| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, August 19, 2006,7:27 PM

Kemerdekaan dan Nasionalisme

Syafruddin Azhar

Di dalam ruang klandestin yang sepi dan penuh kecemasan, di kota Paris yang diduduki tentara Jerman, novelis Perancis kelahiran Aljazair, Albert Camus (1913-1960), menulis editorial untuk sebuah majalah yang diterbitkan secara rahasia, "Saya ingin dapat mencintai negeri saya dan tetap mencintai keadilan". Ia seakan menunjukkan serangkaian surat kepada temannya, seorang Jerman, yang tentu saja berada di pihak "sana".

Sahabat Camus ini barangkali seorang teman imajiner. Mungkin pula ia seorang intelektual yang benar-benar ada dan dapat menyebutkan apa arti Jerman baginya di masa nasionalisme yang bergelora itu. "Kebesaran Tanah Airku tak ternilai," katanya. Sebab di dunia, di mana semua telah kehilangan arti, orang-orang muda Jerman beruntung dapat menemukan sesuatu yang bermakna dalam apa yang ia sebut sebagai "nasib bangsa". "Maka mereka harus bersedia ’mengorbankan segala-galanya’."

Tetapi setelah itu, apa gerangan? Pada akhirnya kita memerlukan suatu keyakinan bahwa kelak, di suatu momen, manusia kembali akan utuh, tidak sekadar bagian dari pengorbanan yang agung. Tanpa itu, yang ada hanya upacara pembinasaan.

Komunitas yang digagas

Sebuah bangsa terbentuk, sebuah bangsa pecah, dan kita jarang bertanya untuk apa. Kita tak tahu asumsi di balik itu semua. Sebuah bangsa (nation) adalah sebuah komunitas yang digagas, sebuah kebersamaan yang dianggit—sebuah imagined community, menurut Benedict Anderson. Sebuah bangsa tidak dibentuk oleh Tuhan, juga tidak dilahirkan oleh alam. Ia (bangsa) merupakan hasil dari kebetulan sejarah. Dari kebetulan itu, satu komunitas "Indonesia" pun disusun oleh sejumlah founding fathers yang mampu mengumandangkan gambaran bahwa yang kebetulan itu bukan kebetulan, yang anggitan itu bukan sekadar gagasan; bahwa sebuah bangsa jadi satu bangsa karena suratan takdir.

Nasionalisme adalah suatu seleksi untuk apa saja yang diingat dan yang dilupakan. Kita teringat akan keagungan kerajaan-kerajaan. Namun, pada saat yang sama kita "terlupa" akan suatu zaman ketika kita masih belum melepaskan diri dari ikatan tradisi dan kesetiaan lokal, dari "kedaerahan". Nasionalisme adalah sebagian dari impian kemajuan, sebuah proyek modernitas, tentu saja.

Pada minggu ketiga di bulan Agustus ini, segenap kita riuh gemuruh menyambut 17 Agustus. Di kampung dan di pelosok Tanah Air, anak-anak, tua dan muda barangkali terkekeh-kekeh menyaksikan para ibu mengendap-endap bersemangat mengikuti perlombaan balap karung. Para bapak mungkin juga tak mau ketinggalan, ikut sebagai peserta panjat pohon pinang. Anak-anak kita mungkin juga sibuk menghiasi sepeda-sepeda mereka. Tetapi, untuk apa semua itu? Apakah sekadar suatu bentuk partisipasi kesetiakawanan lokal karena semua warga masyarakat harus bersukacita?

Apa arti sebuah nation-state di hari itu? Jika engkau seseorang dari Flores atau seseorang dari Sunda, Minang, Bugis, Batak, Papua, dan seterusnya… apa arti nasionalisme Indonesia bagimu sekarang ini? Hidup berbangsa dan bernegara (nation-state) itu ditentukan oleh suatu kesadaran nasionalisme. Rasa nasionalisme akan timbul jika di dalamnya tumbuh patriotisme.

Akar dan kesetiaan

Dua sahabat ilmuwan, Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895), dalam The German Ideology (1932) menyatakan bahwa moralitas, agama, metafisika, dan semua ideologi lainnya beserta bentuk-bentuk kesadaran yang terkait dengannya, tidak lagi memiliki ciri independensi. Mereka tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan. Tapi manusia, yang mengembangkan produksi material dan hubungan mental mereka, bersama dengan eksistensi nyata mereka, mengembangkan pemikiran mereka dan hasil-hasil pemikiran mereka. "Hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, namun kesadaranlah yang ditentukan oleh hidup". Demikian tulis Marx dan Engels.

Memang ini seakan-akan tak penting lagi akar dan kesetiaan. Mereka yang mengagungkan "tanah tumpah darah" akan tidak bergembira dengan posisi seperti itu. Mereka yang mencurigai apa yang "kosmopolit" berangsur- angsur lemah argumennya. Apa artinya menganjurkan agar ekspresi kita—dalam bahasa, kebudayaan, dan cita-cita—bertolak on native ground?

Enam puluh satu tahun yang lalu, para pemimpin bangsa mencantumkan dengan yakin dan dengan hati bergetar, "bahwasanya kemerdekaan adalah hak semua bangsa…". Mereka teguh bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diakui oleh siapa pun, sebab ini adalah suatu ekspresi nilai-nilai yang universal. Kini kita hanya mendengar kalimat itu dibaca dengan nada agak malas.

Di sudut sebuah tembok jalanan di Jakarta, pada sekitar November 1945, para pemuda Indonesia menuliskan dengan huruf besar: "Give me liberty or give me death". Mereka tak bermaksud berbicara kepada orang pribumi sendiri. Rangkaian kalimat bernada patriotisme itu kata-kata orang Amerika, Patrick Henry, yang diucapkan ketika menghadapi penjajah Inggris abad ke-18. Dengan mengutip kata-kata seperti itu, para pemuda pejuang tampaknya ingin mengingatkan bahwa suara seorang patriot Amerika sama dengan suara para patriot Indonesia.

Selama lebih dari tiga abad (1700-2006), sentralisasi birokrasi nation-state semakin meningkat. Sentralisasi itu memperkuat rasa kebangsaan atau nasionalisme. Dengan Revolusi Perancis (1789-1799), rasa kebangsaan itu mampu tampil begitu kuat sehingga diyakini sebagai gejala alamiah, bukan sekadar bentukan sejarah modern. Paduan yang seimbang antara keduanya itu melahirkan dua ciri utama "negara-bangsa", yakni batas wilayah kekuasaan (legal jurisdiction) dan kesederajatan warga negara di depan hukum (common laws of citizenship), apa pun agama, suku, dan status sosialnya. Singkatnya, terciptanya keseimbangan antara kedaulatan negara dan perlindungan hukum.

Keseimbangan inilah yang dirumuskan Bung Karno sebagai dasar nation-state Indonesia dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI (1 Juni 1945): "kehendak untuk bersatu" (le désir d'être ensemble—Ernst Renan), "rasa senasib dan sepenanggungan" (eine aus Schiksals-gemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft- Otto Bauer), dan "persatuan antara orang dan buminya" (Soekarno).

Menurut Bung Karno, "Kita hendak mendirikan suatu negara ’semua buat semua’." Keseimbangan itulah, katanya pada 17 Agustus 1957, yang harus dipelihara dalam karya nation building sebagai "usaha tiap hari, usaha pratidina, usaha tous les jours". Dengan sangat bagus, lagi-lagi Ben Anderson menyebut keseimbangan itu sebagai imagined communities, masyarakat yang senantiasa diusahakan agar ada, tapi tidak dibikin-bikin.

Memperingati hari Proklamasi kemarin muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik rasa nasionalisme saya: bisakah kita berhenti berpikir tentang Indonesia? Ketidakpastian membuat kita jaga. Saat harapan menjadi sukar, putus asa sangat menakut- kan. Namun, kita tak bisa menghindar dari sebuah negeri, sebuah sejarah, dan sebuah Tanah Air.

Barangkali di sini tepat mengutip Albert Camus, "Keadilan mutlak hanya bisa tegak bila seluruh kontradiksi dilenyapkan." Dirgahayu Indonesia tanah tumpah darahku!

Syafruddin Azhar Editor dan Peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home