| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, September 07, 2006,1:40 PM

Mengurai Polemik Kemiskinan

Iman Sugema

Jumat (1/9) pekan lalu merupakan hari yang paling menyedihkan bagi saya dan teman-teman di Tim Indonesia Bangkit. Pasalnya, prediksi kami benar, yaitu telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin di tahun 2005-2006. Hal tersebut telah dikonfirmasi oleh Badan Pusat Statistik atau BPS yang menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di bulan Maret 2006 telah menjadi 17,75 persen, yang lebih tinggi dibandingkan 13 bulan sebelumnya, yakni 15,97 persen.

Kenaikan angka kemiskinan dalam setahun terakhir merupakan kejadian luar biasa karena berlawanan dengan tren sebelumnya. Selama tujuh tahun berturut-turut dari tahun 1998 ke tahun 2005, tingkat kemiskinan berhasil turun.

Hati kami mendung karena beban bangsa ini menjadi semakin berat. Sekadar meratapi dan mewacanakan kemiskinan sama sekali tidak akan menolong saudara-saudara kita yang berkubang dalam lumpur kemiskinan yang lebih pedih dibandingkan dengan lumpur Lapindo. Lantas apa yang harus kita perbuat?

Jangan ulangi kesalahan

Pertama, tentunya pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Syarat utama untuk hal ini adalah meyakini bahwa meningkatnya angka kemiskinan adalah produk dari kebijakan pemerintah, yakni kenaikan harga BBM yang overdosis, program kompensasi yang tidak memadai, ketidakberhasilan dalam melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok, dan masalah kualitas pertumbuhan ekonomi. Sudah banyak yang membahas masalah ini, sekarang kita tinggal mengambil hikmahnya.

Intinya, kalau kita tidak bisa menciptakan pertumbuhan yang disertai pemerataan dan sementara program kompensasi tak bisa sepenuhnya kita sediakan, jalan terbaik untuk menghindari kemiskinan adalah jangan sekali-kali menciptakan inflasi yang melebihi batas kemampuan masyarakat bawah untuk menanggungnya. Sebesar 20 persen populasi yang berada di atas garis kemiskinan adalah mereka yang sangat rentan terhadap gejolak harga. Mereka adalah kelompok pekerja yang berpenghasilan tidak menentu dan petani gurem. Mereka hanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas untuk memperbaiki penghidupan dan karena itu daya beli mereka sangat sensitif terhadap inflasi. Sekali lagi, jangan ciptakan inflasi yang berlebihan.

Akan tetapi, terkadang untuk tidak mengulangi kesalahan adalah sebuah pekerjaan yang sulit karena harus diawali dengan kesadaran bahwa memang telah terjadi kesalahan. Sebagai contoh, dalam sebuah sidang kabinet dua minggu yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono betul-betul marah dan merasa dipojokkan atas data yang dilaporkan dalam pidato 16 Agustus. Marah karena tidak pernah satu menteri pun yang melaporkan data kemiskinan yang sebenarnya, dan merasa dipojokkan karena para menteri yang dianggap kompeten tidak melakukan pembelaan di hadapan publik.

Dalam sidang kabinet tersebut setidaknya ada dua menteri yang terus-terusan bertahan bahwa angka kemiskinan memang turun. Mereka sejak awal telah membentuk sebuah tim pakar untuk "mengawal" data kemiskinan, pertumbuhan, inflasi, dan pengangguran supaya tampak lebih kinclong. Intinya, ada upaya sistematis untuk menutupi kesalahan dengan kesalahan berikutnya. Beruntung pada sidang itu, Kepala BPS menyatakan bahwa tingkat kemiskinan memang naik sehingga kemudian Presiden memerintahkan untuk memublikasikan apa adanya. Bahkan, sesudah itu pun masih ada operasi bawah tanah untuk memengaruhi staf BPS melalui jaringan intelektual ’partikelir’. Karena upaya mereka di BPS menemui hambatan, dua ahli soal kemiskinan dari negeri Paman Sam yang dibiayai oleh lembaga donor tertentu akan didatangkan. Kita ucapkan selamat datang kepada para economic hit man.

Resep konvensional

Kedua, harus ada langkah komprehensif dan sistematis dalam jangka panjang dan jangka pendek untuk mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan pengalaman, pengurangan angka kemiskinan paling banter hanya 1,2 persen per tahun. Itu karena program yang dilakukan hanya mengikuti resep konvensional dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi semata. Tak ada yang salah dengan pertumbuhan ekonomi kalau saja dibarengi dengan pemerataan dan penciptaan lapangan kerja.

Laju penurunan angka kemiskinan seperti di atas tentunya akan terasa sangat lamban dan tidak bisa dipakai sebagai strategi untuk memenuhi janji kampanye Presiden dan Wapres. Dengan demikian, harus ada perubahan strategi yang sangat mendasar, yaitu strategi pembangunan yang langsung menyentuh pada akar masalahnya, yakni kemiskinan dan pengangguran.

Pada intinya, kita ingin melihat bahwa strategi pro-poor, pro-employment, dan pro-growth diimplementasikan secara terintegrasi, tidak diterjemahkan secara terpisah. Contoh riilnya adalah pembangunan infrastruktur berupa megaproyek jalan tol. Kalau kita hanya mengejar pertumbuhan semata, sah saja untuk membangun jalan tol dengan memakai mesin. Namun, karena kita ingin menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, bisa saja dipersyaratkan untuk memakai teknologi padat karya walaupun jangka waktu pengerjaannya lebih lama.

Sekarang pun sebetulnya pemerintah sedang menggodok konsep pengembangan biofuel. Kalau ingin gampang, kita undang investor besar untuk membangun lima juta hektar sawit dan jarak melalui beragam insentif dan fasilitas kemudahan. Namun, kalau kita ingin agar pemerataan juga terjadi, mungkin pola perkebunan inti rakyat menjadi pilihan yang baik.

Akhir kata, kemiskinan telah terjadi dan mari kita menatap ke depan dengan mengubah strategi pembangunan. Guru saya bilang, poor people were not borned to be poor, but they are tipically the victim of poor policy. Tak usah kita ratapi karena saudara kita sedang menunggu pemecahan masalah secara segera.

Iman Sugema Senior Economist, Inter-CAFE, Institut Pertanian Bogor

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home