| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, May 28, 2006,12:47 PM

Gempa Yogya Tewaskan 3.098 Orang

Rumah Sakit Kewalahan Menampung Korban

Yogyakarta, Kompas - Gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang DI Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5) pukul 05.53. Sampai pukul 00.15, tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul. Gempa juga meluluhlantakkan 3.824 bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul.

Gempa di Yogyakarta ini merupakan bencana alam terbesar kedua setelah tsunami tahun 2004. Gelombang tsunami menyapu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Desember 2004, dan menewaskan sekitar 170.000 orang. Bulan Maret 2005, gempa mengguncang Nias dan menewaskan sekitar 1.000 orang.

Tak hanya di Bantul, korban tewas juga berasal dari berbagai wilayah di DIY, seperti Kota Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Bahkan, korban tewas juga dari wilayah Jawa Tengah, seperti Klaten dan Boyolali.

Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh, sementara korban luka-luka juga banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa. Mereka panik karena ada isu tsunami, lalu lintas jalan raya menjadi kacau, dan banyak tabrakan yang mengakibatkan warga terluka.

Semua rumah sakit pemerintah dan swasta penuh dengan korban gempa, baik luka ringan, parah, maupun meninggal. Rumah sakit itu umumnya tak sanggup lagi menampung korban sehingga pasien dirawat di halaman. Korban tewas banyak yang langsung dimakamkan keluarganya dengan sederhana karena banyak masyarakat yang tak lagi berada di rumah mereka.

Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X berharap para korban yang kini dirawat di rumah sakit di Yogyakarta dapat dievakuasi ke rumah sakit-rumah sakit lain, misalnya di Jakarta, agar penanganannya lebih baik. Hal ini karena rumah sakit di Yogyakarta fasilitas dan tenaganya sudah sangat terbatas.

Berdasarkan pemantauan oleh Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter (SR) ini terjadi pada pukul 05.53.58 di lepas pantai Samudra Hindia. Posisi episentrum pada koordinat 8,26 Lintang Selatan dan 110,33 Bujur Timur, atau pada jarak 38 kilometer selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 kilometer. Gempa utama terus diikuti gempa susulan berkekuatan kecil.

Menurut Tony Agus Wijaya Ssi, pengamat geofisika pada Stasiun Geofisika Yogyakarta, kekuatan gempa belum menyebabkan gelombang tsunami. Berdasarkan perhitungan menggunakan pemodelan tsunami, gempa sebesar itu hanya sedikit menaikkan gelombang laut. ”Kalau terjadi tsunami, gelombang laut sudah akan sampai di pantai dalam 30 menit. Kalau sampai tiga jam ini belum ada, berarti tidak ada tsunami,” katanya.

Dampak gempa ini juga dialami oleh warga di Dusun Ngrangkah dan Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Sejumlah rumah di dusun yang berada di lereng Gunung Merapi ini rusak ringan dan sedang pada bagian atap.

Sebagian besar warga di Kabupaten Sleman menduga gempa berasal dari Gunung Merapi yang aktivitasnya sedang meningkat. Selepas terjadinya gempa, warga ke luar rumah dan memandang ke arah Gunung Merapi. Gumpalan awan panas di Merapi diyakini warga sebagai sumber gempa. Namun, dugaan itu salah besar karena sumber gempa berada di Laut Selatan.

”Saya khawatir gempa tektonik ini akan memengaruhi kestabilan kubah lava Gunung Merapi. Gempa tektonik dan susulannya harus terus dipantau pengaruhnya terhadap Merapi,” kata A Pudjo Hatmodjo, Kepala Subbagian Tata Usaha Stasiun Geofisika Yogyakarta.

Kunjungan Presiden

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X kemarin sore langsung mengunjungi korban di tempat pengungsian. Dalam konferensi pers di rumah dinas Bupati Bantul, Presiden meminta pemerintah daerah di Jawa Tengah dan DIY menggunakan segala sumber daya, misalnya pusat pembangkit, dan mengaktifkan badan koordinasi nasional.

”Utamakan perawatan dan pengobatan yang luka, evakuasi, dan pemakaman bagi jenazah yang meninggal. Menteri harus pastikan rumah sakit dan penampungan punya fasilitas cukup, penerangan operasi, obat-obatan, dokter, termasuk makanan dokter,” kata Presiden.


Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang datang ke Bantul mengatakan, jumlah korban belum bisa dipastikan, namun data yang ia peroleh hingga Sabtu malam berjumlah 5.000 jiwa lebih dan masih bisa bertambah. Pemerintah juga memutuskan pendanaan operasi ditanggung pemerintah pusat dan daerah lewat satuan koordinasi dan pelaksana serta satgas-satgas di provinsi dan kabupaten.

690 korban di Klaten

Gempa bumi itu juga mengakibatkan ratusan korban tewas di Klaten, Jateng. Korban tewas hingga Sabtu sore mencapai 690 orang, berdasarkan data di Posko Bencana Gempa Bumi di Kantor Pemerintah Kabupaten Klaten. Jumlah paling besar tercatat di Kecamatan Gantiwarno (167 orang), Wedi (115 orang), dan Prambanan (89 orang).

Korban lain ditemukan di hampir seluruh kecamatan lainnya, seperti di Cawas (9), Trucuk (17 orang), Wonosari (2), Jogonalan (19), Ceper (2), Klaten Selatan (2), Pedan (3), Karangdowo (4), Klaten Tengah (1), Karanganom (1), dan Kebonarum (4).

”Korban tewas ratusan jiwa, yang luka ribuan, rumah yang roboh ribuan,” kata Kepala Kesbanglinmas Klaten Eko Medi Sukasto saat ditemui di Kecamatan Gantiwarno.

Selain memakan ratusan korban jiwa, ribuan warga lainnya luka parah maupun ringan. Rumah sakit yang ada di Klaten, seperti RS Dr Soeradji Tirtonegoro, RS Jiwa Soedjarwadi, Rumah Sakit Islam Klaten, dan Rumah Sakit Cakra Husada, tidak mampu menampung membeludaknya pasien.

Banyak pasien tak bisa tertangani sehingga hanya berada di luar pagar rumah sakit. Sisanya berada di selasar atau di depan bangsal dengan tempat tidur, infus, dan pengobatan seadanya di atas lantai. Lainnya dilarikan ke rumah sakit di Solo, seperti RSOP Prof Dr Soeharso yang hingga sore menampung 48 pasien dari Klaten.

Rumah sakit mengeluhkan kesulitan bensin untuk ambulans yang menjemput korban atau mengantarkannya kembali. Keluarga korban harus antre ambulans untuk menjemput keluarganya yang tewas.

Ribuan rumah warga juga hancur rata dengan tanah atau rusak sedang, namun tidak dapat ditempati lagi. Rumah-rumah di Wedi, Gantiwarno, dan Prambanan adalah yang paling banyak hancur. Paling kurang 1.224 bangunan rusak.

Fasilitas umum, seperti SD, SMP, kantor kecamatan, kantor polsek, kelurahan, tidak luput dari kehancuran di tiga kecamatan tersebut. Jalanan aspal juga retak dan terbelah di banyak tempat, seperti terlihat di Jalan Raya Jabung, Gantiwarno. Sebuah bus pelat merah yang sedang melintas saat gempa terguling karena jalanan merekah akibat gempa. Sambungan telepon dan listrik terputus. Hingga sore hari, jalanan padat karena lalu lalang anggota tim penyelamat, ambulans, dan warga yang panik.

Warga trauma dan tidak berani masuk ke rumah. Mereka berkumpul dan duduk-duduk di tepi atau perempatan jalan. Mereka juga sempat panik dan lari setelah munculnya isu akan adanya tsunami. Sebagian besar lari ke Bukit Jimbung, perbukitan kapur yang terletak di Klaten Selatan. Terlebih mereka kembali merasakan gempa susulan, sekitar pukul 08.00, 10.00, dan 11.30.

Mal dan balaikota retak

Di Solo, saat gempa berlangsung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah dengan berteriak-teriak histeris. Jumlah pasien korban gempa yang masuk ke RS Muwardi Solo mencapai 259 orang dan sejumlah bangunan, terutama gedung-gedung bertingkat, rusak dan dindingnya retak, seperti pusat perbelanjaan Solo Square dan Solo Grand Mall (SGM) di Jalan Slamet Riyadi Solo, termasuk bangunan di lantai 6 Balaikota Solo.

Di Solo Square, akibat gempa, balok dari beton yang menopang papan nama Solo Square yang terletak di bagian depan paling atas gedung tersebut jatuh menimpa kaca di kanopi sehingga menimbulkan kerusakan di bagian depan Solo Square. Di SGM tembok bagian luar gedung terlihat retak. Matahari Dept Store dan Hypermart tidak beroperasi.

Gedung Balaikota Solo juga tak luput dari guncangan gempa. Beberapa tembok, terutama di lantai 4, 5, dan 6 gedung tersebut, retak. Belum diketahui pasti seberapa besar kerusakan gedung tersebut. Sejumlah gedung bertingkat, seperti hotel, juga retak temboknya.

Di Kebumen

Gempa juga dirasakan hampir di seluruh daerah di Jawa Tengah bagian selatan, seperti Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, dan Kebumen. Bahkan, di Kebumen dilaporkan dua rumah roboh. Gempa mengejutkan banyak penduduk yang baru melakukan aktivitasnya.

Dua rumah yang roboh di Kebumen milik Ny Marliyah, warga Desa Karangsari, Kecamatan Kutowinangun, dan rumah milik Kasmo, warga Desa Bonorowo, Kecamatan Bonorowo. Tidak ada korban dalam musibah tersebut. Menurut Tursino, tokoh nelayan di Kecamatan Ayah, nelayan sempat panik karena saat melaut tiba-tiba muncul gelombang besar. ”Namun, gelombang besar hanya berlangsung beberapa saat. Nelayan tidak tahu bahwa saat muncul gelombang besar baru saja terjadi gempa bumi,” ujarnya.

Semarang siaga penuh

Seluruh rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta di Jawa Tengah, diinstruksikan untuk siaga penuh. Para dokter, perawat, dan tenaga medis yang semestinya libur ditekankan untuk melayani para korban.

”Seluruh biaya perawatan akan ditanggung sepenuhnya oleh Pemprov Jateng. Obat-obatan dan tenaga medis akan dikirimkan dari beberapa rumah sakit di Semarang. Bantuan logistik juga segera dikirimkan,” kata Kepala Badan Informasi, Komunikasi, dan Kehumasan Provinsi Jateng Saman Kadarisman, memaparkan instruksi Gubernur Jateng Mardiyanto saat meninjau lokasi gempa di Klaten.

Mardiyanto juga meminta kepada bupati dan wali kota yang wilayahnya terkena gempa untuk tetap melayani masyarakat dengan menginventarisasi kerugian, baik jiwa maupun harta.

Untuk mengintensifkan penanganan, Posko Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Merapi di Magelang dialihkan sebagian ke Klaten. Posko pengungsi tersebar di berbagai kecamatan dan kelurahan, namun pusat penanganan di Kantor Bupati Klaten.

Sementara itu, warga di daerah-daerah yang diguncang gempa masih trauma. Semalam mereka tidur di luar rumah. Mereka banyak yang tidur di tanah lapang dengan tenda dan di halaman rumah. Mereka takut akan terjadi gempa lagi.

Tidak hanya orang tua yang tidur di luar, tetapi juga anak-anak kecil hanya beralaskan koran. ”Kami tidak berani tidur di dalam rumah, takut terjadi gempa lagi,” tutur Endang, ibu seorang anak di wilayah Gamping. (ang/eki/son/nts/and/ wad/nit/why/ika)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home