| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, May 17, 2006,12:51 PM

Menunggu Perwakilan dengan Pertanggungjawaban

SIDIK PRAMONO

Delapan tahun silam, gerakan rakyat berhasil menurunkan rezim Orde Baru. Berikutnya, agenda politik nasional dipacu untuk bergerak lebih cepat. Pemilihan Umum 1999 digelar dengan membuka ruang yang lapang kepada partai politik untuk berpartisipasi. Partai politik tumbuh mirip cendawan di musim hujan. Ratusan parpol bersaing dalam pemilu itu.

Pengalaman Pemilu 1999 memperlihatkan, dari 48 parpol peserta pemilu, hanya tujuh yang tergolong besar. Pada Pemilu 2004 pun, hanya kurang dari sepuluh parpol dari 24 peserta pemilu yang bertahan. Apa pun, ada yang meyakini bahwa tumbuhnya parpol tersebut merupakan bentuk kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan mengartikulasikan aspirasi. Yang juga harus dicatat, Partai Golkar—yang merupakan reinkarnasi Golongan Karya yang dominan sejak Pemilu 1971—tetap saja merupakan kekuatan politik yang bisa bertahan semenjak rezim Orde Baru dijatuhkan, bahkan menjadi pemuncak Pemilu 2004.

Reformasi 1998 juga berimbas pada perubahan konstruksi lembaga perwakilan rakyat seiring dengan amendemen terhadap konstitusi yang semula dianggap sakral dan tidak tersentuh. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan pemegang kedaulatan rakyat. Jika semula MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih ditambah dengan utusan daerah yang dipilih oleh DPRD provinsi dan utusan golongan, konstruksi pasca-amendemen berbeda. MPR kini terdiri atas DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kedua-duanya dipilih langsung rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya, 128 wakil rakyat dari 32 provinsi terpilih jadi "senator".

Salah satu yang mendasari munculnya lembaga DPD itu adalah kesenjangan keterwakilan, terutama antara wakil dari daerah pemilihan di Pulau Jawa-Bali dan di luar wilayah itu. Dengan proporsionalitas perwakilan di DPR dihitung berdasarkan jumlah penduduk yang tidak merata penyebarannya, terang saja wakil dari daerah pemilihan Jawa-Bali yang akan dominan. Pada Pemilu 2004, sebanyak 312 anggota DPR berasal dari daerah pemilihan di Jawa- Bali, di luar itu hanya kebagian 238 kursi. Dengan prinsip one man one vote one value, penduduk di Jawa-Bali yang lebih banyak tentu saja mengirimkan wakilnya lebih banyak.

DPD yang mewakili teritorial diharapkan bisa mengimbangi kesenjangan itu. Sekalipun demikian, konsep bikameral itu menjadi "tanggung" karena kewenangan DPD yang tidak sebesar DPR. Sekalipun mereka harus berjuang lebih keras untuk meraih kepercayaan rakyat, namun konstruksi konstitusi tidak memberikan kewenangan bagi DPD seimbang dengan DPR. Untuk kewenangan legislasi, misalnya, DPD harus mengajukan rancangan undang-undang lewat DPR, itu pun hanya RUU bidang tertentu saja. Di fungsi lain, DPD pun hanya bisa memberikan pertimbangannya ataupun menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

Di sisi lain, DPR yang diharapkan punya keberdayaan lebih baik pun kerap kali dianggap jauh dari harapan. Hal itu terjadi karena para anggota DPR yang tetap kental menunjukkan keterikatan dengan partai politiknya. Pengalaman DPR periode 2004-2008 menunjukkan bagaimana suara anggota DPR untuk menggunakan hak individualnya kerap mentah karena setelah pimpinan partai ataupun pimpinan fraksi memiliki keputusan yang berbeda. Sejumlah inisiatif penggunaan hak interpelasi dan angket mrotholi, setelah para inisiatornya berbalik badan, bahkan ada yang sejak tahapan awal. Ironis memang, karena gelombang besar protes rakyat yang menolak keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, misalnya, justru tak sejalan dengan sikap DPR sebagai institusi. Sebenarnya, sejauh mana hak DPR diwujudkan dan sejauh mana itu mewakili kepentingan rakyat?

Terbuktilah bahwa sistem proporsional (setengah) terbuka yang diterapkan dalam Pemilu 2004 berhasil mengikat anggota DPR terhadap partai politiknya. Cara seperti itu memang didasari harapan penguatan institusi parpol. Ada kekhawatiran bahwa penetapan calon anggota legislatif terpilih dengan suara terbanyak hanya akan meminggirkan institusi parpol sekalipun cara ini dipercaya akan menguatkan hubungan antara anggota lembaga legislatif dan konstituennya. Keterikatan itu semakin kuat ketika pimpinan fraksi menjadi "atasan" yang pendapatnya tak bisa dilawan oleh setiap anggota DPR. Ketentuan bahwa anggota DPR bisa diganti jika partai politik bersangkutan mengusulkannya masih menjadi momok yang menakutkan.

Y Ari Nurcahyo dalam buku Memahami Indonesia (2006) menyebutkan, parpol tidak menjaga relasi politik yang baik dengan konstituennya. Para anggota parlemen pun merasa lebih dekat dan terikat dengan partai ketimbang pemilihnya sehingga kualitas dukungan konstituen di tingkat lokal pun lemah. Parpol cenderung berperan sebagai struktur yang mengendalikan kelompok massa. Parpol tidak terfokus pada tawaran kebijakan yang jelas dan konkret, namun malah terjebak dalam kampanye populis untuk menjaring dukungan massa.

Sementara DPD? Praktis tidak ada pertimbangan "politis" yang menjadikan anggotanya bisa diganti di tengah-tengah masa jabatan. Ada plus-minusnya tentu saja. Seloroh paling menyakitkan, tanpa harus bekerja keras dan cukup melestarikan "datang-duduk-diam" pun tidak akan membuat kursi legislatif mereka terancam. Tidak heran jika kemudian pakar politik Universitas Airlangga, Daniel Sparringa, dalam sebuah diskusi di LIPI pernah berseloroh, ada untungnya juga bahwa DPD diberikan kewenangan yang terbatas. Pasalnya, merujuk pada ketentuan perundang-undangan, posisi anggota DPD jauh lebih sulit untuk digantikan.

Pertanggungjawaban

Pertanyaannya kini, bagaimana sebenarnya para wakil rakyat merangkum aspirasi rakyat yang diwakilinya? Seberapa derajat keterwakilan memberi manfaat bagi rakyat dari daerah pemilihan yang ditawari? Pertanyaan yang selalu muncul, bagaimana pertanggungjawaban para wakil rakyat yang terhormat?

Sejumlah anggota DPR dan DPD memang sudah mencoba mendekati konstituennya, salah satunya dengan membentuk "rumah aspirasi" di daerah pemilihannya masing-masing. Buku laporan kerja tahunan pun dicetak dalam format yang bagus, isinya kebanyakan cerita "indah" perjuangan menyuarakan aspirasi rakyat. Namun, saluran itu pun masih butuh pengujian lebih lama. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa aspirasi yang muncul di lapis bawah akan disuarakan dengan lantang di tingkat pengambilan keputusan. Tidak ada barter memadai atas dukungan yang pernah diberikan. Terlebih penetapan calon legislator oleh pimpinan pusat parpol menjadikan tidak seluruh anggota DPR dikenal di daerah pemilihannya sendiri.

Untuk datang ke konstituen, masa reses tetap merupakan waktu yang paling memungkinkan. Namun, jadwal yang singkat itu pun masih harus dibagi-bagi antara kunjungan kerja komisi atau alat kelengkapan lain dengan kunjungan wajib ke konstituen masing-masing. Untuk mengatasi itu, DPR lewat perubahan tata tertibnya juga mencantumkan ketentuan bahwa setiap anggota mengadakan kunjungan ke daerah pemilihannya sekurang-kurangnya sekali dalam dua bulan dengan waktu paling lama lima hari yang dilaksanakan di luar masa reses dan di luar sidang-sidang DPR.

Sekalipun begitu, ketentuan baru itu tetap saja mengundang pertanyaan: benarkah waktu (dan alokasi anggaran yang disediakan) akan membawa kemanfaatan bagi rakyat?

Pencarian alternatif

Mengutip pendapat peneliti The Indonesian Institute, Anies Rasyid Baswedan, para politisi di lembaga legislatif cenderung mencari posisi aman dan menguntungkan, yaitu dengan memilih patuh kepada partainya ketimbang mengartikulasikan aspirasi rakyat di daerah pemilihannya. Dalam lima tahun masa jabatannya, perhatian terhadap rakyat paling-paling baru terasa dua tahun terakhir, menjelang pelaksanaan pemilu. Perhatian itu tentunya saja disertai pamrih agar dipilih kembali dalam pemilu berikutnya.

Karenanya, Anies menyarankan perlunya terobosan untuk membuat wakil rakyat yang berdaya dan benar-benar merupakan penyambung kehendak rakyat. Salah satunya adalah mempersingkat masa jabatan anggota lembaga legislatif ataupun pemilihan anggota legislatif yang dilakukan dalam beberapa kali pemilihan, tidak seluruh anggota dipilih dalam tempo bersamaan.

Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin mengutipkan pendapat pakar pemilu, Dieter Nohlen, yang menyatakan bahwa pemilu antara lain membawa misi keterwakilan (representativeness).

Prinsip ini mengandung artian bahwa keterwakilan meliputi seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas, dalam lembaga perwakilan; merupakan cerminan kekuatan kepentingan dan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan; dan seberapa jauh dapat dapat memengaruhi proses penentuan calon dan tingkat jalinan hubungan antara pemilih dan anggota lembaga perwakilan rakyat. Parameter itu semestinya diterapkan dalam mengukur perwakilan rakyat yang ada di DPR maupun DPD.

"Tradisi" revisi paket undang- undang politik setidaknya lima tahun sekali sudah mulai mengemuka. Kini di DPR sudah mulai ada ancang-ancang merevisi paket undang-undang politik yang dijadikan acuan untuk Pemilu 2004. Jika memang paket undang-undang politik itu bakal direvisi, tentu saja misi keterwakilan (berikut pertanggungjawaban) itu harus utuh mengejawantah. Yang digugat banyak pakar adalah cara penetapan calon terpilih tidak murni berdasarkan suara terbanyak. Dengan cara penetapan lebih berdasarkan nomor urut dalam daftar calon, ketergantungan pada elite pengurus parpol di tingkat pusat akan tetap saja kuat, dasar perwakilan menjadi mentah karena para wakil rakyat yang kerap tidak setia pada mandat.

Kondisi di atas menunjukkan perlunya desain perwakilan yang mengedepankan pertanggungjawaban kepada rakyat yang memilihnya. Harus ada pertimbangan antara sistem yang meneguhkan hubungan pemilih dan wakilnya dikombinasikan dengan pentingnya menciptakan stabilitas pemerintahan dan sistem politik dalam sebuah negara yang sangat heterogen. Apa pun, tetap saja semangat reformasi tidak ada artinya jika wakil yang terhormat tetap saja jauh (atau menjauh?) dari rakyat.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home