| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, May 23, 2006,10:11 PM

Politik Guru

Doni Koesoema A

Pendidikan merupakan sebuah proses politik. Relasi guru dengan pihak lain, entah itu dalam lingkup mikro (di kelas) maupun makro (di luar kelas), merupakan relasi kekuasaan.

Di dalamnya guru berjumpa banyak pihak, seperti, kepala sekolah, komite sekolah, dewan guru, karyawan, yayasan, orangtua, lembaga-lembaga nonpemerintah, birokrat, politisi, dan masyarakat. Hubungan antarkelompok ini tidak imun dari praktik kekuasaan. Relasi ini terstruktur dan terbentuk melalui sebuah sistem yang menyangga sistem kekuasaan satu sama lain. Dalam kerangka inilah kinerja guru sungguh menjadi sebuah pergulatan politik par exellence.

Ginsburg (1996) mendefinisikan politik sebagai "kontrol atas alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi, dan akumulasi daya-daya material dan simbolis". Proses ini tidak terbatas pada arena kekuasaan oleh negara. Dunia pendidikan menjadi contoh ideal proses politik sebab jaringan relasi sosial yang dimiliki berhubungan dengan kategori sumber-sumber material maupun nonmaterial itu. Ketidakadilan atas distribusi sumber-sumber daya ini biasanya ditentukan oleh praksis politik dan corak relasi kekuasaan yang ada.

Marjinalisasi guru

Persoalan seputar efektivitas ujian nasional, inkonsistensi aturan pemerintah tentang otonomi guru dalam proses pendidikan, perbaikan kurikulum tanpa menyertakan proses praformasi yang menyiapkan secara matang tenaga pendidik, dan sebagainya, hanya salah satu dari banyak corak relasi kekuasaan yang memangkas kinerja dan otonomi guru. Berhadapan dengan perubahan kurikulum, guru tak pernah dijadikan rekan dialog. Kalaupun ada dialog, hanya terjadi dari sisi teknis pelaksanaan, bukan dari visi antropologi-filosofis yang memberi visi fundamental pendidikan nasional kita.

Sebaliknya, proses politik yang terjadi di negeri ini justru upaya untuk meminggirkan guru dari bidang kerjanya. Guru dibuat sedemikian rupa sehingga dalam posisi marjinal, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun profesional. Pemberangusan otonomi guru oleh negara pada gilirannya membatasi kinerja potensial sebagai guru sebagai agen transformasi.

Jika guru harus berjuang untuk memperoleh kembali kontrol atas bidang kerjanya, usaha ini tidak bisa dibuat sambil lalu, atau spontan, misalnya, demonstrasi ke jalan seperti pernah terjadi dalam kasus Kampar. Atau berjuang seorang diri, seperti Ibu Nurlaila yang harus berhadapan dengan aparat hukum saat kinerja profesionalnya sebagai guru digusur kekerasan otot petugas tramtib. Guru harus dapat memadukan tenaga dan terlibat aksi politik yang terencana dan teratur. Namun, ini mengandaikan para guru melek dan aktif secara politik. Perilaku dan kemampuan ini tak bisa terjadi secara kebetulan. Karena itu, pendidikan politik seharusnya menjadi bagian program pendidikan guru.

Posisi strategis guru sebagai aktor politik dan agen transformasi dalam dunia pendidikan inilah yang membuat kekuasaan politik ingin selalu ikut campur dalam "menjinakkan" kinerja guru. Guru yang dimahkotai mitos "pahlawan tanpa tanda jasa" selalu diharapkan memahami kinerjanya yang mengatasi kepentingan politik. Karena itu, salah satu otonomi dan kinerja guru ini perlu dipotong agar para guru tetap dalam situasi apolitik.

Sebenarnya guru bisa merebut kembali kinerja politiknya yang dirampok negara, dalam lingkup mikro maupun makro.

Mikro dan makro

Dalam lingkup mikro (relasi kekuasaan guru-murid di kelas), guru bisa memulai dengan mengembangkan suasana dialogis dan demokratis. Perlu dipraktikkan cara pengajaran yang di satu sisi mampu membawa siswa pada tujuan pengajaran, di lain sisi membuat siswa menemukan makna dan kegembiraan dalam belajar. Kelas seharusnya menjadi ruang di mana proses belajar memperkaya siswa akan nilai-nilai hidup, menghargai perbedaan, sekaligus cinta pada kegiatan belajar itu sendiri. (Brophy, 1983,1988). Guru juga bisa menerapkan cara pengajaran yang berwibawa lewat ketegasan prinsip dan transparansi sistem perilaku. Para siswa umumnya mengharap guru menjadi figur kekuasaan yang mampu menciptakan situasi stabil dengan tata perilaku yang standar. (Brantilinger, 1993, Mets, 1978)

Dalam lingkup makro (relasi kekuasaan guru dengan sistem kekuasaan lain), yang paling mendesak adalah masuknya kurikulum tentang kesadaran politik dalam kerangka proses formasi tenaga guru. Guru dengan demikian tidak sekadar disiapkan melalui kemampuan teknis-praktis tata cara pengajaran dalam menjalankan kurikulum, tetapi secara kreatif dan kritis mampu menyadari dan menumbuhkan dimensi politis atas kinerjanya.

Dalam level nasional, independensi organisasi guru seharusnya dipertahankan agar kekuasaan negara tidak dengan mudah ikut campur. Independensi ini tak akan terjadi jika rasa solidaritas satu sama lain lemah. Kasus Kampar hanya menimbulkan geliat di Kampar. Kasus Ibu Nurlaila hanya bergema di Jakarta, padahal kasus serupa banyak terjadi di tempat lain. Soliditas dan solidaritas guru adalah bagian dari proses pertumbuhan kesadaran politik guru itu sendiri.

Pendidikan merupakan proses politik dan sebenarnya guru aktor utama proses politik ini. Sebagai aktor politik, guru mampu mentransformasi situasi masyarakat menjadi dunia yang lebih baik.

Mati hidupnya dunia pendidikan tidak hanya tergantung kinerja politik guru, namun kesadaran politik guru atas kinerjanya adalah kondisi yang dibutuhkan agar proses transformasi di masyarakat berjalan efektif. Guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa" yang kinerjanya mengatasi sekat-sekat politik. Namun, mitos ini menjadi tak berguna saat dengannya pelan-pelan otonomi dan kebebasan guru dikebiri. Karena itu, para guru lebih baik segera menyadari diri sebagai aktor politik daripada menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang membuat mereka lena atas kinerja politiknya.

Doni Koesoema A Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home