| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, April 19, 2006,12:34 PM

Rekonstruksi dan Eksploitasi Lingkungan

Teuku Kemal Fasya

Pekan Bilui tidak pernah ada dalam peta. Desa yang ada di kaki gugusan Bukit Barisan, Aceh Besar, ini hanya sepercik noktah di tanah Sumatera.

Tempat yang sunyi dari pengaruh urban. Ia seakan tak terjangkau pembangunan. Kisahnya sebagai desa basis Gerakan Aceh Merdeka menjadi sebab ia jarang terjamah.

Namun, alamnya adalah surga. Ribuan tumbuhan liar, termasuk anggrek, buah-buahan, dan jejeran air terjun menjadi hiburan besar bagi masyarakat sekitar.

Kini keindahan Pekan Bilui mulai pudar. Ratusan dump truk meluncur setiap hari, menguras tanah, pasir, batu, dan koral untuk proyek rekonstruksi Banda Aceh dan sekitarnya. Bukit-bukitnya penuh luka bopeng. Sumber air terjun mulai mengecil debitnya. Hawa sejuk hilang, tertinggal gersang belakang debu. Eksploitasi terus menyebabkan intrusi dan berpengaruh kepada kualitas air sumur penduduk.

Antisipasi kerusakan ditangani secara artifisial. Perusahaan air minum daerah mulai membangun pipa untuk mengaliri air yang berasal dari bantuan Jepang. Kini masyarakat harus merasakan membeli air; sesuatu yang tak pernah terbayang oleh mereka. Hidup hanyut oleh arus pembangunan salah kaprah.

Kompleksitas tak berujung

Tanggal 16 April lalu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias genap berusia setahun, tepat di tengah problem lingkungan hidup yang kian serius. Kebutuhan kayu hingga 1,2 juta meter kubik tidak mungkin tergantikan, mengingat prioritas bagi masyarakat korban tsunami akan bantuan perumahan.

Pemberlakuan moratorium penebangan hutan sejak tahun 2001 tidak diikuti gerakan penghijauan. Kini cerita nestapa mulai menggulung. Pemerintah melalui Menteri Kehutanan menyetujui pemberian hak pengusahaan hutan kepada lima perusahaan, yang semuanya pemain lama, untuk memasok kebutuhan kayu hingga 500.000 meter kubik/tahun. Padahal, kapasitas tebang hutan di Aceh amat tipis, hanya 47.000 meter kubik/tahun. Banyak hal yang seharusnya dikerjakan semasa moratorium tak dilakukan.

Penyelamatan hayati Sumatera telah menjadi perhatian dunia sejak 1980-an. Aneka gerakan destruksi alam, seperti eksploitasi tambang, penebangan kayu legal dan ilegal, ekspansi perkebunan sawit, perburuan satwa liar, dan pembukaan jalan baru, menyebabkan hutan Sumatera terus mengalami penggundulan.

Puncak terpenting terjadi tahun 2001 saat tersedia anggaran cukup besar untuk membangun koridor hijau sepanjang Sumatera dari Dana Kemitraan Ekosistem Kritis (Critical Ecosystem Partnership Fund/CEPF). Donasi itu diarahkan untuk menjaga pusat-pusat lokasi keanekaragaman hayati dunia. Anggaran yang berasal dari Conservation International (CI), Global Environment Facility (GEF), Pemerintah Jepang, MacAthur Foundation, dan Bank Dunia diarahkan kepada program riset, investasi, pelatihan dan partisipasi, dana kompensasi bagi masyarakat adat, donasi berbasis lapangan, dan reboisasi yang dikelola pemerintah dan NGO lingkungan hidup.

Penggunaan anggaran 10 juta dollar AS dari total 150 juta dollar AS hingga tahun 2005 tidak pernah nyata. Prioritas pembangunan koridor hijau bagian utara (Seulawah, Leuseur, Angkola) tidak pernah terjadi. Konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Seulawah hanya dalam laporan. Tahura Seulawah kian rusak dan tercemar sampah. Belum lagi pembukaan wilayah hutan untuk pembangunan permukiman.

Kenyataan "buruk muka" konservasi hutan tidak hanya layak dilekatkan kepada pemerintah, tetapi juga NGO yang bergerak di lingkungan hidup. Kerusakan nyata di depan mata hanya dijadikan acuan untuk membuat proposal. Proses kerja tidak pernah berkomitmen tinggi. Seperti pengakuan seorang tokoh lingkungan hidup asal Medan, kini banyak aktivis lingkungan hidup terindikasi melakukan korupsi anggaran proyek penghijauan.

Sikap abai tanggung jawab, miskin moral, finansial, sikap, dan idealisme membuat keadaan kian genting. Atas nama proyek rekonstruksi, banyak kegiatan melompat prosedur legal mengenai dampak lingkungan (acehkita.com, 5/4/2006).

Beberapa NGO internasional yang beroperasi di Aceh terindikasi memakai kayu ilegal untuk rekonstruksi. Cerita kian miring karena pemerintah, terutama Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, tak beri warning atas pelanggaran yang ada. Semua tutup mata dan telinga, serasa baik-baik saja.

Contoh, pembangunan highway Meulaboh–Banda Aceh menggunakan dana NGO internasional 245 juta dollar AS tidak pernah terusik kritik. Kebijakan apa pun, termasuk kajian kelulusan amdal akan menjadi longgar. Siapa tak merasa penting dengan megaproyek? Siapa merasa kesepian tanpa proyek?

Spiritualitas hijau

Agak sulit menghentikan program yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya hutan dan lingkungan di Aceh kini. Pemikiran penyelamatan hutan akan berhadapan dengan kepentingan penyelamatan "manusia barak dan tenda" dari proses dehumanisasi setelah 14 bulan menelan kesedihan bencana tsunami.

Pemikiran pembangunan kembali Aceh adalah hal yang harus ditegakkan secara seimbang, antara menyelamatkan lingkungan dan bernegosiasi secara maksimal dengan imperialisme modal yang datang dan menjamah apa saja yang berguna bagi penyerapan dana.

Titik imbangnya adalah menempatkan proses rekonstruksi dalam kerangka yang secara alami bisa dimanfaatkan masyarakat lokal untuk lebih berkembang, termasuk perkembangan spiritualitasnya. Tak ada yang lebih bernilai untuk merendahkan yang lain, termasuk atas nama kepentingan manusia di alam ini. Alam, seperti manusia dan hewan, adalah ciptaan yang harus sama-sama dihormati.

Alam tidak memiliki hak metafisik yang bisa dibiarkan sendirian. Ia harus dipelihara dan dihormati untuk alasan selain hanya manfaat sebagai ciptaan Tuhan kepada manusia (Robert Whelan; The Cross and the Rain Forest: Critique of Radical Green Spirituality, 1996).

Mungkin ini obat manjur untuk lebih bertenaga dalam membangun gerakan prolingkungan.

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home