| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, March 08, 2006,2:58 PM

Blok Cepu dan Nasionalisme

Kurtubi

Atas nama nasionalisme maupun manfaat ekonomi yang akan diperoleh rakyat, kandungan migas di Nusantara, termasuk Blok Cepu, seharusnya dikuasai, dimiliki, dan diatur negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi.

Untuk itu, negara perlu mempunyai badan usaha khusus. Pasalnya, mustahil bagi badan/institusi pemerintah (presiden, menteri, gubernur, bupati, dan lainnya) mencari cadangan migas (eksplorasi), eksploitasi, pengilangan, dan pemasaran sendiri.

Maka, Bung Hatta, konseptor Pasal 33 UUD 1945 dalam kedudukannya sebagai Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi yang diketuai Mr Wilopo, pada awal Orde Baru, menyarankan agar PN Pertamina yang merupakan merger tiga BUMN dibentuk berdasarkan UU Khusus. Maka, muncul UU No 8/1971 (UU Pertamina) di mana negara memberi kuasa pertambangan kepada Pertamina, mencakup usaha eksplorasi (pencarian cadangan migas baru), eksploitasi (produksi), pemurnian (pengolahan BBM), pengangkutan, dan pemasaran.

Mengingat eksplorasi merupakan kegiatan penuh risiko dan bermodal besar, UU No 8/1971 memberi hak kepada Pertamina untuk mengadakan kerja sama dengan investor minyak asing dalam bentuk kontrak production sharing (KPS). Amat tidak bijaksana jika seluruh biaya eksplorasi dibiayai negara (Pertamina) meski yang melakukan eksplorasi migas adalah Pertamina. Maka, muncul investor sebagai kontraktornya Pertamina.

Setelah diproduksi, sebagian merupakan hak investor (KPS) dan sebagian lagi hak negara, yang kemudian diekspor atau diolah menjadi BBM oleh Pertamina untuk kebutuhan rakyat.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, UU No 8/1971 dicabut, diganti UU Migas No 22/2001 sehingga pola pengelolaan dan penguasaan negara atas kekayaan alam migas dan produk BBM berubah secara drastis.

Pertamina tidak lagi sebagai pemegang kuasa tunggal pertambangan migas di Indonesia dan tidak lagi berhak mengontrol para kontraktor KPS-nya. Kini status Perusahaan Minyak Nasional, yang pernah menjadi kiblat dan acuan banyak negara penghasil minyak dalam mengembangkan sumber daya migas termasuk Petronas Malaysia, PDVSA Venezuela telah didegradasi menjadi PT (perseroan) biasa, sederajat dengan semua KPS bekas kontraktornya.

Pertamina dijual

Akibat perubahan itu, kini sewaktu-waktu Pertamina dapat dijual dan dimiliki siapa saja (swasta). Bahkan pada masa kepemimpinan Baihaki Hakim, secara jelas roadmap Pertamina diarahkan untuk dijual. Dengan demikian, atas dasar UU Migas, kini negara sebenarnya tidak lagi memiliki prasarana/alat (berupa badan usaha) untuk menguasai dan memiliki sumber daya migas dan produk BBM yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pertamina tidak lebih dari PT-PT lain di Indonesia ini. Jika shareholder Pertamina (pemerintah) suatu saat memutuskan untuk menjual Pertamina, seperti Indosat, itu sah dan tidak melanggar UU.

Menurut anggaran pendiriannya, PT Pertamina sewaktu-waktu dapat dijual kepada siapa pun (juga bisa dijual kepada ExxonMobil, dengan siapa Pertamina berebut operatorship di Blok Cepu). Maka, pengaitan nasionalisme dengan upaya agar Pertamina menguasai dan menjadi operator tunggal Blok Cepu menjadi tidak relevan. Soalnya, kini Pertamina bukan lagi seperti Pertamina yang diinginkan Bung Hatta melalui UU No 8/1971.

Penghasilan menurun

Perebutan operatorship di Blok Cepu nothing to do with nasionalisme. Operatorship di Blok Cepu semata-mata terkait dengan otoritas pengeluaran biaya yang semuanya akan dibayar negara melalui mekanisme cost recovery. Siapa pun operatornya, persentase pembagian hasil yang sudah disepakati saat ini (85 persen pemerintah, Pertamina dan ExxonMobil masing-masing memperoleh 6,75 persen dan pemerintah daerah 1,5 persen) tidak akan berubah.

Harus diakui, dengan UU Migas, perolehan Pertamina dari Blok Cepu menurun dari sekitar 20 persen menjadi sekitar 7 persen (sebelum FTP). Namun, hal ini diimbangi peningkatan bagian pemerintah dari 60 persen menjadi 85 persen dan pemda dari 0 persen menjadi 10 persen.

Siapa pun operatornya, peluang mark up dan KKN selalu ada. Jadi, yang terpenting di sini adalah bagaimana agar biaya yang dikeluarkan tidak di-mark up dengan membuat system cost recovery yang transparan, di mana kedua pihak dapat saling mengontrol dan cross check. Ini merupakan tugas BP Migas, bukan Pertamina.

Jika seandainya Pertamina dan ExxonMobil masing-masing bersikeras menjadi operator atas Blok Cepu, sampai kapan pun lapangan minyak ini tidak akan pernah bisa diproduksi sehingga tidak akan pernah bisa memberi manfaat bagi rakyat.

Sayang jika itu yang terjadi. Pemerintah yang akan mendapat bagian terbesar dari produksi Blok Cepu akan gigit jari. Rakyat sekitar yang memimpikan akan memperoleh pekerjaan dan limpahan rezeki hanya akan berhenti sebatas mimpi.

Saling menguntungkan

Sudah saatnya pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan mengambil keputusan tegas dengan mempertimbangkan kepentingan negara yang lebih besar. Misalnya dengan mengambil jalan win-win solution melalui kemitraan yang saling menguntungkan, Pertamina atau ExxonMobil dapat ditunjuk lebih dulu mengepalai operatorship dan pihak lain menjadi wakil untuk periode tertentu, lalu digilir untuk periode berikut.

Sekaligus, misalnya, ExxonMobil diminta ikut membiayai kilang minyak yang akan mengolah minyak mentah Blok Cepu. Pertamina bisa juga menjadi offtaker dari BBM yang dihasilkan.

Dengan demikian, kemitraan atau aliansi antara Pertamina dan ExxonMobil tidak hanya menyangkut sisi hulu di Blok Cepu, tetapi juga hilir. Bahkan, jika perlu, Pertamina dapat menangkap tawaran ExxonMobil yang mengajaknya berpartisipasi di lapangan-lapangan minyak ExxonMobil di luar Indonesia.

Di kalangan industri minyak dunia, sudah amat lazim perusahaan-perusahaan melakukan aliansi untuk keuntungan kedua belah pihak.

Kurtubi Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home