| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, February 22, 2006,12:08 PM

Mengelola Otonomi Khusus

Saldi Isra
Hampir dapat dipastikan, beberapa pekan ke depan sebagian besar energi dan pemikiran pemerintah (pusat) dan DPR akan tersita untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Apalagi, MOU antara Pemerintah RI dan GAM secara limitatif menentukan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh harus selesai paling lambat 31 Maret mendatang.
Ketika perhatian terfokus pada pembahasan RUU Pemerintahan Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua mengeluarkan pernyataan menolak pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Bahkan, dalam waktu dekat DPR Papua akan menggelar sidang paripurna istimewa guna mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua kepada pemerintah pusat (KCM, 18/2002).
Kejadian itu memberi pesan yang jelas, pengalaman Papua potensial terjadi di Aceh. Setidaknya, sinyal ke arah itu dapat dibaca dengan munculnya sejumlah perbedaan antara keinginan masyarakat Aceh (via draf RUU versi DPRD) dan keinginan pemerintah pusat (via draf versi Depdagri). Belakangan berkembang wacana, UU Pemerintahan Aceh akan mempermudah Aceh menjadi negara merdeka.
Pertanyaannya, bagaimana mengelola otonomi khusus sehingga kehadirannya menjadi jalan keluar yang mencegah ketegangan antara daerah yang diberi otonomi khusus dan pemerintah pusat?
Membangun kepercayaan
UUD 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen, memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
Berdasar rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa), UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang. Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu.
Perkembangan ”berbeda” mulai terasa sejak tahun 1999. Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya secara seragam. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima otonomi khusus. Dalam pandangan JP Solossa (2005), dengan trust kesadaran kolektif dapat dibangun bahwa pemberian otonomi khusus bagi daerah tertentu merupakan bagian dari strategi untuk mencapai tujuan nasional.
UU Pemerintahan Aceh
Terkait dengan UU Pemerintahan Aceh, pembentuk undang-undang harus punya trust bahwa Aceh tak akan menjadi negara merdeka. Selain faktor komitmen Aceh dalam proses awal kemerdekaan, Mukadimah MOU tegas menyebutkan, penyelesaian konflik Aceh dilakukan secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua. Dan yang terpenting, semua proses dilakukan dalam negara kesatuan (dan konstitusi) RI.
Dengan keyakinan itu, pembentuk undang-undang tak perlu merasa berat memenuhi beberapa klausul yang ada dalam MOU seperti keinginan partai politik lokal. Dalam pandangan Anies R Baswedan, kehadiran partai politik lokal di Aceh merupakan langkah terobosan untuk menjaga perdamaian yang terus tumbuh pascanota kesepahaman Helsinki (Kompas, 17/2002). Dengan cara pandang seperti itu, tidak perlu lagi ada pemikiran, partai politik lokal sebagai bentuk persiapan kelompok separatis untuk mewujudkan cita-citanya terpisah dari Indonesia.
Meski tidak secara eksplisit disebutkan dalam MOU, keinginan untuk memunculkan calon independen dalam proses pencalonan kepala pemerintahan Aceh mesti disikapi secara positif. Apalagi rumusan itu merupakan hasil proses panjang konsultasi publik yang dilakukan selama persiapan draf RUU Pemerintahan Aceh. Alasan bahwa peraturan perundang-undangan tak membenarkan adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah menjadi kehilangan dasar pijakan. Apalagi, dalam MOU ditemukan klausul ”Rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih mengikuti pemilihan di Aceh pada April 2006 dan selanjutnya”.
Yang perlu disadari, demi menjaga keutuhan NKRI, harga membentuk partai politik lokal dan adanya ruang bagi calon independen dalam proses pemilihan kepala pemerintahan Aceh tetap lebih masuk akal. Yang perlu diatur, bagaimana agar partai politik lokal dan calon independen (kalau menang) tidak melakukan tindakan yang mengancam NKRI.
Bagi saya, partai politik lokal dan calon independen merupakan salah satu isu penting dalam memulai langkah mengelola otonomi khusus di Aceh. Jika pembentuk undang-undang gagal memaknai itu, bisa jadi, Jakarta sedang merambah jalan menuju konflik baru yang lebih serius. Dan taruhannya adalah NKRI.
Melihat dinamika politik lokal dalam beberapa tahun terakhir, untuk mengelola lebih lanjut otonomi khusus, sebaiknya Presiden Yudhoyono membentuk Menteri Negara Otonomi Khusus. Dengan pembentukan itu, Depdagri (dan Mendagri) lebih berkonsentrasi pada penyelenggaraan otonomi daerah (bukan khusus) lainnya, seperti melengkapi semua aturan hukum yang diperlukan untuk melaksanakan perintah UU No 32/2004.
Pembentukan itu tak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Depdagri. Tanpa pengelolaan sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus.
Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Chevening Fellow di University of Birmingham, Inggris

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home