijakan pemerintah dalam mengapresiasi makna untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti diamanahkan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.

Dalam konteks berpikir hukum (juridische denken), ada dua elemen konstitutif yang perlu dielaborasi, antara lain status dan posisi hukum, serta kualitas hubungan hukum antara negara, pemerintah, rakyat (subyek hukum) dan kekayaan alam, yaitu Blok Cepu (obyek hukum).

Prinsip hukum

Secara teoretis, mengacu hierarki perundang-undangan (Hans Kelsen, 1970), status, posisi, dan hubungan hukum diatur norma yang tunduk pada prinsip hukum yang membadankan makna sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara konstitusional, frase untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan tujuan tertinggi dalam pemanfaatan kekayaan alam.

Ia dapat diartikan sebagai tiap upaya menyediakan kemanfaatan yang dapat diakses siapa pun secara seimbang. Jika frase itu dikaitkan tujuan hukum, ia dapat diinterpretasi sebagai upaya pemenuhan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat (Bentham dalam Postema, 2002).

Upaya pemenuhan kemanfaatan dapat diartikan sebagai upaya mewujudkan kebijakan yang patut dan didasari keabsahan hukum. Kepatutan dan keabsahan itu terkait kuat sekaligus dibuktikan dengan adanya keadilan (Radbruch).

Secara hukum, prinsip keadilan sosial merupakan pembadanan frase untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, menjadi basis dalam: (i) pemaknaan figur hukum, status dan posisi hukum dari negara, pemerintah dan masyarakat serta kekayaan alam; dan (ii) pemahaman nilai-nilai dasar yang ada pada hubungan hukum di antara subyek dan obyek hukum itu.

Status dan hubungan hukum

Secara eksplisit, sistem ketatanegaraan kita memosisikan negara sebagai lembaga yang memersonifikasikan eksistensi kedaulatan rakyat. Di dalamnya, ada pemerintah yang diberi amanah guna melayani dan melindungi aspirasi dan kepentingan rakyatnya. Berdasar prinsip keadilan sosial, dalam pemanfaatan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat di Indonesia, status dan posisi hukum negara bukan pemilik seperti dalam domein verklaring (Notonagoro, 1984), tetapi pelayan yang mendistribusikan sumber daya kolektif bagi rakyat secara adil.

Adalah logis jika kepentingan rakyat didahulukan. Salah satu indikator utama yang digunakan untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat diperhatikan dalam konteks hubungan hukum dengan pemerintah adalah terbadankannya prinsip keadilan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan: (i) memenuhi hak-hak masyarakat (Wilhelm Aubert, 1986); dan (ii) mengintegrasikan fakta ekonomi untuk menciptakan keadilan (Tuebner, 1986).

Sayang, fakta tentang kronologi perundingan yang diuraikan Kwik Kian Gie menunjukkan seolah pemerintah memosisikan dirinya sebagai pemilik, bukan pelayan rakyat. Apalagi saat mencermati uraian Kwik tentang model pengelolaan Blok Cepu yang sebenarnya amat elementer. Siapa pun tahu, akan lebih baik dan patut jika kita mengelola potensi dengan kekuatan sendiri, apalagi kita memiliki kemampuan sumber daya dan solusi teknis finansial seperti dikemukakan Kwik (Kompas, 23/2/2006).

Dalam konteks pengelolaan Blok Cepu yang sarat intervensi asing, tampaknya pemerintah gagal mengintegrasikan fakta ekonomi itu ke dalam prinsip keadilan, kepatutan, dan kemandirian. Hal ini dapat berdampak pada kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak rakyatnya untuk mendapatkan kemakmuran. Jika ini terjadi, secara normatif, pemerintah dapat kehilangan integritas, status, dan posisi hukum sebagai pengemban amanah rakyat (pelayan kepentingan masyarakat) karena kehilangan kepercayaan. Hal ini tentu dapat mengganggu kualitas hubungan antara pemerintah (penerima amanah) dan rakyat (pemberi amanah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam pengelolaan kekayaan alam.

Perlu digarisbawahi, frase untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah tujuan dan kepentingan rakyat. Untuk itu, pemanfaatan kekayaan alam harus dikelola dengan cara yang adil dan patut (reasonable), mencakup unsur efisiensi, efektivitas, dan masuk akal (John Rawls, 1999) bagi penciptaan kemakmuran rakyat. Sifat kepatutan ini adalah absolut.

Mengingat makna dan ruang lingkup kepatutan ini luas dan cenderung abstrak (open norm), ia harus dielaborasi dan dibadankan ke dalam kebijakan dan produk-produk hukum. Agar dapat dilaksanakan secara fair, ia harus jelas. Guna menjamin transparansi sekaligus menghindari prasangka, spekulasi, dan kecerobohan dalam pengelolaan potensi dan aset kolektif, maka semua produk hukum, baik legislatif maupun eksekutif, termasuk kontrak-kontrak yang telah dibuat, harus diuji dan dibuktikan secara hukum.

Dengan demikian, masih terbuka peluang bagi masyarakat untuk mengawasi dan menguji melalui jalur pengadilan, apakah seluruh perundingan dan kontrak dalam pemanfaatan kekayaan alam, tidak hanya kasus Blok Cepu, sudah didasarkan atas kepatutan atau tidak. Pembuktian ini penting guna memastikan apakah pemerintah masih memiliki integritas, kredibilitas, dan kepekaan dalam mengemban amanah kolektif menuju sebesar-besar kemakmuran rakyat atau tidak.

Hayyan ul Haq Pengajar FH Unram, Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Utrecht University

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home