| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 23, 2006,1:11 PM

Hegemoni Adidaya

Wiranto

Alkisah, pada suatu masa di negeri antah berantah, seorang kakek berkisah kepada cucunya, dulu ada negeri bernama Indonesia yang karena kebodohan dalam mengelola kemerdekaan yang diwarisinya, negeri itu kini punah, tinggal kenangan.

Kisah itu menjadi bayangan menakutkan jika melihat realitas Indonesia saat ini. Bisa jadi kisah itu bukan kisah fiksi dan suatu saat menjadi kenyataan.

Kini berbagai kalangan di Indonesia sedang cemas kalau saja nasib negeri ini di masa datang akan kian terpuruk, tergantung dan tercengkeram pihak asing, khususnya jika dikaitkan dengan fenomena ”hegemoni adidaya” pasca-Perang Dingin.

Hegemoni adidaya

Secara naluriah, sejak dulu, berbagai bangsa di dunia bernafsu saling menguasai bangsa lain agar mendapat sumber daya untuk mempertahankan kelangsungan kekuasaan dan kesejahteraan. Hegemoni muncul setelah terjadi penguasaan satu kelompok atas kelompok lain dengan atau tanpa kekerasan. Di masa lalu, penguasaan ditempuh dengan invasi militer.

Meski kondisinya menipis, kebutuhan akan sumber daya alam terus meningkat. Maka, dapat dipahami jika praktik intervensi satu negara atas negara lain masih terus terjadi.

Selain untuk mewujudkan kondisi geopolitik yang menguntungkan, intervensi juga untuk kepentingan ”pengisapan” sumber daya alam. Hanya saja, caranya lebih canggih, tidak lagi menggunakan pendekatan militer, tetapi lebih menggunakan front multidimensional (ideologi, politik ekonomi, dan budaya) yang memanfaatkan kemajuan teknologi, serta konsep manajemen yang canggih.

Ibaratnya kini, armada-armada tempur digantikan lembaga-lembaga internasional yang amat berpengaruh (IMF, Bank Dunia, WTO, CGI, dan sebagainya). Divisi-divisi tempur diganti perusahaan raksasa transnasional (Freeport, ExxonMobil, Newmont, dan sebagainya).

Amunisi dan peluru diganti mata uang dan surat-surat berharga yang dikendalikan dengan amat piawai. Kegiatan intelijen tak lagi terbatas mengetahui kegiatan lawan, tetapi dirancang untuk menciptakan kekacauan dan melumpuhkan sistem pertahanan suatu negara agar memiliki ketergantungan kepada negara adidaya.

Tembakan meriam dan peluru kendali digantikan oleh pengiriman bantuan yang mengikat, ideologi, dan budaya baru yang membingungkan generasi muda, serta menciptakan LSM-LSM dan birokrasi yang tunduk kepada kemauan negara adidaya.

Jika semua itu berhasil dilakukan, sebenarnya negara adidaya telah membangun ”hegemoni” terhadap negara sasaran.

Dengan mencandra berbagai peristiwa penting pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, antara lain dengan terjadinya penyerangan Gedung WTC di AS (peristiwa 9/11), merebaknya berbagai terorisme internasional, hingga adanya pengakuan mata-mata AS John Perkins dalam buku The Confessions of an Economic Hitman, kian menambah kewaspadaan atas masa depan kedaulatan negara kita.

Bukan rahasia lagi, pasca-Perang Dingin, AS tetap ingin memantapkan diri sebagai pemegang hegemoni dunia. Dalam konteks ini, tesis Huntington, Clash of Civilization, yang semula hanya merupakan kajian ilmiah, dalam perkembangannya berubah menjadi ”dogma” yang ”diakui kebenarannya”. Dogma Clash of Civilization pun dipakai sebagai ”instrumen” dalam menginvasi negara lain yang dianggap ”musuh”.

Posisi Indonesia

Jika kita berani jujur, sebenarnya Indonesia telah masuk penguasaan hegemoni adidaya dan percaturan dogma Clash of Civilization. Daftar pertanyaan amat sederhana ini dapat menjadi indikator posisi kita. Jawaban yang lebih banyak ”ya” daripada ”tidak” berarti Indonesia bebas dari hegemoni adidaya, atau sebaliknya.

Daftar pertanyaan itu: (1) Apakah sebagai negara bangsa, Pancasila sebagai ideologi bangsa masih dipahami dan dibanggakan oleh generasi mudanya?; (2) Apakah semangat nasionalisme di antara rakyat masih dapat dipertahankan?; (3) Apakah demokrasi yang dikembangkan sudah sesuai jati diri bangsa dan dipahami oleh seluruh rakyatnya?; (4) Apakah Indonesia telah mampu membayar utang-utangnya tanpa mengganggu usaha menyejahterakan rakyat?; (5) Apakah perusahaan besar yang menguasai hajat hidup rakyat dikuasai modal dalam negeri?; (6) Apakah sebagai negara agraris kita telah mampu berswasembada pangan?; (7) Apakah masyarakat Islam yang menjadi mayoritas penduduk mampu bersatu mewarnai kebersamaan untuk menolak hegemoni?; (8) Apakah pemerintah yang mewakili rakyat Indonesia berani menentang keputusan IMF?; dan (9) Apakah militer kita masih diperhitungkan sebagai kekuatan andal di Asia Tenggara?

Di tengah bayang-bayang hegemoni adidaya, ada dua pilihan. Pertama, menyerah dan menggadaikan masa depan bangsa kepada pihak asing tanpa dapat menentukan nasib sendiri. Menyedihkan. Namun, pilihan ini tak merepotkan, utamanya bagi para tokoh bangsa yang saat ini sedang dipercaya rakyat untuk melanggengkan kekuasaannya memimpin Indonesia.

Kedua, bangkit sebagai bangsa penuh harga diri dan martabat yang memiliki masa depan lebih baik untuk generasi berikutnya. Pilihan ini tidak mudah sebab mempersyaratkan keberanian, kebersamaan, semangat pantang menyerah, dan ”berani menderita” dari seluruh rakyatnya. Yang lebih penting lagi, dibutuhkan keberanian para pemimpinnya untuk keluar dari ”ketertindasan”, dengan risiko paling buruk sekalipun.

Akan banyak orang meragukan, mungkinkah pilihan kedua itu dapat dilakukan. Namun, mari lihat Vietnam. Negeri yang baru lepas dari perang puluhan tahun dan meluluhlantakkan sendi- sendi nasionalnya itu dalam waktu singkat telah berkembang secara spektakuler. Lihat pula Malaysia. Keteguhannya melawan cengkeraman hegemoni adidaya telah mampu membawa bangsanya terhindar dari nasib seperti Indonesia. Pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikannya nanti.

JENDERAL TNI (PURN) WIRANTO Dewan Eksekutif IDe Indonesia (Institute for Democracy of Indonesia)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home