| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 19, 2006,12:33 PM

Menyoal Kebebasan

Eric Hiariej

Kontroversi karikatur Nabi Muhammad beberapa waktu lalu dan RUU APP menimbulkan pertanyaan tentang arti kebebasan.

Ide tentang kebebasan merupakan warisan Abad Pencerahan. Abad ini ditandai dengan gerakan pemikiran yang menekankan reason sebagai kekuatan yang memungkinkan manusia memahami—dan mengendalikan—dunia. Kemajuan masyarakat diyakini tergantung pengetahuan yang berasas rasionalitas lewat jalan logika maupun observasi. Radikalisme melahirkan ekspektasi budaya yang menganggap moralitas dan kebenaran harus berdasar reason. Ekspektasi ini menjadi inspirasi utama revolusi Amerika (1776) dan Perancis (1789) yang menghancurkan otoritas agama dan tradisi, melahirkan cikal demokrasi.

Sejak lama reason dan human agency dipersoalkan. Pertanyaannya, apakah berpikir rasional merupakan fondasi utama pengetahuan dan orde sosial? Jawabannya, manusia lebih terlibat dunia sosial dan material. Reason tidak pernah terbebas dari konteks sosiohistoris, sedangkan ke-agen-an manusia kalah penting dibandingkan dengan bentuk subyektivitas yang lebih tinggi, seperti ide absolut, kelas sosial, unconsciousness, language game, difference atau hyperreality. Karena itu, kebebasan bukan sepenuhnya buah rasionalitas dan kedaulatan manusia. Kebebasan selalu subyektif, dipengaruhi sejarah dan kepentingan, sementara manusia tidak sepenuhnya otonom dan dikendalikan struktur di luar kesadarannya.

Secara khusus gagasan kebebasan berekspresi mengasumsikan manusia memiliki kesadaran yang bersifat esensial, utuh, dan otonom. Kebebasan berbicara, misalnya, merupakan tanda yang merepresentasi kesadaran tertentu. Tetapi, sebenarnya berbicara lebih merdeka dari mistifikasi kesadaran. Karena harus dimediasi dengan bahasa yang memiliki logika pemberian arti pada kata atau ucapan di luar kendali manusia, sering kali manusia tidak mampu mengontrol pengertian dari apa yang ia bicarakan. Sebaliknya, manusia tunduk pada language game. Di sini pengertian sebuah tanda tidak merunut konsep yang tertanam dalam kesadaran, tetapi tergantung konstruksi difference dan penolakan terhadap tanda lain. Dalam pengertian ini kebebasan berbicara mungkin ada, tetapi sebagian besar milik permainan bahasa tanpa batas.

Jika cara berpikir ini digunakan, upaya memperjuangkan kebebasan dalam kontroversi karikatur Nabi Muhammad menjadi problematik. Karikatur boleh dibela atas nama kebebasan. Tetapi, gambaran Nabi dan konotasi Islam dalam gambar sulit dilihat sebagai karya yang bersumber kesadaran independen.

Dalam hal ini Islam sebagai terminologi marginal merupakan unsur penting proses pembentukan Barat. Tanpa Islam yang tradisional, terbelakang, dan kalah, Barat yang modern, maju, dan menang menjadi tidak logis.

Di sini terminologi marginal justru mendekonstruksi identitas Barat yang hanya bisa hadir melalui proses negasi dan eksklusi.

RUU APP

Serupa dengan itu, menolak RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (APP) demi kebebasan jadi urusan yang kompleks. Penggambaran tubuh atas nama estetika yang otonom membesar-besarkan independensi kesadaran manusia. Sering kali makna estetika gambar yang didakwa porno dapat ditemukan dalam konstruksi "seni" sebagai identitas yang menegasi dan membedakan dirinya dari "cabul". Adapun porno terkait penolakan dan pembedaan atas apa yang dinilai estetika dan dibela sebagai kebebasan. Karena itu, perdebatan tentang makna porno dalam RUU bukan soal beda tafsir atas nilai-nilai atau kelemahan pengetahuan bahasa.

Lalu bagaimana nasib kebebasan? Mengatakan manusia sama sekali tidak otonom mungkin berlebihan. Ironisnya, manusia memerlukan subyektivitas, minimal untuk memungkinkan kendali, misalnya, difference atas kesadaran atau subyektivasi diskursus atas tubuh. Karena itu, kebebasan menjadi wilayah manusia menegosiasi kedaulatan dengan subyektivitas lebih tinggi.

Kebebasan bukan harga mati, tetapi proses "menjadi" yang ditandai dialog dan tawar-menawar dan hubungan kekuasaan dan upaya memperjuangkan keadilan. Gagasan tentang kebebasan jangan terjebak universalisme yang mudah dikooptasi kekuatan hegemonik seperti kapitalisme, pun jangan mau dikungkung parokialisme dan menjadi alat kepentingan politik.

Eric Hiariej Pengajar di Fisipol UGM

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home