| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 30, 2006,8:58 PM

PSI Bisa Mengganggu Kedaulatan Bangsa

Wisnu Dewabrata

Setelah beberapa kali terkesan bersikap ragu-ragu, pemerintah akhirnya menegaskan diri tidak terlibat dalam bentuk kerja sama multilateral Inisiatif Keamanan Proliferasi (Proliferation Security Inisiative/PSI).

Inisiatif Keamanan Proliferasi merupakan aktivitas dan pengaturan bersama secara informal antarnegara-negara sepaham yang bertujuan secara sengaja mengganggu sekaligus mengacaukan aktivitas transfer ilegal senjata pemusnah massal berikut material terkait lainnya.

Beberapa hari setelah kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan akan mempelajari lebih dahulu kerangka kerja sama PSI sekaligus mempelajari kemungkinan menerimanya secara terbatas.

Walau mengaku keberatan terhadap adanya kemungkinan intervensi terhadap wilayah kedaulatan, terutama oleh sejumlah negara seperti AS jika Indonesia menerima kesepakatan bersama (PSI) itu, Juwono menilai bisa saja inisiatif tersebut diterima walau dalam konteks terbatas.

Untuk itu Juwono menambahkan, Presiden Yudhoyono sempat memerintahkan dirinya beserta Panglima TNI dan menteri terkait untuk mempelajari ketentuan dalam PSI.

Pernyataan itu belakangan dibantah oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Desra Percaya, dalam jumpa pers dua hari setelah kunjungan Rumsfeld ke Indonesia. Dalam kesempatan itu Desra hanya menyampaikan bantahan Menhan atas pemberitaan salah satu koran berbahasa asing di Jakarta, yang menyebutkan Indonesia sudah setuju menerima PSI.

Akan tetapi dalam tiga hari berselang, pemerintah kembali mengutarakan keinginannya untuk bisa menerima sebagian ketentuan dalam PSI, terutama terkait pengamanan Selat Malaka. Sikap itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR pertengahan Juni.

Dalam raker, yang diikuti seluruh jajaran menteri di bawah koordinasi Kementerian Bidang Politik Hukum dan Keamanan dan dihadiri Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Kepala Badan Intelijen Nasional Sjamsir Siregar, serta Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, Menko Polhukam Widodo AS meminta Komisi I tidak buru-buru menolak PSI tanpa terlebih dahulu mempelajari ketentuan di dalamnya.

Menhan kembali menawarkan pilihan menerima inisiatif itu secara terbatas, dengan jalan menerapkannya secara terbatas di kawasan Selat Malaka dan tidak di tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) lain, yang ada di kawasan kepulauan Indonesia. Keinginan itu ditolak oleh sebagian besar fraksi yang hadir.

Boleh jadi setelah mendapat penolakan seperti itu, pemerintah lantas menghentikan keinginannya soal PSI. Kali ini penegasan disampaikan lewat Dirjen Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayjen Dadi Susanto, seusai berbicara di lokakarya Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia dan Dephan seminggu kemudian.

Menurut Dadi, Indonesia memang tidak mungkin terlibat dalam PSI karena masih terikat Konvensi Kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Ketentuan interdiksi dalam PSI dianggap melanggar ketentuan hukum internasional, terutama UNCLOS. AS sebagai negara penggagas PSI memang tidak terdaftar sebagai negara peserta UNCLOS.

"Soal PSI belum ada apa-apa. Kalau cuma mempelajari (PSI), sudah lama kami lakukan. Namun bukan berarti setuju terlibat. Ada sejumlah ketentuan dalam PSI yang bertentangan dengan UNCLOS. Padahal kita tahu Indonesia justru menggagas dan memperjuangkan konvensi itu sejak tahun 1957. Baru tahun 1994 konvensi itu resmi diberlakukan," ujar Dadi saat itu.

Sebagai suatu bentuk pengaturan informal, gagasan PSI memang pertama kali dilontarkan Presiden AS George W Bush, pascaserangan "Black September" 2001. Sejak pertama kali resmi diluncurkan Mei 2003, hingga sekarang terdapat sekitar 70 negara sepaham terlibat di dalam PSI.

Hal itu oleh Rumsfeld disebut-sebut sebagai bentuk "koalisi modern" terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Rumsfeld mengatakannya dalam jumpa pers seusai kunjungan resmi ke Indonesia untuk menemui Presiden Yudhoyono awal Juni lalu.

Pada dasarnya PSI dibentuk untuk memerangi terorisme sekaligus menjawab kekhawatiran soal kemungkinan semakin mudahnya negara maupun para aktor nonnegara membangun kekuatan senjata pemusnah massal dan menyalahgunakannya di era globalisasi sekarang ini.

Berbagai macam bentuk kemudahan dipahami memang muncul sebagai "berkah" dari globalisasi, yang menghasilkan berbagai macam keuntungan sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan akses informasi, kemajuan teknologi, ditambah liberalisasi di perdagangan internasional. Akibatnya, pihak mana pun, baik negara maupun aktor nonnegara, dipercaya dapat dengan gampang mengakses informasi yang mereka butuhkan untuk membangun kekuatan, termasuk di dalamnya senjata pemusnah massal. Mereka juga dapat dengan mudah memindahkan senjata pemusnah massal yang mereka miliki ke mana pun, baik melalui darat, laut, maupun udara.

Sebagai negara kepulauan dengan empat ALKI, salah satunya kawasan Selat Malaka, Indonesia diketahui sudah sejak lama memiliki peran yang penting terutama bagi lalu lintas perdagangan dunia, baik antarnegara maupun antarbenua.

Tidak kurang 38 persen dari total perdagangan dunia yang dilakukan melalui jalur laut dipastikan melintasi Selat Malaka. Perekonomian dan industri negara, seperti Jepang, China, dan Korea, juga bergantung pada pasokan sumber energi yang dibawa melalui kawasan itu.

Dengan kondisi seperti itu, tidak heran banyak pihak merasa memiliki kepentingan terhadap Indonesia, terutama Selat Malaka, tidak terkecuali AS yang memang memiliki ambisi menjadi kekuatan yang paling dominan di kawasan Asia Pasifik.

Sebagai sekadar aktivitas pengaturan informal dalam bentuk kerja sama praktis di kalangan negara sepaham, PSI tidak memiliki organisasi, markas besar, maupun bentuk perjanjian baku, yang secara khusus harus ditandatangani.

Inisiatif itu hanya memfokuskan diri pada aksi bersama yang dilakukan untuk mencegah pergerakan senjata pemusnah massal dari satu pihak/tempat ke pihak/tempat lain. Namun, setiap negara yang terlibat di dalamnya tetap memiliki sejumlah "kewajiban" yang harus dipenuhi untuk menunjukkan keseriusan mereka.

Beberapa kewajiban itu antara lain bentuk dukungan yang harus selalu diberikan setiap negara anggota terhadap Pernyataan Prinsip-prinsip Interdiksi (Statement of Interdiction Principles/SoIP).

Prinsip Interdiksi itu memuat ketentuan yang mengatur tindakan konkret terkoordinasi dan efektif untuk menghalang-halangi sekaligus mencegah pengapalan senjata pemusnah massal, sistem pengiriman, dan aliran material terkait lain, dari dan ke antarnegara maupun aktor-aktor nonnegara.

Upaya itu harus bisa dan sanggup dilakukan dalam segala bentuk situasi atau kondisi. Selain diharuskan mendukung penuh prinsip interdiksi tersebut, setiap negara diminta berkomitmen untuk secara rutin terlibat dalam aktivitas bersama, baik dalam bentuk latihan gabungan maupun pertemuan rutin.

Sejak prinsip interdiksi secara resmi disepakati menjadi tujuan sekaligus metode utama PSI pada September 2003 saja sudah sekitar 14 kali latihan perang gabungan digelar di berbagai lokasi di kawasan Eropa, Asia, dan Amerika Utara, sementara 14 latihan gabungan lain dijadwalkan akan digelar hingga akhir 2006.

Selain itu masih ada sejumlah ketentuan lain, yang secara langsung maupun tidak langsung, mengikat negara anggota PSI. Beberapa ketentuan boleh jadi memiliki konsekuensi yang terbilang berat untuk dijalankan dan bukan tidak mungkin bisa melanggar prinsip kedaulatan negara.

Kewajiban lain itu seperti kesediaan setiap negara anggota memberikan informasi, bantuan, bekerja sama, dan berbagi aset operasional yang diperlukan untuk mencegat, menginspeksi, melarang, bahkan menahan setiap pesawat, kapal, atau alat transportasi lain yang memang dicurigai membawa atau memindahkan material apa pun terkait dengan senjata pemusnah massal.

Hal seperti itu pernah terjadi pada tahun 1993 ketika sebuah kapal angkut berbendera China Yinhe dicegat di pelabuhan di Arab Saudi atas keinginan AS karena merasa curiga kapal tersebut membawa bahan kimia tertentu ke Iran.

Peristiwa kurang lebih sama kembali terulang di tahun 2002 ketika otoritas AS meminta otoritas Spanyol untuk menginspeksi sebuah kapal berbendera Korea Utara, So-San, yang juga dicurigai akan membawa material terkait senjata pemusnah massal ke satu negara. Kapal itu kemudian dipaksa berlabuh di kawasan Pantai Yaman.

Persoalannya sekarang, siap kah Pemerintah Indonesia jika pada satu waktu negara lain seperti AS mengerahkan armada tempurnya ke perairan Indonesia karena mencurigai kapal tertentu membawa senjata pemusnah massal. Kalaupun tidak secara langsung mengerahkan angkatan perangnya masuk ke teritorial Indonesia, AS bisa saja meminta sejumlah negara tetangga terdekat seperti Australia atau Singapura melakukan tindakan serupa.

Jika sampai hal seperti itu terjadi, mari kita lupakan saja soal kedaulatan karena tidak akan ada lagi negara yang berdaulat jika pihak asing dapat dengan mudah keluar masuk suatu wilayah negara hanya dengan mengatasnamakan upaya memerangi terorisme maupun mencegah senjata pemusnah massal.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home