| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, May 26, 2006,9:17 AM

Tiba-tiba Rindu Pembangunan

M Alfan Alfian M

Pembangunan adalah kata ampuh yang dulu menjadi semacam "jimat" Orde Baru. Kata itu segera membuat "alergi" para reformis. Anehnya, setelah sewindu reformasi para reformis terheran-heran. Meminjam Indra J Piliang, kok tak ada pembangunan?

Lihat saja, jalan-jalan rusak, gedung-gedung sekolah makin banyak yang runtuh, dan hal-hal lain yang mengesankan adanya kemunduran. Apakah tidak ada pembangunan selama sewindu reformasi ini?

Jawaban atas berbagai pertanyaan itu, ujungnya "mengecewakan". Ada yang berpendapat "tidak ada pembangunan sama sekali". Ada yang lebih halus (eufimistik), "pembangunan tetap berlangsung, tetapi mengalami hambatan atau kurang efektif".

Dulu, demi pembangunan, terlepas dari pendekatannya yang "mengekang kebebasan", mutlak diperlukan stabilitas politik dan keamanan. Sandingan kata pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi. Kue harus dibikin sebesar mungkin, baru dibagi-bagi. Artinya, pemerataan itu efek tetesan (trickle down effect). Itu dulu, paradigma Orde Baru.

Kenyataannya, pembangunan Orde Baru artifisial. Buktinya, di pengujung Orde Baru, kekokohan ekonomi Indonesia "terlibas habis" oleh badai krisis yang dahsyat. Ekonomi Indonesia ambruk. Kritik atas hakikat pembangunan mengemuka kembali. Ideologi pembangunanisme (developmentalism) disalahkan, dipandang sebagai "biang kerok kehancuran". Namun, kini para reformis kelihatannya harus membaca ulang sisi-sisi baik pembangunan.

Mental penyeleweng

Pembangunan yang dimaksud berbeda dengan "pembangunan" ala Orde Baru. Pembangunan di era reformasi sudah terdemokratisasikan. Artinya, ada suatu kemajuan yang dicapai dalam pembangunan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi, yang antara lain amat antikorupsi dan juga tidak membuat efek peminggiran.

Terhambatnya pembangunan di era reformasi justru disebabkan oleh, ironisnya, masih bersimaharajalelanya korupsi, dengan kekuatan "pelipatgandaan" yang luar biasa.

Sentralisme pembangunan telah dikoreksi habis oleh para desainer pembangunan era reformasi, tetapi, ironisnya, kemunculan "titik-titik kekuasaan" baru belum diimbangi dengan kehadiran mentalitas baru yang "tidak korup".

Efek dari "tidak adanya pembangunan" adalah terpinggirnya rakyat, sebagai kaum marjinal. Aneh memang. Dulu pembangunan berimbas pada peminggiran kaum marjinal. Kini "ketiadaan pembangunan" juga sama.

Namun, jelasnya, rakyat tambah menderita kalau "tidak ada pembangunan" karena kondisinya stagnan. Rakyat bertahan di tengah dampak krisis yang efeknya demikian terasa. Industri kecil yang dulu sempat bertahan kini banyak yang betul-betul rontok, tak kuat menahan biaya produksi dan ongkos tenaga kerja.

Ketiadaan pembangunan, yang indikasinya juga dilihat dari mandeknya pembangunan infrastruktur, terkhusus lagi jalan raya, telah membuat aktivitas perekonomian ikut lumpuh. Biaya transportasi pengiriman barang menjadi tinggi. Para pengusaha menengah, kecil, bahkan mikro, terengah-engah mempertahankan eksistensi usahanya.

Itu semua merupakan efek dari tidak bergeraknya sektor riil. Di level makro, kalaupun ada pertumbuhan, bersifat semu.

Tanggung jawab pemerintah

Presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam pemilu langsung bagaimanapun memiliki tanggungjawab utama, yaitu menjamin terselenggaranya pembangunan nasional. Demikian pula para kepala daerah. Mereka punya visi dan misi yang haris diimplementasikan secara optimal, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip clean and good government. Jadi tugas pemerintah, di pusat maupun daerah, sesungguhnya berat.

Sementara itu dinamika politik harus terjaga dengan baik, agar lebih produktif dan tidak saling menyandera. "Politics," kata Bernard Crick, "can not make man good, but they can make it easier or harder for us to be good."

Reformasi sudah berjalan sewindu, tetapi para elite di dalam maupun di luar institusi pemerintahan masih belum efektif. Maka, kini mereka pun meraba- raba "dalam keremangan".

M ALFAN ALFIAN M Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute dan Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home