| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, May 26, 2006,9:16 AM

Soeharto dan Balada Yudhoyono

Syamsuddin Haris

Setelah Jaksa Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKP3 atas mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan kontroversial, "serahkan semua pada hukum." Hukum yang mana?

Pernyataan Presiden Yudhoyono itu amat mengecewakan mayoritas rakyat yang telah memberikan suaranya dalam pemilu lalu. Betapa tidak, penegakan supremasi hukum adalah agenda dan salah satu janji utama Presiden Yudhoyono, baik ketika kampanye pemilu maupun saat pelantikannya. Kini Presiden Yudhoyono seolah lupa dengan janji politik itu dan membiarkan keadilan dimangsa oleh hukum yang tidak adil.

Semestinya Presiden Yudhoyono sadar, hukum yang berlaku di negeri ini lebih sebagai wet ketimbang suatu recht, yakni hukum sebagai pemenuhan prosedur formal-legalistik tanpa keadilan di dalamnya. Atas nama "hukum" setiap saat kita menyaksikan kebenaran dan rasa keadilan masyarakat dicampakkan oleh para perumus undang-undang dan aparat penegak hukum sendiri. Setiap kali pula kita menyaksikan bahwa yang tersentuh oleh hukum hanya orang-orang kecil yang tidak memiliki kekuasaan dan dukungan politik. Hukum di negeri kita relatif belum berlaku bagi pengusaha besar, lingkungan Istana dan keluarga Cendana, serta para jenderal dan mantan jenderal.

Karena itu, adalah suatu ironi jika kini Presiden harapan rakyat justru tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang semua ini. Dalam situasi di mana yang berlaku adalah hukum rimba kekuasaan, penegakan supremasi hukum tidak akan pernah terjadi tanpa inisiatif, sinyal, dan dukungan politik dari Presiden Yudhoyono. Yang tak boleh dicampuri Presiden sebagai pemimpin eksekutif adalah proses hukum yang sedang berlangsung di pengadilan.

Dalam kasus Soeharto, Presiden Yudhoyono semestinya mendorong, bahkan kalau perlu menekan dan memaksa, Jaksa Agung untuk memastikan Soeharto sudah sehat lagi atau memang betul-betul sakit sehingga tak layak untuk disidangkan mengingat adanya keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan proses pengadilan dilanjutkan apabila mantan penguasa Orde Baru itu telah sehat. Ironisnya, Yudhoyono membiarkan Jaksa Agung menghentikan penuntutan atas Soeharto.

Lebih ironis lagi, Presiden Yudhoyono masih mempertahankan posisi Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung padahal jelas-jelas mengeluarkan ketetapan yang bertentangan dengan kebijakan Presiden yang semula "mengambangkan" kasus Soeharto.

Cukup bijak

Keputusan Presiden Yudhoyono untuk lebih dulu "mengendapkan" kasus Soeharto sebenarnya dinilai cukup bijak. Artinya, banyak prioritas persoalan bangsa yang amat mendesak untuk diselesaikan dalam jangka pendek, selain kasus Soeharto. Namun, semua menjadi mentah kembali saat Jaksa Agung menerbitkan SKP3 atas Soeharto pada hari yang sama. Pemerintahan Yudhoyono pun dianggap mendua. Wajar jika kemudian muncul reaksi besar dari berbagai elemen prodemokrasi atas ambivalensi pemerintah.

Kini Presiden Yudhoyono kembali mengeluarkan pernyataan yang tidak konsisten, baik dengan keputusan "pengendapan" sebelumnya maupun penghentian penuntutan atas kasus Soeharto oleh Jaksa Agung. Melalui pernyataan terakhir, Presiden Yudhoyono makin memperkuat citra publiknya sebagai pemimpin bangsa yang lemah, berubah, dan tidak berpendirian.

Lebih jauh lagi, melalui pernyataan di Bandung itu, tanpa disadari, Presiden Yudhoyono melepaskan tanggung jawabnya sebagai Kepala Negara dalam penegakan supremasi hukum.

Sebagai Kepala Negara, Presiden Yudhoyono jelas wajib mendorong unsur-unsur lembaga peradilan di bawah kekuasaan Presiden, seperti kejaksaan dan kepolisian untuk benar-benar menegakkan hukum sebagai recht dan bukan sekadar wet.

Jika Presiden konsisten tunduk pada prosedur hukum tanpa mencampurinya, semestinya Presiden Yudhoyono memecat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang tak hanya melawan keputusan pemerintah untuk mengendapkan sementara kasus Soeharto, tetapi malah menerbitkan SKP3 padahal MA memerintahkan untuk melanjutkan proses peradilan. Atau, jika Presiden percaya pada proses hukum yang berlaku di negeri kita, mengapa Yudhoyono mau bercapek-capek menjadi presiden dengan komitmen penegakan supremasi hukum?

Barangkali memang demikianlah sosok presiden kita. Kini semuanya telanjur menjadi kontroversi yang tak produktif dan membuang energi. Kata-kata telah terucap, gelombang reaksi sudah terbentuk, sementara kesehatan Soeharto diwartakan semakin menurun. Yang tersisa adalah balada seorang presiden yang dipercaya rakyat untuk menyelesaikan aneka persoalan bangsa, tetapi tak pernah benar-benar mau memanfaatkan amanah sejarah yang besar itu.

Pak Yudhoyono, jangan membiarkan sejarah mencatat Anda sebagai presiden yang lembek, tidak berpendirian, dan tak pernah percaya diri.

Syamsuddin Haris Ahli Peneliti Utama Ilmu Politik LIPI

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home