| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, March 23, 2006,1:13 PM

Rebut Jantung Papua

Indra J Piliang

Papua kembali membara pascapemilihan kepala daerah secara langsung. Seakan tidak ada lagi yang mencoba menyelesaikan berbagai persoalan di sana secara dingin. Korban berjatuhan.

Tahun ini perhatian parlemen dan media selayaknya tertuju ke Papua (Kompas, 4/1). Penyelesaian Papua adalah inti keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.

Sebagai tanah damai, Papua sudah terluka. Orang-orang di pegunungan bersenjatakan panah, parang, dan tombak turun gunung memblokir area PT Freeport. Sementara mahasiswa membangun barikade di depan Kampus Universitas Cenderawasih. Rakyat menyatu dalam aksi demonstrasi, pencegatan, dan pemblokiran jalan.

Aksi-aksi itu menempatkan polisi pada posisi sulit dan terjepit. Sayang kita tidak melihat usaha elite-elite Papua dengan Jakarta untuk menawar luka dengan kasih sayang dan penuh pengertian. Hanya karena Papua kaya sumber daya alam, mineral, hutan, dan lautan, banyak campur tangan atas proses pengurasannya. Sementara lapisan demi lapisan keterbelakangan, kehancuran alam, kemiskinan akut, dan derita panjang akibat perubahan musim tak dipedulikan.

Tanggung jawab

Rakyat Papua telah menyerahkan tanggung jawab kepada Presiden SBY untuk memulihkan nasibnya. Kemenangan SBY dalam Pemilu 2004 menunjukkan besarnya harapan itu. Janji-janji kampanye yang dilontarkan dicatat publik. Hanya, agenda-agenda resmi pemerintahan menyebabkan pusat politik kembali berputar di Jakarta. Hanya sekali SBY ke Papua, bertepatan malam Natal 2004, dan hari berikutnya tsunami melanda Aceh dan Nias.

Pemerintahan sebelumnya telah meninggalkan persoalan penting di Papua, yakni status Irian Jaya Barat. Kini, persoalan itu bertambah menyangkut status PT Freeport McMoRan. Perusahaan yang mendapat konsesi sejak awal Orde Baru itu dirasakan kurang memberi manfaat bagi rakyat Papua. Perusahaan yang pernah dipimpin Henry Kissinger itu hanya menyisakan remah-remah bagi rakyat Papua.

Kita sadar, sebagai negara beradab yang hidup di zaman global tentu membutuhkan investasi. Namun, investasi apa pun selayaknya digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Selama ini, hanya sedikit orang yang mendapat keuntungan dari beragam investasi di Indonesia.

Bukan hanya rakyat Papua yang tidak merasakan arus investasi di tanah itu, tetapi juga penduduk Indonesia lainnya. Tanggung jawab korporasi hanya berupa pembayaran pajak bagi negara, ditambah keuntungan dalam penyertaan modal. Selebihnya, didapat investor. Mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi membuat sedikit orang Indonesia mau terjun ke pertambangan.

Tindakan tegas

Terlepas dari itu semua, harus ada tindakan tegas oleh Presiden RI guna mengatasi kemelut di Papua. Tindakan-tindakan resmi layak dilakukan dan melibatkan kalangan lebih luas dengan otoritas penuh dari Presiden SBY. Mau tidak mau, Presiden SBY harus membentuk tim khusus kepresidenan mengenai Papua.

Tim inilah yang nantinya menyiapkan cetak biru (blue print) pembangunan Papua dalam kerangka otonomi khusus. Kalangan swasta nasional dan multinasional sebaiknya juga diberi pengertian, termasuk diplomat mancanegara, mengenai kebijakan ini. Papua tidak bisa lagi didekati secara parsial. Diperlukan pendekatan lebih komprehensif dengan melibatkan banyak pakar, termasuk akademisi dari Papua. Sebagai provinsi yang memiliki banyak kelebihan, Papua bisa dijadikan tempat awal memulai proses pembangunan, termasuk pembangunan manusianya.

Presiden harus mulai memikirkan aneka usaha merebut jantung rakyat Papua. Tentu bukan dengan mengirim lebih banyak polisi dan tentara seperti dilakukan pekan lalu, tetapi melalui cara memaksimalkan lembaga- lembaga pemerintah yang ada di Papua, berikut pihak-pihak yang bisa diajak bekerja sama. Bahkan, tanpa modal uang pun Papua bisa dikembangkan karena negeri itu begitu kaya-raya.

Pendekatan kasus per kasus yang selama ini dilakukan pemerintah pusat selayaknya ditinggalkan. Dalam masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, misalnya, kita mengenal ada Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Banyak orang Papua mengisi kementerian itu. Dalam masa Presiden SBY, kementerian itu diganti dengan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam kategori yang disusun tim pemerintah, hampir semua daerah di Papua masuk kategori daerah tertinggal, termasuk dengan jumlah penduduk sedikit.

Bersama kementerian lain, Presiden SBY bisa melakukan koordinasi lintas sektoral. Kerusuhan di Papua yang menewaskan sejumlah petugas pekan lalu menunjukkan adanya titik-titik ledak yang sewaktu-waktu bisa meledak. Selayaknya titik-titik ledak itu diantisipasi. Tentu, lagi-lagi, bukan dengan pendekatan keamanan, tetapi dengan merebut jantung rakyat Papua.

Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home