| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 23, 2006,9:17 PM

Rampokisasi (IMF) Datang Lagi

IMF kembali unjuk gigi dalam mempengaruhi perumusan kebijakan ekonomi Indonesia. Setelah sebelumnya berusaha mementahkan gagasan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, untuk mengupayakan pemotongan utang, kini IMF mengingatkan Indonesia untuk lebih fokus pada upaya pengendalian inflasi. Menurut IMF, ''Bank Indonesia tidak boleh ragu-ragu menaikkan suku bunga jika inflasi belum menunjukkan tanda-tanda pelemahan.''

Yang menarik, selain merekomendasikan enam hal yang harus dilakukan pemerintah, IMF tidak lupa menakut-nakuti pemerintah mengenai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan 4,5 - 5 persen. Angka itu tentu sangat rendah jika dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah. Menurut pemerintah, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2006 ini dapat dipacu mencapai 5,9 - 6,2 persen.

Sepintas lalu, walau pun beberapa pejabat pemerintah sempat terprovokasi, proyeksi pertumbuhan ekonomi dan rekomendasi IMF itu mungkin tampak biasa-biasa saja. Perbedaan angka mengenai pertumbuhan ekonomi, misalnya, sangat tergantung pada asumsi dan skenario yang dipakai. Demikian halnya mengenai rekomendasi untuk lebih fokus pada pengendalian inflasi. Siapa pun tahu, inflasi perlu dikendalikan. Jika demikian, dimana letak masalahnya?

Pertama, mengenai pertumbuhan ekonomi. Masalah pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak dapat disederhanakan hanya dengan menyimak tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Sebagaimana diketahui, di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi itu bersemayam apa yang disebut sebagai kualitas pertumbuhan. Sebab itu, daripada menyoal tinggi rendahnya angka pertumbuhan, jauh lebih penting menyoal kualitas pertumbuhan yang terdapat di balik angka-angka pertumbuhan tersebut.

Sehubungan dengan itu, pertumbuhan ekonomi yang secara penuh digerakkan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat, walaupun angka tidak terlalu tinggi, jauh lebih tinggi kualitasnya. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh injeksi modal yang berasal dari luar, walaupun angka jauh lebih tinggi, kualitasnya sesungguhnya jauh lebih rendah.

Dalam pertumbuhan ekonomi yang secara penuh digerakkan oleh peningkatan kapasitas produksi masyarakat, efek pengganda pertumbuhan ekonomi tersebut sebagian besar akan jatuh di dalam negeri. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh injeksi modal dari luar, selain menimbulkan efek ketergantungan, efek penggandanya cenderung dikirim kembali ke negara asal modal yang bersangkutan. Secara teoretis, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan dengan injeksi modal asing, dikenal sebagai pertumbuhan semu (quasy growth).

Kedua, mengenai pengendalian inflasi. Secara teoretis, selain dapat dilakukan dengan meningkatkan impor, inflasi dapat dikendalikan dengan menggenjot produksi, memperlancar distribusi, dan dengan melaksanakan kebijakan uang ketat. Posisi IMF, sejalan dengan rekomendasinya untuk menaikkan suku bunga, jelas sangat bias pada pengendalian inflasi dengan metode pelaksanaan kebijakan uang ketat.

Di tengah-tengah situasi sulit yang tengah dialami Indonesia, yang ditandai antara lain oleh tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, pengendalian inflasi dengan menaikkan suku bunga tidak hanya kontraproduktif. Selain dapat memicu meningkatnya persoalan kredit bermasalah, pengendalian inflasi dengan cara itu dapat dipastikan akan bermuara pada berlangsungnya proses akselerasi deindustrialisasi.

Sebab itu, mudah dimengerti, bila rekomendasi IMF mengenai pengendalian inflasi cenderung bertolak belakang dengan tuntutan dunia usaha. IMF merekomendasikan agar BI tidak segan-segan menaikkan suku bunga. Sedangkan dunia usaha berteriak agar BI segera melakukan hal sebaliknya. Dengan demikian, selain tidak sejalan dengan kebutuhan untuk menciptakan peluang kerja dan menanggulangi kemiskinan, rekomendasi IMF ternyata bertolak belakang pula dengan kepentingan para pengusaha.

Pertanyaannya, jika rekomendasi IMF cenderung bertentangan dengan kepentingan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, untuk kepentingan siapakah sesungguhnya IMF bekerja?

Jawabannya dapat ditelusuri pada tiga rekomendasi IMF lainnya. Selain merekomendasi untuk mengurangi defisit anggaran, IMF juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan tiga hal berikut: (a) memperkuat bank BUMN; (b) tidak melakukan penghapusan kredit bermasalah di bank BUMN; dan (c) memberi stimulus kepada investor asing.

Mencermati ketiga rekomendasi terakhir tersebut, rasanya tidak terlalu sulit untuk dibaca bahwa IMF pada dasarnya sedang memojokkan pemerintah untuk melakukan tiga hal berikut sekaligus: (a) tidak segera melunasi pinjaman kepada IMF; (b) mendivestasi bank BUMN dengan mengundang strategic partners; dan (c) membuka peluang bagi investor asing untuk menjadi pemilik bank BUMN.

Kesimpulannya saya kira sangat sederhana. Dengan rekomendasi yang cenderung berwatak rampokisasi tersebut, jelas sekali kelihatan betapa IMF tetap konsisten dengan agenda ekonomi neoliberal atau agenda Konsensus Washington yang menjadi agamanya. Artinya, proyeksi pertumbuhan rendah dan rekomendasi IMF yang banyak mengarah kepada bank BUMN tersebut, patut diwaspadai sebagai bagian dari upaya sistematis lembaga itu untuk menguasai Indonesia. Quo vadis IMF?

(Revrisond Baswir )

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home