| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, August 10, 2006,10:33 AM

Revitalisasi Pendidikan Nasional

Ki Supriyoko

Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju.

Inilah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato memperingati Hari Anak Nasional beberapa waktu lalu.

Apakah pendidikan nasional kita sudah baik? Belum. Dari 169.000-an SD dan MI di Indonesia hanya delapan sekolah, dari 32.000-an SMP dan MTs hanya delapan sekolah, serta dari 16.000-an SMA dan MA hanya tujuh sekolah yang diakui kualitasnya oleh The International Baccalaureate Organization (2005). Di tingkat pendidikan tinggi, dari 100 perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia) versi Shanghai Jiao Tong University (2005), tak satu pun yang berasal dari Indonesia.

Kekeliruan paradigma

Teman dari Australia menyatakan, kunci revitalisasi pendidikan ada pada kurikulum. Teman dari AS menyatakan kuncinya pada semua aspek, seperti sarana, fasilitas, kurikulum, dan teknologi.

Paradigma revitalisasi pendidikan itu sebenarnya keliru. Namun justru paradigma yang keliru inilah yang banyak diterapkan di negara-negara berkembang. Orang menganggap, kalau sarana bagus, fasilitas memadai, kurikulum baik, teknologi menjanjikan, otomatis akan diperoleh hasil pendidikan yang baik.

Kenyataan membuktikan. Kini di Jakarta dilangsungkan program pendidikan anak-anak ber- IQ 150 ke atas. Mereka dididik dengan sarana dan fasilitas memadai, kurikulum bagus, dan sebagainya. Setelah dievaluasi, hasilnya biasa saja.

Kunci revitalisasi pendidikan ada pada guru. Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswa-nya pernah mengajar di ruang dengan atap bocor, dinding miring, meja belajar seadanya, tetapi karena guru (pamong)-nya baik, hasil pendidikannya pun baik. Banyak murid Ki Hadjar dan lulusan Tamansiswa menjadi "orang".

Kekeliruan paradigma itu sepertinya terjadi di Indonesia sejak dulu. Ketika berbicara mutu, orang terlena "mengutak-atik" kurikulum, mempermasalahkan gedung, mempersoalkan buku, menyudutkan manajemen, memperdebatkan ujian, dan lainnya, tetapi tak pernah membincangkan guru secara serius. Sejauh mana keberhasilan guru mengajar di depan kelas dan sejauh mana tingkat profesionalismenya hampir tidak pernah disentuh. Apalagi nasibnya.

Berdasarkan data Depdiknas, banyak guru (dan dosen) yang tidak layak mengajar, tetapi data ini hanya dijadikan bahan bacaan dan tidak pernah ditindaklanjuti dalam aksi nyata. Saya meneliti 7.000-an guru pada salah satu kabupaten di DIY yang tergolong bagus program pendidikannya, hasilnya menyatakan, banyak guru yang dalam belasan tahun tidak pernah ditatar. Bagaimana mungkin pendidikan nasional bisa baik dan kembali vital kalau gurunya tidak layak mengajar dan pengetahuannya out of date.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan agar semua guru TK hingga SMA/SMK harus berkualifikasi sarjana (S-1). Ini bagus. Namun, benarkah guru yang memiliki kualifikasi akademis lebih tinggi dijamin lebih berhasil mengajar?

Pengalaman mengajar

Dari penelitian pada beberapa SD, SMP, dan SMA bonafide di Jawa dan Sumatera didapat hasil berbeda. Di Aceh, guru yang belum berkualifikasi sarjana tetapi pengalaman mengajarnya panjang, keberhasilan mengajarnya lebih tinggi daripada guru berkualifikasi sarjana yang pengalaman mengajarnya pendek. Di Papua, guru SD lulusan SPG lebih disenangi daripada lulusan PGSD dan program D-2. Mengapa? Karena keberhasilan mengajar lulusan SPG dianggap lebih memadai karena pengalamannya.

Jika harus menunggu seluruh guru berkualifikasi sarjana, setengah abad ke depan pun belum tentu terpenuhi. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen dari seluruh guru yang ada; SMK 64,16; SLB 46,35; SMP 42,03; SD 8,30; dan TK baru 3,88 persen.

Sambil menunggu peningkatan "angka sarjana", sebaiknya diciptakan sistem untuk mengombinasi kualifikasi akademis dengan pengalaman mengajar.

Strata keberhasilan terendah ada pada guru yang kualifikasi akademisnya rendah dengan pengalaman mengajar pendek, sementara strata keberhasilan tertinggi ada pada guru yang kualifikasi akademisnya tinggi dengan pengalaman mengajar panjang. Strata keberhasilan, yang mencerminkan keberhasilan mengajar, hendaknya berkorelasi secara linear dengan reward yang diterima; artinya makin tinggi strata keberhasilan kian tinggi reward yang diterima.

Kita boleh berteori mengenai revitalisasi pendidikan nasional, tetapi jika dianalisis, keberhasilan revitalisasi pendidikan nasional amat ditentukan oleh keberhasilan guru (dan dosen) mengajar di depan kelas.

Ki Supriyoko
Ketua Majelis Luhur Tamansiswa

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home