| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, September 08, 2006,2:48 PM

Dilema Sifat Melawan Hukum (1)

Kepastian Hukum atau Keadilan?
Oleh Moh. Mahfud M.D.

Di dalam Term of References (TOR) yang dibuat The WAHID Institute untuk seminar dan workshop pada 6-7 September 2006, tergambar kecemasan atas rencana pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil.

Dalam TOR seminar tentang Tinjauan Kritis Pasal Agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu, diungkapkan kekhawatiran timbulnya ketidakpastian hukum jika KUHP kita nanti memberlakukan sifat melawan hukum materiil sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 rancangan KUHP yang baru.

Pemberlakuan ajaran sifat melawan hukum secara materiil memungkinkan orang dijatuhi hukuman jika melakukan hal-hal yang tidak patut dan menusuk rasa keadilan dalam masyarakat, meski perbuatan itu tidak dilarang UU.

Sebaliknya, ajaran sifat melawan hukum secara formal (asas legalitas) menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana jika melakukan hal-hal yang dilarang UU yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Kekhawatiran di dalam TOR tersebut berbeda dengan sikap banyak pegiat hukum dan politik yang bereaksi keras ketika beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa sifat perbuatan melawan hukum secara materiil tak dapat diberlakukan di Indonesia.

Apalagi, para pakar hukum pidana sudah lama tak mempersoalkan berlakunya sifat melawan hukum materiil, bahkan menjadikannya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dengan sifat melawan hukum secara formal. Masalah itu memang sangat dilematis bagi kita.

Kontrovesi Putusan MK

Beberapa waktu lalu, MK mengeluarkan putusan yang kontroversial bahwa sifat perbuatan melawan hukum secara materiil dalam tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 (yang telah diubah dengan UU No 20/2001) adalah batal dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Maka, siapa pun tak dapat dihukum karena tindak pidana korupsi yang tidak ditentukan lebih dulu di dalam UU. Perbuatan memperkaya diri yang dilakukan para pejabat secara tidak wajar dan menusuk rasa keadilan tidak dapat dihukum jika tak ada ketentuan lebih dulu di dalam UU bahwa perbuatan itu dilarang dilakukan.

Padahal, semangat memberantas korupsi di tengah-tengah masyarakat menghendaki, pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil adalah perbuatan yang tidak pantas, melanggar kewajaran dan rasa keadilan di dalam masyarakat.

Dalam sifat melawan hukum secara materiil, meski orang tidak melanggar UU, kalau perbuatannya itu jelas-jelas melanggar kepatutan, kewajaran, dan menusuk rasa keadilan di dalam masyarakat, yang bersangkutan tetap harus dihukum.

Semangat itu pernah menguat sehingga badan legislatif memberlakukannya melalui penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999 tersebut. Pemberlakuan itu didasarkan pada banyaknya koruptor yang selamat dan diselamatkan dengan alasan tidak melanggar UU.

Tetapi, pemberlakuan sifat melawan hukum materiil oleh MK dibatalkan karena hanya tercantum di dalam penjelasan yang tak boleh memuat norma baru. Hal itu juga disebabkan ukuran kepantasan tersebut sangat relatif baik. Tidak pantas bagi masyarakat di satu tempat dan satu waktu bisa jadi tak masalah bagi masyarakat di tempat atau waktu lain.

Jika itu diberlakukan, kepastian hukum tidak ada karena ukurannya dapat berbeda-beda. Maka, MK menyatakan bahwa pemberlakuan sifat melawan hukum secara materiil bertentangan dengan pasal 28 D UUD 1945 sekaligus pasal ayat 1 (1) KUH Pidana yang jelas-jelas menganut asas legalitas.

Dilema Sifat Formal dan Materiil

Persoalan antara perbuatan melawan hukum secara materiil dan secara formal merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan menggunakan prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi negara hukum.

Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.

KUH Pidana kita sebagaimana terlihat dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan.

Jadi, keduanya diakomodasi di dalam sistem peradilan kita. Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema. Sebab, di dalam praktiknya, keduanya tidak diperlakukan secara integratif, melainkan alternatif.

Akomodasi atas dilema yang memberi tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari "kemenangan", bukan "kebenaran" dalam perkara pidana. Proses mencari kemenangan bagi pengacara, jaksa, dan hakim sering dilakukan melalui manipulasi atas pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan.

Judicial corruption yang di dalam masyarakat lebih populer disebut mafia peradilan dilakukan dengan manipulasi atas konsep-konsep itu. Jika satu kasus dapat dimenangkan -menurut kehendak dalam proses mafia- melalui prinsip kepastian hukum, proses mafianya mengarahkan putusan pengadilan untuk menggunakan hukum-hukum tertulis dan bukti formal. Tetapi, jika kasus tak bisa dimenangkan -negatif dengan mafia-, yang dipergunakan adalah dalil-dalil tentang rasa keadilan.

Itulah sebabnya tidak jarang satu kasus yang sama diputus secara berbeda oleh hakim dengan kelompok penegak hukum yang berbeda. Untuk itu, para hakim tak dapat disalahkan. Sebab, mereka selalu berlindung di bawah prinsip kebebasan dan kemandirian hakim. (bersambung)


Moh. Mahfud M.D., pengajar pascasarjana Ilmu Hukum di UII, UGM, dan beberapa universitas lain

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home